Masih segar dalam ingatan kita ketika terjadi September Black-out krisis pasokan listrik untuk seluruh Jawa dan Bali. Seluruh aktivitas masyarakat dan instalasi publik sampai KRL macet tidak berjalan karena krisis listrik. Sampai kinipun masalah itu belum tuntas dan masyarakat harus rela listrik byar-pet menunggu giliran pemadaman. Kondisi itu merupakan refleksi rangkaian lingkaran setan managemen energi kita yang masih semrawut. Penyebabnya adalah ketidakmampuan pemerintah mengelola energi secara nasional. Blue-print cetak biru perencanaan pengelolaan energi nasional telah lama dibuat namun hanya menjadi macan kertas tidak implementatif dilapangan.
Semakin hari, kian terasa bahwa kejayaan energi fosil akan segera berakhir. Berbagai forum internasional menyuarakan pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) dari energi bahan bakar fosil sebagai pemicu pemanasan global, yang mengemuka sejak 1980-an. Kondisi ini merupakan tantangan sekaligus peluang bagi pengembangan energi baru terbarukan bagi Indonesia. Pemerintah sejak 1995 telah mencanangkan pengurangan laju pertumbuhan emisi GRK sebagai implementasi Protokol Kyoto. Melalui UU No. 30, 2007 Tentang Pengembangan Renewable Energy dan Penerapan Konservasinya, Pemerintah secara nasional berupaya memberikan insentif dan kemudahan bagi pengembangan energi baru dan terbarukan seperti mikro-hidro dan geothermal.
Geothermal adalah energi panas yang tersimpan dalam batuan dibawah permukaan bumi dengan fluida didalamnya, pada kedalaman 1.000-2.000 meter di bawah permukaan tanah. Di seluruh dunia, energi ini telah dipakai sebagai pembangkit listrik di 24 negara. Sejak tahun 1990-an, instalasi PLTP-Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi didunia sebesar 6.017 MW tersebar pada 330 PLTP ekivalen dengan 6 PLTN. Dari segi emisi GRK, PLTP tergolong amat bersih, hanya mengemisikan GRK sebesar 0,00 s.d 0,07 kg/kWh sangat jauh dibanding power plant konvensional dengan emisi 0,68 s.d 1,18 kg/kWh. Keunggulan PLTP lainnya adalah tak terganggu pasokan karena transportasi, iklim, maupun cuaca seperti jenis pembangkit lain. Geothermal juga bukan komoditas yang bisa diperdagangkan di pasar internasional sehingga produksi tak terpengaruh oleh gejolak harga energi dunia. Bahkan, dengan fluktuasi harga minyak dunia seperti saat ini, geothermal berpotensi menyelamatkan devisa negara melalui efisiensi konsumsi BBM.
Geothermal adalah energi panas yang tersimpan dalam batuan dibawah permukaan bumi dengan fluida didalamnya, pada kedalaman 1.000-2.000 meter di bawah permukaan tanah. Di seluruh dunia, energi ini telah dipakai sebagai pembangkit listrik di 24 negara. Sejak tahun 1990-an, instalasi PLTP-Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi didunia sebesar 6.017 MW tersebar pada 330 PLTP ekivalen dengan 6 PLTN. Dari segi emisi GRK, PLTP tergolong amat bersih, hanya mengemisikan GRK sebesar 0,00 s.d 0,07 kg/kWh sangat jauh dibanding power plant konvensional dengan emisi 0,68 s.d 1,18 kg/kWh. Keunggulan PLTP lainnya adalah tak terganggu pasokan karena transportasi, iklim, maupun cuaca seperti jenis pembangkit lain. Geothermal juga bukan komoditas yang bisa diperdagangkan di pasar internasional sehingga produksi tak terpengaruh oleh gejolak harga energi dunia. Bahkan, dengan fluktuasi harga minyak dunia seperti saat ini, geothermal berpotensi menyelamatkan devisa negara melalui efisiensi konsumsi BBM.
Indonesia memiliki potensi geothermal sangat besar mencapai 27 GWe (atau 219 juta SBM-Setara Barrel Minyak) hampir setara dengan kapasitas listrik terpasang saat ini. Sampai awal 2009 terdapat 257 lokasi geothermal tersebar pada lingkungan vulkanik (203 unit) dan 54 berada di lingkungan non vulkanik seperti di Sulawesi (kecuali Sulut), Kalimantan Barat, dan dii kepala burung Irian Jaya. Unit geothermal terpasang saat ini mencapai 1042 MWe, Unit yang telah berproduksi yaitu G. Salak (375 MWe), Kamojang (200 MWe), Darajat (255 MWe), Wayang Windu (110 MWe), di Jawa Barat; Dieng (60MWe), Lahendong (40 MWe), dan Sibayak (2 MWe).
Investasi penggalian sumur geothermal tergolong mahal dan penuh resiko. Untuk kapasitas dibawah 1 MW, investasi berkisar 3.000-5.000 USD per-kW, sedang untuk kapasitas di atas 1 MW, diperlukan investasi 1.500-2.500 USD per-kW. Sifat geothermal yang "site specific" kondisi geologis lokal memerlukan penanganan spesifik pula. Karakter dan kualitas produksi geothermal; berbeda dari satu area ke area yang lain. Misalnya, kandungan gas tinggi (H2S, CO2 dll) mengakibatkan investasi lebih besar di pembangkitnya.
Pemerintah Indonesia saat ini telah menetapkan geothermal sebagai prioritas penunjang program pengembangan pembangkit listrik 10 Gigawatt tahap kedua pada 2009 hingga 2014. Namun, naga-naganya target pembangunan proyek pembangkit listrik geothermal 3.000 MW pada 2011 akan meleset. Masalah pembagian wilayah kerja adalah salah satu penghambat realisasinya. Beberapa wilayah kerja letaknya berdekatan, ditengarai berasal dari satu sumber panas bumi. Akibatnya, terjadi sengketa perebutan wilayah kerja seperti antara Tampo Mas yang dioperasikan Indonesia Power, dan Tangkuban Perahu yang dioperasikan Tri Energi. Masalah sengketa lahan ini menyebabkan lelang lahan kemungkinan sepi peminat.
Permasalahan lainnya adalah tanggung jawab pengeboran dan penetapan harga jual listrik geothermal yang diminta investor supaya lebih tinggi (10 sd 15 %) daripada harga listrik berbahan bakar fosil. Terkait harga jual listrik dari PLTP, estimasi swasta terhadap mengindikasikan harga listrik geothermal kurang kompetitif dibanding harga listrik PLN berbahan bakar fosil. Produksi listrik geothermal sekitar 6-8 sen dollar AS per kWh, sedangkan produksi listrik PLN hanya berkisar 4-5 sen USD per-kWh. Selisih harga itu membutuhkan kesepakatan antara pemerintah (diwakili oleh PLN) dengan investor. Tuntutan para investor adalah pengeboran sampai menjadi sumur geothermal menjadi tanggungan pemerintah karena tahap pengeboran ini memiliki risiko ketidakpastian tinggi sehingga membuat pihak swasta kurang tertarik untuk menanamkan investasi pada tahap ini. Dalam pembangkitan listrik, harga beli per kWh oleh PLN dinilai tak sebanding dengan biaya eksplorasi dan pembangunan PLTP ini. Sementara PLN berpatokan bahwa TDL yang ditetapkan pemerintah di bawah harga komersial, yaitu 7 sen USD per kWh.
PT Pertamina Geothermal Energy (PGE), sebagai pemain utama geothermal di Indonesia mendapat banyak tawaran diantaranya loan sebesar 500 juta USD dari Bank Dunia. Pinjaman itu akan digunakan untuk mendanai proyek pengembangan geothermal di delapan wilayah kerja geothermal dengan kapasitas 1.092 MW dengan kebutuhan mencapai 1 miliar USD. Baru-baru ini, delegasi US Chamber of Commerce melaui jaringan bisnisnya seperti Bank Exim, OPIC (Overseas Private Investment Co.) berminat investasi di geothermal dan bidang renewable energy lainnya di Indonesia, demikian juga jaringan Eropa khususnya Jerman dan Belanda. Disamping tawaran itu ada juga komitmen hibah Bank Dunia melalui skema GEF-Global Environment Facility senilai 4 juta USD untuk Geothermal Generation Power Development Program- pengembangan geothermal yang disalurkan melalui DESDM. Potensi menggiurkan lain adalah dana CDM-Clean Development Mechanism melalui carbon trading melalui pengurangan emisi GRK dari pengembangan geothermal 27 GWe.
Pengembang PLTP dapat mengajukan CER-Certificate Emission Reduction yang bernilai ekonomis bila diperdagangkan melalui mekanisme carbon trading. Reduksi GRK yang diemisikan oleh pembakaran BBM pada power plant konvensional yang digantikan PLTP akan dinilai seharga 10 s.d. 12 Euro per-ton pertahun di pasar carbon trading. Untuk proyek geothermal 27 GWe Indonesia bisa memperoleh dana carbon trading mencapai 20 juta Euro (sekitar Rp.286 milyar) pertahun. Dana itu bisa digunakan untuk membiayai proyek renewable energy atau kebutuhan masyarakat lain.
Potensi geothermal biasanya berada di pegunungan dan kawasan terpencil -sering kurang termanfaatkan secara optimal karena kebutuhan listrik di kawasan itu sedikit dan atau belum ekonomis untuk eksplorasinya. Banyak sumur-sumur geothermal belum termanfaatkan karena keekonomisannya belum tercapai. Sebagai solusi, perlu dikembangkan PLTP skala kecil 2 s.d 5 MW yang bisa dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan listrik satu kabupaten dengan melibatkan investor lokal seperti Pemda atau BUMD. Alternatif ini harus segera dimulai karena Investor besar hanya tertarik investasi geothermal skala besar di atas 10 MW.
Lokasi pengembangan geothermal juga merupakan potensi untuk pengembangan suatu wilayah (growth center). Fluida panas geothermal sejak lama dimanfaatkan untuk berbagai keperluan sebagai (direct use) air panas sebagai sumber energi sejak jaman Romawi, Amerika Latin dan China kuno. Kawasan Geothermal sangat cocok untuk wisata air panas dan spa karena banyak orang percaya bahwa air mineral geothermal memiliki kekuatan penyembuh alami. Penggunaan mata air panas untuk memasak, pemanas green house tanaman pertanian, perikanan, peternakan (bahkan peternakan buaya di AS), pengering produk pertanian (kopra, kakao, gula aren), pemanasan tanah, pengeringan kayu, kertas dan budidaya jamur. Inovasi dan pengembangan teknologi tepat guna ramah lingkungan sekaligus mengembangkan perekonomian masyarakat lokal.