Minggu, 22 Agustus 1999(Wawancara Seminggu Sebelum Aku Menikah)Populasi angsa Kanada (Branta canadensis) yang hampir punah mulai pulih kembali. Sebuah kisahsukses dalam upaya penyelamatan lingkungan. TAK selamanya warta lingkunganmembawa cerita pilu. Sesekali ada juga, lo, angin segar yang berembus daribidang yang telah menjadi kepedulian masyarakat global ini. Simak saja yangterjadi pekan lalu ketika Negeri Paman Sam menyatakan, saat ini sedangmengajukan usulan untuk mencabut spesies angsa Kanada (Aleutian Kanadagoose) dari daftar spesies yang terancam punah.Adalah Menteri Dalam Negeri AS Bruce Babbit yang mengemukakan hal itu.Bahwa populasi burung-burung migrasi dengan ciri selempang pita bulu putihyang melingkar di leher mulai pulih kembali. Sebelumnya, angsa-angsa yangsering terlihat di pulau-pulau terpencil di lepas pantai Alaska dan dinegara bagian Oregon dan California selama musim-musim dingin itu sudahterancam punah. Pada tahun 1975 misalnya populasi dunia angsa Kanada hanyaberjumlah 790 ekor. Penyebabnya, seperti biasa, memang ulah manusia.Dinas Margasatwa dan Perikanan Amerika Serikat menyebut bahwa ancamanterhadap kawanan angsa-angsa itu telah dimulai. Terutama ketika para petanibulu binatang di kawasan-kawasan itu mulai memelihara rubah untuk membantupekerjaan mereka. Bisa diduga, akibatnya angsa-angsa itu pun tak dapatbertahan. Apalagi ketika para pemburu juga mulai 'menyemarakkan' situasidengan membawa lebih banyak rubah ke 190 pulau di daerah bersarangnyaburung-burung angsa itu di lepas pantai Alaska.
Peristiwa itu ternyata telah terjadi sejak awal tahun 1750. Pemanfaatanrubah di pulau-pulau yang sebelumnya merupakan daerah bebas mamalia itumencapai puncaknya pada 1915-1936 ketika permintaan dunia akan bulumeningkat pesat. Nah, terdorong oleh kondisi yang memprihatinkan itu upayapemulihan pun dilakukan. Kawasan yang merupakan habitat angsa-angsa migranitu dibuat sebagai daerah bebas rubah. Habitat migrasi mereka benar-benardilindungi. Upaya untuk merelokasi angsa-angsa ke pulau-pulau lain jugadilakukan. Hasilnya pun mulai terlihat. Kini, jumlah binatang telahberkembang menjadi sekitar 32.000 ekor."Fenomena itu kini telah kembali," kata Menteri Dalam Negeri AmerikaSerikat Bruce Babbit seperti dikutip Associated Press. "Sungguh, ini adalahsebuah kisah yang sangat menakjubkan." Sebelumnya para ahli biologi takmenemukan satu pun angsa Kanada antara tahun 1938 sampai dengan tahun 1962.Namun, kemudian, para peneliti sempat menemukan populasi tersisa mereka diBuldir Island, pulau terpencil yang tandus di Kepulauan Aleutian Barat.Spesies langka
Amerika telah menyatakan angsa-angsa itu sebagai spesies langka yangterancam punah pada 1967. Ini dikukuhkan di bawah Undang-UndangPerlindungan Spesies Langka Tahun 1966. Status angsa-angsa itu kemudiandiperbaiki dari status 'langka' menjadi 'terancam' dalam tahun 1990 setelahpopulasi angsa tersebut mencapai 6.300 ekor. Melalui proposal pemerintah,angsa-angsa itu kemungkinan besar akan dapat dilepaskan dari daftar spesiesterancam dalam waktu satu tahun mendatang. Sejalan dengan fenomenamenggembirakan itu, baru-baru ini, Amerika Serikat, Rusia, dan Jepang telahbergabung dalam sebuah proyek kerja sama untuk memulihkan kembali populasiangsa Kanada itu di Kepulauan Kuril di lepas pantai Rusia. Delapan puluhenam ekor angsa Kanada telah dilepaskan di kawasan pulau-pulau tersebut.Kabarnya, lebih banyak lagi proyek pelepasan telah direncanakan.Dinas Margasatwa dan Perikanan Amerika kabarnya juga telah mengusulkanuntuk mencoret enam spesies lain dalam daftar yang sama sejak awal tahunini. Saat ini masih ada sekitar 1.181 spesies yang tercatat di bawah UUtersebut. Enam puluh persennya adalah spesies tumbuhan. Kantor-kantorfederal Negeri Clinton itu memang telah mencatat sukses lain dalammenyelamatkan spesies burung-burung yang terancam punah. Pemerintah Amerikamenurut rencana juga akan mengumumkan sebelum tanggal 26 Agustus ini untukmencoret burung elang (peregrine falcon) dari daftar spesies langka. Itukata Robert Mesta, koordinator nasional untuk penyelamatan peregrine padaDinas Margasatwa dan Perikanan AS di Ventura California.Pada 1998, menurut data pada dinas itu, diperkirakan ada sekitar 1659pasang peregrine di Amerika. Kini beberapa ahli memprediksi bahwa populasiperegrine sudah berjumlah sebanyak 3.000 pasang, kata Mesta. Jumlahtersebut memang telah melampaui sasaran yang ditetapkan pada 1970 ketikaburung tersebut masih tercantum dalam daftar catatan itu. Bahwa pemulihanperegrine akan tercapai setelah spesies itu mencapai 631 pasang. Mengapaitu terjadi?
Pestisida jenis DDT sejauh ini telah diketahui membantu menurunkan populasiperegrine falcons sampai 39 pasang di Benua Amerika pada 1970-an. Populasiitu, bahkan, sama sekali hilang di New England. Sekali penggunaan DDTdilarang pada tahun 1972, burung-burung tersebut pun mulai tampak pulihkembali. Apa hikmah yang bisa dipetik Indonesia dari kisah-kisah pemulihanitu?
Adaptasi hormonal
Angsa Kanada terkenal karena migrasi musiman mereka, karena Angsa ini memiliki lokasi transit di daerah persinggahan di mana mereka bergabung dengan grup hewan migran lain. Pada musim gugur migrasi mereka dapat dilihat dari bulan September sampai awal November. Para migran awal memiliki kecenderungan untuk menghabiskan waktu kurang berhenti istirahat dan pergi melalui migrasi jauh lebih cepat. Burung-burung kemudian biasanya menghabiskan lebih banyak waktu di lokasi beristirahat. Angsa Ini juga terkenal karena penerbangan membentuk formasi hutuf ‘V’ . Angsa meninggalkan Kanada karena datangnya musim dingin dengan tujuan kawasan selata yang masih hangat. Fenomena unik yang terjadi pada Angsa ini adalah peningkatan hormon tiroid, seperti T3 dan T4, telah diukur dalam angsa hanya setelah migrasi besar. Hal ini diyakini karena hari-hari panjang terbang dalam migrasi kelenjar tiroid T4 mengirim lebih lanjut yang akan membantu tubuh mengatasi perjalanan panjang. Tingkat T4 meningkat juga terkait dengan peningkatan massa otot (hipertrofi) dari otot dada, karena semakin lama waktu yang dihabiskan terbang. Hal ini diyakini bahwa tubuh mengirimkan lebih T4 untuk membantu tubuh angsa dengan tugas yang panjang dengan mempercepat metabolisme dan suhu di mana karya tubuh [20] Juga,. Studi lainnya yang dilakukan menunjukkan tingkat corticosterone meningkat secara dramatis dalam burung setelah dan selama migrasi. Corticosterone dikenal hormon stres, sehingga hanya masuk akal bahwa ketika burung ini tertekan oleh terbang jarak jauh setiap hari, lebih banyak corticosterone dilepaskan ke dalam sistem mereka. Hal ini diyakini bahwa tingkat corticosterone lebih tinggi akan membantu burung lebih baik mengelola energi untuk keperluan migrasi jarak jauh.
Direktur Lingkungan CIDES Indonesia, M.Rudi Wahyono kepada Media memberikan komentar, kasus angsa Kanada itu bisadiambil sebagai pelajaran bagi para pengambil kebijakan bidang lingkunganhidup di Indonesia. "Kita bisa mengambil hikmah dari Fenomena adaptasi hewan karena perubahan iklim dalam kasus itu. Misalkanuntuk meningkatkan kesadaran masyarkat agar lebih concern terhadap matarantai kehidupan sesederhana apa pun dengan melestarikannya." Peneliti Senior Cides itu juga berharap agar pemerintah seyogianya juga meletakkan kebijakan jangkapanjang dalam pengelolaan lingkungan hidup. "Hal-hal yang belum diketahuimanfaatnya dalam mata rantai kehidupan sebaiknya diteliti dan hasilnyadisebarkan kepada masyarakat." . Haryo Prasetyo/M-1Hak cipta © 1997-1998 Media Indonesia
Blog ini berisi artikel,wawancara, laporan perjalanan dan aneka pengalaman di berbagai bidang dan wilayah!
Senin, 30 Mei 2011
Rabu, 11 Mei 2011
Health Impacts under Climate Change
With the support from National Science Council (NSC), Taiwan, Southeast Asia Regional Committee for START (SARCS) Secretariat and National Cheng Kung University (NCKU) have jointly hosted the 2010 Advanced Training Workshop on Southeast Asia Regional Health Impacts and Adaptation under Climate Change from November 25th to 29th in a conference room at Zenda Suites, Tainan, Taiwan, where scholars and experts from United States, Korea, Japan and Taiwan have gathered together to discuss environmental and health issues resulted from climate change.
In the opening ceremony, NCKU President Michael Ming-Chiao Lai expressed in his opening remark, “This is the 2nd year SARCS Training Workshop held in National Cheng Kung University. This Workshop is a meaningful exercise which aims to increase capacity of regional scientists and institutes to cooperate on global environmental research, and to coordinate the work of national and regional societies, to bring together scientists working on health issues and to foster collaboration and the exchange of ideas concerning climate change in the Southeast Asia region.”
President Lai also mentioned, “This Workshop consists of several themes of importance, including adaptations of climate change and health, food security and nutrition, extreme temperature effects and adaptations, air-pollution-related health effects and adaptations, biodiversity-related effects and adaptations. We are glad to invite around ten well-established scholars in this field from USA, Korea, Japan and Taiwan to serve as the lecturers for the Workshop.”
“Climate change is projected to have far-reaching effects on human health and well-being. Heatwaves and other extreme weather events, such as floods, droughts, and windstorms, annually affect millions of people and cause billions of dollars of damage. Climate change will increase the frequency and intensity of extreme weather events over coming decades. Climate can affect health burdens through affecting the number of people at risk of malnutrition, as well as through alterations in the geographic range and incidence of vectorborne, zoonotic, and food- and waterborne diseases, and changes in the prevalence of diseases associated with air pollutants and aeroallergens,” said Dr. Kristie L. Ebi of Carnegie Institution for Science, U.S., in her lecture of “Adaptation of Climate Change and Health - the Past, Present and Future.”
Dr. Kristie L. Ebi also stated, “Climate change has begun to alter natural systems, increasing the incidence and geographic range of some vectorborne and zoonotic diseases. Additional climate change is projected to significantly increase the number of people at risk of major causes of ill health, particularly malnutrition, diarrheal diseases, malaria, and other vectorborne diseases. Climate also can impact population health through climate-induced economic dislocation and environmental decline.”
Dr. Ebi further stressed, “Climate change will make more difficult the control of climate-sensitive health outcomes. Therefore, policies need to explicitly consider these risks in order to maintain current levels of control. In most cases, the primary response will be to enhance current health risk management activities. Although there are uncertainties about future climate change, failure to invest in adaptation may leave communities and nations poorly prepared, thus increasing the probability of severe adverse consequences. Policy makers need to understand the potential impacts of climate change, the effectiveness of current programs, and the range of available choices for enhancing current or developing new programs and activities.”
Prof. Huey-Jen Su of NCKU Department of Environmental and Occupational Health, the Chairman of the Workshop, revealed, “The purpose of the Workshop is to assemble fact sheets and current statistics concerning regional or national status in responding to the challenge of global climate change, to develop skills and knowledge needed for engaging in studies or investigations regarding impact assessment and adaptation formulation for young researchers of the Southeast Asia region, to facilitate the communication and interaction among diverse disciplines involved in constructing the adaptation strategy and action plan of various localities and to build a network and platform for coordinating interests and professionals of Southeastern Asian countries related to climate change adaptation endeavors.”
Previous studies have demonstrated that global warming would alter the regional climatic patterns, jeopardize ecological system, and affect public health in the form of heat stress associated mortality and morbidity, air pollution associated diseases burden, extreme weather associated mental health, inadequate water and food associated malnutrition, and distribution and epidemic of various infectious diseases. With all the recognized impacts, issues of adaptation strategies have become top priorities both in terms of research needs and strategic exercises.
As part of Taiwan's contribution to the SARCS capacity building program, the 2010 Advanced Training Workshop on Southeast Asia Regional Health Impacts and Adaptation under Climate Change, which is open to experts from SARCS member countries and other territories of interest, focuses on illustrating the health impacts and possible adaptations under climate change, especially with the Southeastern Asia scenarios as examples of exercises.
Langganan:
Postingan (Atom)