Masalah asap saat ini bukan hanya merupakan soal sepele seperti halnya membakar sampah yang menumpuk di pekarangan.Asap bisa menjadi indikator pemahaman nilai etika dan indikator ketaatan pada hukum. Demikian halnya dengan asap akibat kebakaran dan pembakaran hutan yang terjadi hampir setiap tahun hingga di Indonesia fenomena itu dianggap kejadian biasa.
Fenomena asap 'tahunan' dari Indonesia ternyata bisa berkembang menjadi bencana global. Kabut asap tanpa tercegah melenggang ke negara lain dan menjadi polusi lintas-batas. Masalah asap ini pula yang menjadi alasan bangsa lain melecehkan Indonesia sebagai 'bangsa Indon'. Suatu istilah yang berkonotasi 'manusia bodoh' atau berkonotasi negatif lain bagi pekerja atau pelajar Indonesia di negeri jiran.Beberapa ahli ekoklimatologi bahkan menganggap fenomena polusi dari Indonesia itu sebagai pemicu perubahan iklim global yang akan menimbulkan bencana seluruh umat manusia dalam jangka panjang.
Melalui satelit Measurement of Air Pollution Satellite (MAPS) dan pesawat komersial Matsueda dkk dari Jepang telah melakukan riset selama 8 tahun tentang dampak polusi udara dari Indonesia pada lapisan troposfir. Data penelitian itu melaporkan bahwa dampak polusi kebakaran lahan dan hutan di Indonesia telah meningkatkan konsentrasi gas karbon monokasida melebihi 100 ppb dan gas rumah kaca (karbondioksida, methana) sebesar 30 persen dari total emisi dunia. Dampak asap kebakaran hutan dan lahan juga telah menurunkan kualitas udara di berbagi kota di beberapa negara. Di Pekanbaru, Kuala Lumpur, Kuching, Singapura asap tersebut menurunkan kualitas udara melewati level sangat berbahaya standar air pollution index (API) yaitu mencapai level di atas angka 300-500 atau tiga sampai lima kali batas normal. Kondisi ini sangat membahayakan semua mahluk hidup terutama manusia.
Menurut prediksi tak kurang 20 juta manusia di kawasan semenanjung Malaka dan Sijori menanggung derita akibat asap tersebut. Aktivitas bisnis, sekolah, pariwisata, transportasi udara dan laut banyak mengalami gangguan. Dengan bahasa serta ungkapan lain mereka mengumpat dan memaki Indonesia karena tak becus mengatasi masalah dalam negerinya sehingga merugikan tetangganya. Namun pejabat kita, umumnya malah balik menyalahkan investor asing di sektor perkebunan yang notabene berasal dari negeri-negeri jiran tersebut.
Patut kita renungkan kerugian yang diderita oleh masyarakat negara tetangga. Misalnya, biaya kesehatan, aktivitas bisnis dan penerbangan yang batal, devisa yang hilang akibat batalnya kunjungan turis dan sebagainya. Kerugian yang dialami jutaan masayarakat akibat asap tersebut bila dihitung secara ekonomis akan mencapai jutaan dolar. Beda dengan kejengkelan masyarakat, pihak pemerintah Malaysia dan Singapura masih berbaik hati, tidak menuntut ganti rugi kepada pemerintah Indonesia. Bahkan, mereka membantu mengirim pasukan pemadam kebakaran serta tim hujan buatan. Negara-negara Uni Eropa dan Jepang sejak 1998 juga memberikan bantuan khusus untuk mencegah bencana kebakaran hutan dan lahan, namun hasilnya bencana itu terus saja berulang.Walhi dan WWF beberapa tahun lalu pernah melaporkan sejumlah perusahaan yang ditengarai terlibat dalam aksi pembukaan lahan dengan pembakaran. Upaya gugatan class action juga telah digelar guna mendesak pemerintah untuk bertindak tegas pada perusahaan 'nakal' yang terlibat insiden serupa berkali-kali. Namun, penanganan kasus pembakaran lahan selalu terhenti di tengah jalan. Bukti-bukti titik api melalui citra satelit belum dianggap sahih oleh penyidik atau pengadilan.
Polusi di perkotaan
Lantas bagaimana reputasi kita dengan masalah asap atau polusi udara di perkotaan. Ternyata lebih buruk daripada kasus bencana kebakaran hutan dan lahan. Menurut data BPLHD DKI (2004) untuk parameter hidrocarbon (HC) sektor transportasi menghasilkan 44 ribu ton per tahun, sementara dari sumber pembakaran biomas hanya 6,2 ribu ton per tahun. Parameter nitrogen dan sulfur dioksida tercatat sekitar 40 ribu ton per tahun dihasilkan oleh sektor transportasi, sedang dari pembakaran biomas hanya sekitar 500 ton per tahun.Dengan kondisi emisi demikian maka tak heran bila Jakarta dinobatkan UNEP menjadi juara ketiga sebagai kota dengan kualitas udara terburuk di dunia. Polusi udara di Jakarta sering menjadi buah bibir, dan sering dipertanyakan dalam percakapan sehari-hari apabila orang Indonesia berbicara dengan orang asing di luar negeri.
Kementrian Lingkungan Hidup Indonesia juga menyatakan bahwa catatan indeks standar pencemaran udara (ISPU) di Jakarta tidak semakin baik. Sepanjang 2005, hanya 28 hari udara Jakarta menunjukkan keadaan baik, 223 hari dengan tingkat polusi sedang, 67 hari udara tidak sehat. Peningkatan kualifikasi udara tidak sehat ini dipastikan akan terus meluas di kota-kota besar lain. Penyebabnya adalah jumlah kendaraan bermotor terus meningkat. Kondisi itu diperburuk dengan rendahnya kualitas BBM dan semrawutnya tata ruang perkotaan.Sebagian besar kendaraan bermotor di Indonesia menggunakan bahan bakar minyak (BBM) berupa premium, premix, atau solar dan sangat sedikit yang memakai gas yang rendah emisi. Apabila dibandingkan dengan asap kebakaran hutan, dampak emisi kendaraan bermotor lebih berbahaya bagi kesehatan manusia. Berbagai kajian menyatakan bahwa emisi kendaraan bermotor bisa menurunkan tingkat kecerdasan, perkembangan mental anak, tekanan darah tinggi, terganggunya fungsi ginjal, dan sebagainya.Mengingat begitu dahsyatnya dampak emisi sektor transportasi pada kualitas udara perkotaan, lantas apa upaya yang dilakukan untuk menurunkan polusi udara di perkotaan. Sebenarnya telah banyak dana dan daya dikeluarkan untuk memperbaiki kualitas udara di perkotaan di Indonesia. Namun sayang, upaya tersebut kurang membawa hasil.
Salah satu sebabnya adalah kurang terintegrasinya program berbagai departemen terkait dengan polusi udara.Dalam hal standar kualitas udara, sebenarnya Indonesia tergolong sangat longgar dibanding standar WHO, Eropa, maupun EPA. Sebagai contoh, kandungan ozon permukaan standar internasional sebesar 120 ppb, sementara standar Indonesia sebesar 235 ppb. Sedangkan polusi ozon permukaan di Jakarta mencapai 420 ppb atau hampir 4 kali standar internasional dan dua kali standar nasional.Ozon permukaan ini merupakan pencemar sekunder yang terjadi melalui reaksi fotokimia antara gas hidrokarbon (HC) dan NOx dari berbagai sumber dengan sinar ultraviolet matahari. Kadar polusi ozon permukaan yang tinggi ini menyebabkan meningkatnya penderita asma dan bronchitis di perkotaan. Sementara itu -partikel debu- atau PM10 di Jakarta mencapai 3 kali standar WHO, 100 mikrogram per meterkubik. Sulfur dioksida mencapai dua kali standar internasional. Standar kadar timbal nasional adalah 2 mikrogram, sementara di kawasan tertentu di Jabodetabek bisa mencapai sekitar 3 mikrogram atau satu setengah kali standar nasional dan dua kali standar internasional. Berbagai fakta itu menunjukkan bahwa dalam masalah asap, emisi atau polusi udara, sebagian besar warga Indonesia tak punya etika.
Ditampilkan di www.Republika.co.idSabtu, 28 Oktober 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar