Blog ini berisi artikel,wawancara, laporan perjalanan dan aneka pengalaman di berbagai bidang dan wilayah!
Senin, 06 Agustus 2012
Peta Kelaparan vs Industrilialisasi Pangan
Baru sadar,Indonesia sedang ‘krisis sumber protein murah’. Tahu dan tempe langka di pasar. Kenapa langka ? Pengusaha tahu dan tempe pada mogok. Karena biaya produksi tahu dan tempe meningkat karena harga kedelai naik. Sadarkah anda kedelei bahan baku industri tahu dan tempe ini sebagian besar masih import dari Amerika Serikat.
Dalam Fellowships Climate Change Adaptation and Mitigation 2010 di Cheng Kung Medical University dibahas tentang ‘Food Security dan Malnutrition’, berisi kajian terbaru problema ketahanan pangan dan malnutrisi seantero dunia. Professor Ebi L.Kristie, (peneliti FAO dan IPCC) sebagai ‘visiting professor’ menyampaikan bahwa masa depan manusia menghadapi tantangan krisis pangan. Fenomena ini sedang berkembang diseluruh dunia baik di negara-negara miskin dan berkembang. Bahkan, negara majupun kini mengalami kemerosotan pasokan pangan. Dampak krisis pangan dunia, FAO menengarai setidaknya satu nyawa melayang akibat kelaparan setiap 3 detik. Sementara dampak malnutrisinya berupa busung lapar atau defisiensi zat gizi tertentu jauh lebih besar.
Dalam riset di Asia dan Afrika, Prof.Ebie menyimpulkan penyebab utama krisis pangan didunia adalah : pertumbuhan permintaan pangan diberbagai wilayah untuk berbagai jenis pangan tertentu (misal beras di Asia, jagung di Amerika Latin), adanya ketidak adilan akses pangan, pemerintahan miskin subsidi, anggaran biaya penelitian pangan kurang, konfilik politik (perang) dan kemiskinan, diversifikasi tanaman pangan menjadi bahan bakar (nabati), kenaikan harga BBM, pupuk, transportasi serta naiknya harga input produksi lain. Indikasi nyata bahwa dunia mengalami kekurangan pangan tercermin dengan ketidakseimbangan jumlah penduduk dunia dengan produksi pangan global. Penduduk dunia diperkirakan mencapai 9 miliar pada 2045. Sementara, produksi pangan dunia dipastikan tidak mampu mencapai kenaikan sebesar 70% tingkat produksi sekarang.
Peta Kelaparan
Didunia masih terjadi perdebatan pengukuran standar kesejahteraan yang akurat. Karena indikator GDP (Gross Domestik Produk) dan GNP (Gross National Produk) dan IP (Income per-Capita) masih sangat bias. Bisa saja suatu negara memiliki GNP tinggi namun in-come percapita rendah karena sebagian besar pendapatan nasional ditopang oleh investasi asing atau mengandung banyak komponen import. Akibatnya yang tersisa sebagai pendapatan lokal sangat rendah. Untuk memudahkan pengukuran tingkat kesejahteraan dasar suatu negara, sejak 2006 diterbitkanlah Index Kelaparan Global atau Global Hunger Index. Index ini secara langsung berhubungan dengan kebutuhan dasar fisiologis manusia yaitu pemenuhan kebutuhan pangan dan nutrisi.
Indeks Kelaparan Global (GHI, Global Hunger Index) adalah alat statistik multidimensi untuk menggambarkan situasi keadaan kelaparan negara. GHI mengukur kemajuan dan kegagalan suatu negara dalam perang global melawan kelaparan. GHI diperbarui setahun sekali. GHI diadopsi dan dikembangkan oleh International Food Policy Research Institute (IFPRI). Pertama diterbitkan pada 2006 oleh Welthungerhilfe,di Jerman. Sejak tahun 2007, hampir seluruh organisasi nirlaba dunia mendukung langkah GHI. Pada 2011 GHI menghitung index kelaparan pada 122 negara berkembang dan 81 negara lain dalam peringkat transisi. Fokus bahasan GHI berubah setiap tahun tergantung ‘trend’ yang dianggap dominan. Pada 2010 laporan GHI berfokus pada topik utama: Indeks gizi anak usia dini pada anak-anak muda dari usia remaja. Pada 2011 GHI berfokus pada harga pangan yang naik dan fluktuatif beberapa tahun terakhir. Dampak perubahan harga pangan ini berpengaruh sangat signifikan terhadap tingkat kelaparan dan kekurangan gizi secara global. Laporan GHI 2011 menyimpulkan bahwa kenaikan harga dan volatilitas harga mengurangi belanja rumah tangga miskin pada berbagai barang dan jasa yang penting, serta mengurangi kalori yang mereka konsumsi. Fluktuasi harga pangan sangat berpengaruh pada pemenuhan pangan masyarakat miskin dan memaksa mereka beralih ke produk pangan padat, murah, berkualitas rendah, serta minim unsur gizi mikronya.
GHI dan FAO melaporkan bahwa kemiskinan, konflik dan ketidakstabilan politik menyebabkan hampir satu miliar manusia menderita kelaparan tahun 2011, yang sebagian besar berdampak pada anak-anak di Afrika dan Asia. Indeks Kelaparan Global dari 122 negara yang tertera dalam laporan tahunan, 25 negara di antaranya memiliki tingkat kelaparan yang "mengkhawatirkan" dan 4 (empat) negara di Afrika berada pada tingkat "sangat mengkhawatirkan", demikian laporan oleh Lembaga Riset Kebijakan Pangan Internasional (International Food Policy Research Institute/IFPRI), Concern Worldwide, dan Welthungerhilte.
Kongo dinilai sebagai negera terburuk dalam indeks kelaparan, berdasarkan data dari 2003-2008. Tiga per empat dari populasi di negara Afrika tengah itu menderita kurang gizi, dan Kongo juga negara dengan tingkat kematian anak tertinggi di dunia, menurut temuan para peneliti penyusun indeks tersebut. Tiga faktor yang digunakan untuk menghitung Indeks Kelaparan Global (GHI): banyaknya penduduk kurang gizi di suatu negara, berat badan anak di bawah rata-rata, dan tingkat kematian anak. "Perang saudara yang berlarut-larut sejak akhir 1990-an telah menyebabkan keruntuhan ekonomi, pengungsian besar-besaran, dan kondisi ketidakamanan makanan yang kronis" di Kongo. "Tingkat ketersediaan dan akses makanan memburuk dengan menurunnya produksi makanan, dan wilayah terpencil menjadi lebih terisolasi sebagai akibat sangat buruknya infrastruktur.
Negara dengan urutan kelaparan terburuk adalah Nepal, Tanzania, Kamboja, Sudan. Zimbabwe, Burkina Faso, Togo, Guinea-Bissau, Djibouti, Mozambik, India, Bangladesh, Liberia, Zambia, Timor Leste, Niger, Angola, Yaman, Republik Afrika Tengah, Madagaskar, Komoro, Haiti, Sierra Leone dan Ethiopia. Bersama dengan Burundi, DRC dan Eritrea, Komoro -- negara kepulauan dilepas pantai timur Afrika yang rawan kudeta -- dan Haiti menempati tingkat kekurangan gizi lebih dari 50 persen penduduknya. Bangladesh, India, Timor Leste dan Yaman tercatat lebih dari 40 persen anak berusia di bawah lima tahun kekurangan berat badan. Afghanistan, Angola, Chad dan Somalia memiliki tingkat kematian anak tertinggi, dengan lebih 20 persen anak meninggal sebelum mencapai usia lima tahun. Korea Utara merupakan salah satu dari sembilan negara dalam nilai indeks kelaparannya meningkat dari 16,2 poin pada 1990 menjadi 19,4 poin pada 2010.
Sejak Januari 2011 FAO juga memperingat beberapa negara akan bahaya kelaparan tersebut. Organisasi pangan dunia ini menyebutkan, Indonesia, Pakistan, Mongolia, Burma, Kenya dan negara Afrika lainnya berada di level ‘serius’ dalam indeks kelaparan global. Tentunya itu sangat bertolak belakang dan indeks prestasi pembangunan yang selalu didengungkan oleh pemerintahan SBY selama ini. Menurut GHI-Global Hunger Index, Indonesia termasuk kelompok negara yang mengalami kategori krisis pangan serius yaitu 12.2 (index antara 10 s.d 19.9) pada tahun 2011. Tak bisa disangkal fenomena gagal panen semakin sering ditemui di Indonesia. Seperti paceklik yang melanda delapan kampung di Distrik Suntamon, Kabupaten Yahukimo- Papua menimbulkan datangnya bencana kelaparan. Menurut Pendeta Isak Kipka, bencana kelaparan yang melanda tujuh distrik di Kabupaten Yahukimo, di antaranya Distrik Suntamon, Langda, Bomela, Seradala, Walma, Pronggoli dan Heryakpini. “Saat ini sudah ada sekitar 92 orang tewas akibat krisis pangan ini’.
Industrialisasi pangan
Umat manusia berusaha mengatasi kesulitan dan tantangan masa-depannya seperti upaya penyediaan pangan, sandang dan energi melalui bioteknologi dan rekayasa genetika pertanian dan peternakan. Tekanan lingkungan dan perubahan iklim yang semakin berat membuat produksi pertanian secara tradisional dan intensif semakin menurun produktifitasnya. Dengan kondisi itu petani tradisional kedepan akan semakin terpinggirkan dan miskin karena biaya produksi tidak sebanding dengan pendapatan yang diterima. Terlebih prasarana produksi seperti benih, pupuk dan sistem irigasi yang kurang memadai menambah penderitaan mereka. Selanjutnya para industriawanlah yang semakin berjaya karena memiliki teknologi dan modal yang kuat untuk memproduksi pangan deng produktfitas sangat tinggi diantarnya dengan penerapan rekayasa genetik melalui penciptaan berbagai komoditas transgenik.
Sejak awal, industri dan pemerintah di seluruh dunia terlalu menekankan manfaat tanaman transgenik. Mereka mengklaim bahwa tanaman transgenik akan: bermanfaat bagi lingkungan dengan mengurangi penggunaan herbisida dan insektisida, membantu petani, memecahkan krisis pangan, menyelesaikan masalah kelaparan dengan meningkatkan lahan tanaman, dan meningkatkan nutrisi pangan. Mereka mengklaim bahwa transgenik aman untuk konsumsi dan lingkungan. Tetapi akumulasi fakta ilmiah dan berdasar pengalaman tanaman transgenik selama 10 tahun ini menunjukkan bahwa teknologi transgenik belum mampu memenuhi janjinya. Sebaliknya tanaman transgenik secara ilmiah terbukti meningkatkan asupan kimia dalam jangka panjang. Mereka menghasilkan hasil panen yang tidak lebih baik dan dalam beberapa hal lebih buruk dari jenis konvensional.
Makanan rekayasa transgenik memang sudah menjadi kontroversi sejak 30 tahun silam. Yang jadi soal adanya rekayasa gen alias kode pembawa keturunan dari suatu makhluk ke makhluk lain bahkan yang berbeda spesies sekali pun. Para aktivis pembela konsumen dan lingkungan mengecam rekayasa seperti itu karena dinilai ‘kebablasan’ dan melawan ‘kodrat alam’. Selain tentu saja tak aman bagi lingkungan dan kesehatan manusia. Tak heran jika di sejumlah negara termasuk Indonesia, produk transgenik kerap menuai protes.
Produk pangan transgenik lain seperti jagung, kedelai, dan buah-buahan di AS tak dijual dalam bentuk segar. Hasil pertanian tersebut diproses menjadi makanan atau minuman ringan. Sirup jagung misalnya, digunakan sebagai pemanis banyak minuman dan makanan. Tak seperti di Eropa, AS tak mensyaratkan pemberian label bagi produk yang mengandung unsur transgenik. Jadi tanpa disadari, warga AS juga mengonsumsi produk transgenik. Pertanian transgenik saat ini telah merambah 21 negara dengan total luas lahan mencapai 90 juta hektare. Dalam 10 tahun terakhir, tingkat pertumbuhan mencapai 47 kali lipat. Nilai bisnis produk transgenik kini menembus Rp 50 triliun. Monsanto menjadi perusahaan AS yang merajai pasar pertanian transgenik dunia.
Bicara industri rekayasa genetik tidak lengkap rasanya bila tidak membicarakan masalah bisnis dari produk ini. Dari tahun ke tahun ternyata bisnis produk rekayasa genetik itu semakin besar. Bukan hanya dalam area pertanian transgenik yang makin meluas dari tahun ke tahun tapi juga penjualan produk transgenik. Bisnis produk transgenik juga merambah Indonesia. Tidak adanya kebijakan pelebelan terhadap produk pangan transgenik menjadikan negeri ini pasar yang menggiurkan bagi industri transgenik. “Karena tidak ada pengawasan terhadap impor produk makanan segar dan juga pelebelan pada kemasannya, dapat dikatakan negeri ini telah manjadi tong sampah dari produk pangan transgenik yang dinegri asalnya sendiri dijauhi,’ demikian pendapat Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).
Di Indonesia, meski tidak tercatat sebagai produsen tanaman GM –Genetic Modification, kenyataannya beberapa jenis komoditas transgenik sudah tumbuh di Tanah Air. Sejak diterbitkan SK Mentan (No. 856 /Kpts /HK330 /9 /1997), menurut Prof.Hari Hartiko (dari Fakultas Biologi UGM), di Indonesia sudah ditanam 10 tanaman transgenik, antara lain jagung (4 jenis), kacang tanah, kapas (2 macam), kakao, kedelai, padi, tebu, tembakau, ubi jalar, dan kentang (Berita Bumi 12/2000).
Uji coba lapangan tanaman transgenik di Indonesia terkesan ditutup-tutupi. Selain keempat komoditas utama (jagung, kedelai, kapas, dan kanola), di dunia ini sudah beredar tanaman transgenik lain, meski masih relatif sedikit jumlahnya. Ada kentang, labu, pepaya, melon, tomat, dan tanaman yang direkayasa agar tahan virus, awet segar, dan bernilai gizi tinggi. Belum lagi produk rekayasa gen yang kini baru diciptakan atau masih diteliti di berbagai lab dengan macam-macam target pula. Di Indonesia pun pengembangan tanaman transgenik kini masih dilakukan, terutama di tingkat litbang (Deptan, Batan, LIPI, dan BPPT). Komoditasnya meliputi produk dari luar negeri dan produk dalam negeri.
Pertimbangan sosial-ekonomi dan budaya yang terkait dengan penggunaan dan pelepasan organisme hasil modifikasi genetika (genetically modified organisms /transgeniks) cenderung mendapat sedikit perhatian dibandingkan ilmu pengetahuan alam dan teknologi karena banyak yang dilakukan secara tersembunyi dengan melakukan cara-cara ilegal seperti ‘menyuap’ pejabat pemerintah terkait di berbagai negara termasuk Indonesia. Kecenderungan ini menandakan, perdebatan dalam kecukupan penggunaan dan pelepasan transgenik adalah soal ilmiah-teknis. Hal ini hanya terbuka untuk kalangan ilmuwan dan para pakar yang bergerak di bidang ini.
Sedikitnya bahan literatur yang membahas pertimbangan sosial-ekonomi transgenik ini dapat dijelaskan dengan sejumlah alasan. Dampak sosial-ekonomi dari setiap teknologi membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk dapat terwujud, seperti teknologi-teknologi baru yang hadir di dunia, contohnya Revolusi Hijau. Sebelum dampaknya terlihat jelas, Revolusi Hijau sudah terlanjur meluas. Penerapan Revolusi Hijau telah menciptakan sebuah kelas baru dalam dunia buruh pertanian.
Laporan United States Department of Agriculture (USDA) menyebutkan nilai ekspor produk transgenik Amerika Serikat ke Indonesia tahun 2004 mencapai 600 juta dolar AS. Produk transgenik itu terdiri dari kedelai, jagung dan kapas. Pertanyaan berikutnya, tentu saja adalah siapa para penguasa industry transgenic tersebut? Benih tanaman rekayasa genetika ternyata hanya dikuasai oleh tiga perusahaan multi nasional. “Monsanto menguasai 91%, sisanya 9% dikuasai oleh Syngenta & Aventis Cropsience,”, “Bisakah kita mempercayakan pemenuhan pangan dunia hanya diserahkan kepada ketiga korporasi multi-nasional ini?”
Tantangan masa depan umat manusia mendorongnya melakukan berbagai upaya untuk mempertahankan eksistensinya di bumi. Namun sudah sepatutnya manusia mempertimbangkan dampak sosial, budaya, ekonomi dan lingkungan dan etika pengunaan rekayasa genetika dalam produksi kebutuhan pangan dan sandangnya. Pertimbangan sosial-ekonomi dan budaya yang terkait dengan penggunaan dan pelepasan organisme hasil modifikasi genetika (genetically modified organisms/transgeniks) cenderung mendapat sedikit perhatian dibandingkan ilmu pengetahuan alam dan teknologi.
Kecenderungan ini menandakan, perdebatan dalam kecukupan penggunaan dan pelepasan transgenik adalah soal ilmiah-teknis. Hal ini hanya terbuka untuk kalangan ilmuwan dan para pakar yang bergerak di bidang ini. Penerapan Revolusi Hijau telah menciptakan sebuah kelas baru dalam dunia pertanian yaitu terciptanya kelas buruh dan majikan. Sebelum para ilmuwan sosial mulai melihat fenomena ini, dampak teknologi ini telah masuk ke lembaga sosial dan segera mengubah relasi-relasi sosial yang ada. Salah satu cara seperti yang ditempuh oleh Bill Gates dan yayasannya adalah dengan memperkenalkan padi hibrida transgenik untuk negara negara miskin di Afrika dan Asia melalui program bantuan pangan dan bukan mendapatkan keuntungan ekonomi dari lapisan masyarakat miskin yang kelaparan seperti dilakukan kebanyakan perusahaan pangan trans-nasional.
Langganan:
Postingan (Atom)