Minggu, 20 Desember 2009

Menguji Komitmen Indonesia sebagai Penggagas WOC


Sebentar lagi tahun 2009 akan kita tutup. Salah satu kegiatan akbar pada ‘Marine Tourism Year’ ini adalah World Ocean Conference di Manado, Sulawesi pertengahan Mei lalu. Dalam forum itu, Indonesia didukung oleh UNEP (United Nations Environment Program) beserta negara-negara kawasan Indo-Pacific Segitiga Terumbu Karang menggagas Coralreef Triangle Initiatives (CTI) yang akan dituangkan dalam ‘Manado Ocean Declaration’. Negara kawasan segitiga terumbu karang ini meliputi Indonesia, Malaysia (Sabah), Filipina, Timor Leste, Papua Nugini, dan Kepulauan Solomon, dihuni sekitar 120 juta penduduk yang hidupnya secara langsung atau tidak ditopang oleh kelestarian terumbu karang di wilayah tersebut. Manado Declaration berisi seruan pada dunia mengenai upaya mitigasi global warming melalui pengelolaan dan konservasi sumberdaya kelautan (terumbu karang) dan sumberdaya perikanan secara lestari sekaligus untuk menarik kunjungan wisata bahari.


Namun apa yang terjadi? Belum genap 6 bulan komitmen WOC tersebut, sudah ada ujian maha dahsyat yang apabila kita tidak hati-hati dan cermat, potensi kemaritiman di atas bisa berubah manjadi ‘maritime eco-tragedy’ -mengubah ‘wisata bahari’ menjadi ‘wisata bencana’ akibat kehancuran aset pembangunan itu.Bencana ekologis itu dimulai di jurisdiksi negara tetangga, Australia. Pada 21 Agustus 2009, sebuah ‘kecelakaan’ terjadi di rig minyak -mobile platform- bernama The West Atlas. Rig minyak ini dikontrak oleh PTTEP Australasia (sebuah perusahaan multinasional milik mantan PM Thailand Thaksin Sinawatra), berada 690 kilometer dari Kota Darwin, Australia. Blok Montara, sebuah proyek eksplorasi minyak lepas pantai yang disebut sebagai terbesar kedua di Australia ini, gagal melakukan pengeboran. Akibatnya adalah minyak dari dasar laut sedalam kurang lebih 2,6 kilometer itu menyembur keluar dan mengotori Laut Timor. Diprediksi sejak 21 Agustus 2009 lebih dari 2.000 barrel minyak perhari telah meluber keluar air laut dan menggenangi kawasan seluas 6.000 kilometer persegi. Kemudian pada 29 September 2009 tumpahan itu mulai memasuki wilayah Indonesia dengan posisi sekitar 50 mil dari batas wilayah perairan laut antara Indonesia-Australia dan terus bergerak mengikuti arus laut. Badan perlindungan lingkungan Australia dan AMSA (Australian Marine Safety Agency) menyatakan bahwa tumpahan minyak yang sangat beracun itu akan menimbulkan dampak yang sangat luas di sekitar Laut Timor dan perairan NTT di Indonesia. Citra SatelitBencana polusi minyak di kawasan Timor Gap itu juga dimanfaatkan oleh berbagai provider satelit sebagai ajang adu keakuratan dan kecepatan dalam mencitrakan pencemaran di laut lepas tersebut.


Beberapa satelit radar dan satelit sensor optical multi-spectral belomba mencitrakan pencemaran tumpahan minyak yang tergolong maha dahsyat itu. Lokasi lapangan minyak Montara yang sangat jauh memerlukan wahana khusus untuk memantaunya; kondisi itu diperankan dengan baik oleh beberapa satelit observasi bumi seperti satelit radar COSMO-SkyMed (Italia), TerraSAR-X (Jerman) dan ENVISAT (European Space Agency). Wahana radar via satelit ini telah membuktikan kemampuannya dalam mendeteksi tumpahan minyak di permukaan laut tanpa takut terhalang oleh kehadiran awan. Sekaligus memberikan laporan karakteristik temporal dan spasial termasuk prediksi pola pergerakannya. Pada saat langit cerah, citra tumpahan minyak juga telah berhasil diabadikan oleh satelit resolusi sedang dan rendah MODIS Terra dan Aqua milik AS.


Sayangnya, sampai saat ini Indonesia belum mampu mengatasi masalah tumpahan minyak di laut, baik yang disebabkan oleh kapal tanker, fasilitas eksplorasi di laut ataupun sebab lain. Pemakaian satelit-satelit lintas kutub (Polar Orbit) dengan teknologi ASAR (Advance sytnthetic aperture radar), sebenarnya dapat mendeteksi tumpahan minyak di permukaan laut dan melacak siapa dan di mana sumbernya bersembunyi. Pelanggaran Hukum Tumpahan minyak di kawasan “Coral Triangle” itu mengundang protes dari banyak pihak, baik dari Australia maupun Indonesia, terutama dari aktivis NGO. Sejauh ini pemerintah RI melalui Kementerian Lingkungan Hidup sudah menyurati Australia perihal bencana tersebut. Protes juga datang dari kalangan nelayan Indonesia yang menggantungkan hidup dari keberadaan ikan di wilayah Laut Timor. Bila tumpahan minyak terus masuk ke wilayah Indonesia, dikhawatirkan ia akan masuk ke kawasan perlindungan laut terbesar di Indonesia, yaitu Laut Sawu. Tumpahnya minyak Blok Montara merupakan pelanggaran aturan internasional tentang lingkungan hidup di wilayah laut. Pasal 208 UNCLOS mengatur mengenai polusi akibat pengeboran minyak di lepas pantai di dasar laut pada jurisdiksi suatu Negara. Pasal 208 menyatakan bahwa negara pantai wajib membuat aturan dan hukum yang mencegah, mengurangi dan mengontrol polusi dari aktivitas di bawah laut. Aktivitas pengeboran minyak lepas pantai dimasukkan dalam kriteria aktivitas di dasar laut. UNCLOS juga mengatur mengenai polusi yang diakibatkan aktivitas di dasar laut yang berada di luar jurisdiksi suatu Negara. Dalam hal terjadi kerusakan lingkungan, maka seperti juga di negara lain, pemerintah Australia diharuskan memberikan peringatan, denda, penundaan proyek dan bahkan pembatalan proyek. Sebagai negara yang terkena dampak pencemaran lintas batas itu Indonesia berhak menuntut Australia untuk bertanggung jawab atas terjadinya kebocoran minyak tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar