Selasa, 18 Agustus 2015

El Nino, Musibah dan Berkah bagi Ekonomi Nasional

Opini JawaPos, 10/8/2015 9.15 wib. Oleh M. Rudi Wahyono* BELUM genap setahun umur pemerintahan Joko WidodoJusuf Kalla, berbagai problem dan pilihan sulit dalam berbagai bidang sudah menghadang. Urusan politik belum selesai, kini pemerintah menghadapi berbagai tantangan ekonomi sangat berat.Pertama, ancaman defisit APBN karena terkurasnya dana subsidi BBM untuk program-program prorakyat dan reformasi birokrasi seperti yang dijanjikan sewaktu kampanye pemilihan presiden dahulu. Pencabutan subsidi BBM dengan menyesuaikan ”harga dunia” adalah pil pahit yang harus ditelan rakyat.Kedua, penguatan kurs dolar Amerika Serikat (AS) karena membaiknya ekonomi AS yang menekan nilai rupiah sehingga terjungkal melewati batas psikologis 13.500 per USD.Tantangan ketiga adalah kondisi internal –yaitu ekonomi nasional, khususnya sektor riil– yang tak banyak terbantu oleh berbagai kebijakan pemerintah. Sedangkan yang keempat, faktor internal, yaitu lemahnya posisi pemerintah dalam mengatasi turbulensi politik dan demokrasi dalam negeri membuat nilai rupiah turun semakin tergerus.Kelima, faktor internal lain adalah kegamangan pemerintah dalam mengatasi polemik demokrasi dan politik dalam negeri sehingga membuat investor asing ”malas merealisasikan komitmen” serta cenderung mencari aman. Ancaman lain pada ekonomi nasional datang dari alam: El Nino. El Nino adalah anomali iklim bersumber dari Pasifik Selatan yang dikenal sebagai ENSO-El Nino Southern Oscillation. Fenomena alam itu terjadi di antara pesisir barat Amerika Latin dan Asia Tenggara, namun efeknya dirasakan seluruh dunia.El Nino mengakibatkan curah hujan tinggi di Amerika Latin, sebaliknya belahan bumi lain terancam kekeringan. Air laut hangat mengalir ke arah barat dari Amerika Latin. Sementara itu, arus air dingin mengarah dari kedalaman laut menuju pesisir Amerika Latin.Suhu permukaan laut pesisir Australia dan Indonesia jatuh beberapa derajat, sedangkan suhu air di Amerika Latin naik. Daratan kawasan Pasifik Barat –di Indonesia dan bagian utara Australia– justru sebaliknya: kekeringan, gagal panen, dan kebakaran hutan.Periode El Nino biasanya bertahan selama setahun dan akan berdampak cukup luas, terutama pada sektor ekonomi yang berbasis sumber daya alam. Misalnya, pertanian, perkebunan, dan kehutanan. Komoditas perkebunan utama seperti kelapa sawit, karet, kopi, dan kakao yang menjadi salah satu primadona ekspor nasional dipastikan akan terganggu.Komoditas pangan utama seperti padi, jagung, kedelai, dan kacangkacangan juga akan mengalami penurunan produktivitas. Penyebabnya, ketergantungan berbagai komoditas itu pada air sangat besar.Tapi, di sisi lain, El Nino juga sejatinya menghadirkan dampak positif bagi Indonesia, yaitu dari sisi ekonomi maritim berupa meningkatnya kunjungan ikan-ikan ” migratory” seperti tuna dan cakalang menuju perairan Indonesia yang sedang subur. Pusat Perkiraan Iklim Amerika (Climate Prediction Center) mencatat bahwa sejak 1950, telah terjadi 22 kali fenomena El Nino. Enam kejadian di antaranya berlangsung dengan intensitas kuat, yakni pada 1957– 1958, 1965–1966, 1972–1973, 1982– 1983, 1987–1988, dan 1997–1998.El Nino tahun ini diperkirakan akan terjadi hingga awal tahun depan, namun intensitasnya masih menjadi perdebatan. Pada kasus dengan intensitas lemah-sedang, untuk Juli–Agustus, El Nino akan berdampak pada pengurangan curah hujan dengan kisaran 40–80 persen (dibandingkan normalnya). Wilayah yang merasakannya terutama di sebagian Sumatera, Jatim-Bali-NTBNTT, sebagian Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan sebagian Papua.Pada September–Oktober, dampak El Nino akan semakin parah dengan ditandai meluasnya area yang mengalami pengurangan curah hujan, meliputi seluruh Sumatera kecuali Aceh, seluruh Jawa, Bali-NTB-NTT, sebagian besar Kalimantan, seluruh Sulawesi, Maluku, dan sebagian besar Papua.ESCAP, IMF, dan Bank Dunia (2014) mengungkapkan bahwa dampak ekonomi El Nino pada sektor pertanian di Indonesia adalah penurunan produksi yang mencapai 3,5 persen. Sedangkan dampak umum pada GDP (produk domestik bruto) nasional menurun 1,75 persen atau sebesar USD 7,7 miliar alias mencapai sekitar Rp 100 triliun. Sebagai sebuah negara agraris sekaligus maritim, Indonesia seharusnya bisa mengatasi dampak problem ekonomi akibat El Nino, khususnya pada ketahanan pangan. Apalagi, di sisi lain, seperti disebut di atas, El Nino merupakan ”berkah” bagi sektor maritim Indonesia.Namun, bagaimana bisa memperoleh berkah tersebut apabila nelayan kita sangat tradisional dengan perahu dan alat tangkap sederhana. Justru yang terjadi bisa sebaliknya: nelayan-nelayan asing dengan peralatan canggih akan panen. Sebenarnya Indonesia bisa berkaca dari sejarah Mesir sekitar 4.000 tahun lalu, ketika Joseph (atau Yusuf AS) mengambil berkah El Nino serta berhasil menyelamatkan ekonomi nasional. Dengan bantuan kondisi El Nino, Joseph behasil mewujudkan ”swasembada pangan” dan kemakmuran melalui programprogram efisiensi dan investasi.Sebagian besar produk nasional diinvestasikan pada sektor produktif sehingga menghasilkan banyak keuntungan sebagai cadangan pada masa paceklik. Namun, program penghematan dan ”investasi cerdik” ala Joseph itu tidak akan berhasil apabila tidak diamanahkan kepada manusia amanah. Indonesia akan lolos dan mencapai kemakmuran apabila menemukan manusia terpilih seperti Joseph.

Selasa, 06 Januari 2015

Indonesia Terlahir Sebagai Negara Maritim....!

Indonesia sebagai negara maritim bukan sekadar jargon. Menurut Menurut Direktur Studi Energi, Lingkungan, dan Maritim Center for Information and Develepment Studies (Cides) M Rudi Wahyono, fakta sejarah menunjukkan, Indonesia memang terlahir sebagai negara maritim. Kejayaan Indonesia di bidang maritim juga dibuktikan dengan banyaknya temuan-temuan situs prasejarah di beberapa belahan pulau. Memasuki masa Kerajaan Sriwijaya, Majapahit, hingga Demak, Indonesia menjadi negara yang disegani di kawasan Asia. Kerajaan Sriwijaya telah mendasarkan politik kerajaannya pada penguasaan alur pelayaran dan jalur perdagangan serta menguasai wilayah-wilayah strategis yang digunakan sebagai pangkalan kekuatan laut. Ketangguhan maritim ditunjukkan Singasari di bawah pemerintahan Kertanegara pada abad ke-13. Kerajaan Kertanegara mengirimkan ekspedisi bahari ke Kerajaan Melayu dan Campa untuk menjalin persahabatan dalam menghambat gerak Kerajaan Mongol ke Asia Tenggara. Pada 1284 mereka menaklukkan Bali dalam ekspedisi laut ke timur. Puncak kejayaan maritim nusantara terjadi pada masa Kerajaan Majapahit. Di bawah Raden Wijaya, Hayam Wuruk, dan Patih Gajah Mada, Majapahit berhasil menguasai dan mempersatukan nusantara. Pengaruhnya bahkan sampai ke negara-negara asing, seperti Siam, Ayuthia, Lagor, Kamboja, Anam, India, Filipina, dan Cina. Penemuan situs prasejarah di gua-gua Pulau Muna, Seram, dan Arguni di Maluku yang dipenuhi lukisan perahu-perahu layar menggambarkan bahwa nenek moyang Bangsa Indonesia merupakan bangsa pelaut. Selain itu, ditemukan kesamaan benda-benda sejarah antara Suku Aborigin di Australia dengan di Jawa. Ini menandakan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia telah memiliki hubungan dengan bangsa lain. Rudi mengatakan, jika dilihat dari peta yang ada, tampak jelas rute pelayaran melintasi Selat Sunda telah lama dilakukan pelaut-pelaut India, Arab yang akan menuju ke negeri Cina. Mereka biasanya singgah dulu di Phalimbham (Palembang) dan pulau Panaitan serta Kota Perak yang berada di Provinsi Banten sebelum meneruskan perjalanan pelayarannya ke negeri yang hendak ditujunya. Kejayaan para pendahulu tersebut, menurut Rudi, berdasarkan kemampuan mereka membaca potensi wilayahnya. Serta, ketajaman visi dan kesadaran mereka terhadap posisi strategis Indonesia. "Sudah saatnya negeri ini kembali menyadari dan membaca ulang narasi besar maritim Indonesia yang pernah diikrarkan dalam UNCLOS 1982," ujar Rudi. Di dalam United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 itu banyak termaktub peluang besar Indonesia sebagai negara kepulauan. Namun, lemahnya perhatian dan keberpihakan pemerintah terhadap kemaritiman yang mencakup luat, pesisir, dan perikanan menjadi kerugian besar. Seperti, lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan pada 2002 dengan alasan wilayah yang ditelantarkan. Minimnya keberpihakan pemerintah pada sektor maritim dinilai sebagai faktor utama yang menyebabkan penataan sektor maritim masih semrawut. Berujung pada lemahnya pertahanan kelautan ditandai semakin maraknya praktik illegal fishing, illegal drug traficking, illegal people, dan penyelundupan di perairan Indonesia. "Sekarang, bagaimana sejarah yang panjang itu dihidupkan lagi melalu semangat maritim kepada semua lapisan masyarakat. Agar, kembali menyadari keberadaan bangsa Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia," ujarnya.