Senin, 21 Desember 2009

Geothermal, Energi Bersih Yang (Tak) Susah Diraih




Masih segar dalam ingatan kita ketika terjadi September Black-out krisis pasokan listrik untuk seluruh Jawa dan Bali. Seluruh aktivitas masyarakat dan instalasi publik sampai KRL macet tidak berjalan karena krisis listrik. Sampai kinipun masalah itu belum tuntas dan masyarakat harus rela listrik byar-pet menunggu giliran pemadaman. Kondisi itu merupakan refleksi rangkaian lingkaran setan managemen energi kita yang masih semrawut. Penyebabnya adalah ketidakmampuan pemerintah mengelola energi secara nasional. Blue-print cetak biru perencanaan pengelolaan energi nasional telah lama dibuat namun hanya menjadi macan kertas tidak implementatif dilapangan.


Semakin hari, kian terasa bahwa kejayaan energi fosil akan segera berakhir. Berbagai forum internasional menyuarakan pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) dari energi bahan bakar fosil sebagai pemicu pemanasan global, yang mengemuka sejak 1980-an. Kondisi ini merupakan tantangan sekaligus peluang bagi pengembangan energi baru terbarukan bagi Indonesia. Pemerintah sejak 1995 telah mencanangkan pengurangan laju pertumbuhan emisi GRK sebagai implementasi Protokol Kyoto. Melalui UU No. 30, 2007 Tentang Pengembangan Renewable Energy dan Penerapan Konservasinya, Pemerintah secara nasional berupaya memberikan insentif dan kemudahan bagi pengembangan energi baru dan terbarukan seperti mikro-hidro dan geothermal.
Geothermal adalah energi panas yang tersimpan dalam batuan dibawah permukaan bumi dengan fluida didalamnya, pada kedalaman 1.000-2.000 meter di bawah permukaan tanah. Di seluruh dunia, energi ini telah dipakai sebagai pembangkit listrik di 24 negara. Sejak tahun 1990-an, instalasi PLTP-Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi didunia sebesar 6.017 MW tersebar pada 330 PLTP ekivalen dengan 6 PLTN. Dari segi emisi GRK, PLTP tergolong amat bersih, hanya mengemisikan GRK sebesar 0,00 s.d 0,07 kg/kWh sangat jauh dibanding power plant konvensional dengan emisi 0,68 s.d 1,18 kg/kWh. Keunggulan PLTP lainnya adalah tak terganggu pasokan karena transportasi, iklim, maupun cuaca seperti jenis pembangkit lain. Geothermal juga bukan komoditas yang bisa diperdagangkan di pasar internasional sehingga produksi tak terpengaruh oleh gejolak harga energi dunia. Bahkan, dengan fluktuasi harga minyak dunia seperti saat ini, geothermal berpotensi menyelamatkan devisa negara melalui efisiensi konsumsi BBM.


Indonesia memiliki potensi geothermal sangat besar mencapai 27 GWe (atau 219 juta SBM-Setara Barrel Minyak) hampir setara dengan kapasitas listrik terpasang saat ini. Sampai awal 2009 terdapat 257 lokasi geothermal tersebar pada lingkungan vulkanik (203 unit) dan 54 berada di lingkungan non vulkanik seperti di Sulawesi (kecuali Sulut), Kalimantan Barat, dan dii kepala burung Irian Jaya. Unit geothermal terpasang saat ini mencapai 1042 MWe, Unit yang telah berproduksi yaitu G. Salak (375 MWe), Kamojang (200 MWe), Darajat (255 MWe), Wayang Windu (110 MWe), di Jawa Barat; Dieng (60MWe), Lahendong (40 MWe), dan Sibayak (2 MWe).


Investasi penggalian sumur geothermal tergolong mahal dan penuh resiko. Untuk kapasitas dibawah 1 MW, investasi berkisar 3.000-5.000 USD per-kW, sedang untuk kapasitas di atas 1 MW, diperlukan investasi 1.500-2.500 USD per-kW. Sifat geothermal yang "site specific" kondisi geologis lokal memerlukan penanganan spesifik pula. Karakter dan kualitas produksi geothermal; berbeda dari satu area ke area yang lain. Misalnya, kandungan gas tinggi (H2S, CO2 dll) mengakibatkan investasi lebih besar di pembangkitnya.


Pemerintah Indonesia saat ini telah menetapkan geothermal sebagai prioritas penunjang program pengembangan pembangkit listrik 10 Gigawatt tahap kedua pada 2009 hingga 2014. Namun, naga-naganya target pembangunan proyek pembangkit listrik geothermal 3.000 MW pada 2011 akan meleset. Masalah pembagian wilayah kerja adalah salah satu penghambat realisasinya. Beberapa wilayah kerja letaknya berdekatan, ditengarai berasal dari satu sumber panas bumi. Akibatnya, terjadi sengketa perebutan wilayah kerja seperti antara Tampo Mas yang dioperasikan Indonesia Power, dan Tangkuban Perahu yang dioperasikan Tri Energi. Masalah sengketa lahan ini menyebabkan lelang lahan kemungkinan sepi peminat.


Permasalahan lainnya adalah tanggung jawab pengeboran dan penetapan harga jual listrik geothermal yang diminta investor supaya lebih tinggi (10 sd 15 %) daripada harga listrik berbahan bakar fosil. Terkait harga jual listrik dari PLTP, estimasi swasta terhadap mengindikasikan harga listrik geothermal kurang kompetitif dibanding harga listrik PLN berbahan bakar fosil. Produksi listrik geothermal sekitar 6-8 sen dollar AS per kWh, sedangkan produksi listrik PLN hanya berkisar 4-5 sen USD per-kWh. Selisih harga itu membutuhkan kesepakatan antara pemerintah (diwakili oleh PLN) dengan investor. Tuntutan para investor adalah pengeboran sampai menjadi sumur geothermal menjadi tanggungan pemerintah karena tahap pengeboran ini memiliki risiko ketidakpastian tinggi sehingga membuat pihak swasta kurang tertarik untuk menanamkan investasi pada tahap ini. Dalam pembangkitan listrik, harga beli per kWh oleh PLN dinilai tak sebanding dengan biaya eksplorasi dan pembangunan PLTP ini. Sementara PLN berpatokan bahwa TDL yang ditetapkan pemerintah di bawah harga komersial, yaitu 7 sen USD per kWh.


PT Pertamina Geothermal Energy (PGE), sebagai pemain utama geothermal di Indonesia mendapat banyak tawaran diantaranya loan sebesar 500 juta USD dari Bank Dunia. Pinjaman itu akan digunakan untuk mendanai proyek pengembangan geothermal di delapan wilayah kerja geothermal dengan kapasitas 1.092 MW dengan kebutuhan mencapai 1 miliar USD. Baru-baru ini, delegasi US Chamber of Commerce melaui jaringan bisnisnya seperti Bank Exim, OPIC (Overseas Private Investment Co.) berminat investasi di geothermal dan bidang renewable energy lainnya di Indonesia, demikian juga jaringan Eropa khususnya Jerman dan Belanda. Disamping tawaran itu ada juga komitmen hibah Bank Dunia melalui skema GEF-Global Environment Facility senilai 4 juta USD untuk Geothermal Generation Power Development Program- pengembangan geothermal yang disalurkan melalui DESDM. Potensi menggiurkan lain adalah dana CDM-Clean Development Mechanism melalui carbon trading melalui pengurangan emisi GRK dari pengembangan geothermal 27 GWe.


Pengembang PLTP dapat mengajukan CER-Certificate Emission Reduction yang bernilai ekonomis bila diperdagangkan melalui mekanisme carbon trading. Reduksi GRK yang diemisikan oleh pembakaran BBM pada power plant konvensional yang digantikan PLTP akan dinilai seharga 10 s.d. 12 Euro per-ton pertahun di pasar carbon trading. Untuk proyek geothermal 27 GWe Indonesia bisa memperoleh dana carbon trading mencapai 20 juta Euro (sekitar Rp.286 milyar) pertahun. Dana itu bisa digunakan untuk membiayai proyek renewable energy atau kebutuhan masyarakat lain.


Potensi geothermal biasanya berada di pegunungan dan kawasan terpencil -sering kurang termanfaatkan secara optimal karena kebutuhan listrik di kawasan itu sedikit dan atau belum ekonomis untuk eksplorasinya. Banyak sumur-sumur geothermal belum termanfaatkan karena keekonomisannya belum tercapai. Sebagai solusi, perlu dikembangkan PLTP skala kecil 2 s.d 5 MW yang bisa dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan listrik satu kabupaten dengan melibatkan investor lokal seperti Pemda atau BUMD. Alternatif ini harus segera dimulai karena Investor besar hanya tertarik investasi geothermal skala besar di atas 10 MW.


Lokasi pengembangan geothermal juga merupakan potensi untuk pengembangan suatu wilayah (growth center). Fluida panas geothermal sejak lama dimanfaatkan untuk berbagai keperluan sebagai (direct use) air panas sebagai sumber energi sejak jaman Romawi, Amerika Latin dan China kuno. Kawasan Geothermal sangat cocok untuk wisata air panas dan spa karena banyak orang percaya bahwa air mineral geothermal memiliki kekuatan penyembuh alami. Penggunaan mata air panas untuk memasak, pemanas green house tanaman pertanian, perikanan, peternakan (bahkan peternakan buaya di AS), pengering produk pertanian (kopra, kakao, gula aren), pemanasan tanah, pengeringan kayu, kertas dan budidaya jamur. Inovasi dan pengembangan teknologi tepat guna ramah lingkungan sekaligus mengembangkan perekonomian masyarakat lokal.

Minggu, 20 Desember 2009

Asap dan Reputasi Bangsa


Masalah asap saat ini bukan hanya merupakan soal sepele seperti halnya membakar sampah yang menumpuk di pekarangan.Asap bisa menjadi indikator pemahaman nilai etika dan indikator ketaatan pada hukum. Demikian halnya dengan asap akibat kebakaran dan pembakaran hutan yang terjadi hampir setiap tahun hingga di Indonesia fenomena itu dianggap kejadian biasa.

Fenomena asap 'tahunan' dari Indonesia ternyata bisa berkembang menjadi bencana global. Kabut asap tanpa tercegah melenggang ke negara lain dan menjadi polusi lintas-batas. Masalah asap ini pula yang menjadi alasan bangsa lain melecehkan Indonesia sebagai 'bangsa Indon'. Suatu istilah yang berkonotasi 'manusia bodoh' atau berkonotasi negatif lain bagi pekerja atau pelajar Indonesia di negeri jiran.Beberapa ahli ekoklimatologi bahkan menganggap fenomena polusi dari Indonesia itu sebagai pemicu perubahan iklim global yang akan menimbulkan bencana seluruh umat manusia dalam jangka panjang.
Melalui satelit Measurement of Air Pollution Satellite (MAPS) dan pesawat komersial Matsueda dkk dari Jepang telah melakukan riset selama 8 tahun tentang dampak polusi udara dari Indonesia pada lapisan troposfir. Data penelitian itu melaporkan bahwa dampak polusi kebakaran lahan dan hutan di Indonesia telah meningkatkan konsentrasi gas karbon monokasida melebihi 100 ppb dan gas rumah kaca (karbondioksida, methana) sebesar 30 persen dari total emisi dunia. Dampak asap kebakaran hutan dan lahan juga telah menurunkan kualitas udara di berbagi kota di beberapa negara. Di Pekanbaru, Kuala Lumpur, Kuching, Singapura asap tersebut menurunkan kualitas udara melewati level sangat berbahaya standar air pollution index (API) yaitu mencapai level di atas angka 300-500 atau tiga sampai lima kali batas normal. Kondisi ini sangat membahayakan semua mahluk hidup terutama manusia.
Menurut prediksi tak kurang 20 juta manusia di kawasan semenanjung Malaka dan Sijori menanggung derita akibat asap tersebut. Aktivitas bisnis, sekolah, pariwisata, transportasi udara dan laut banyak mengalami gangguan. Dengan bahasa serta ungkapan lain mereka mengumpat dan memaki Indonesia karena tak becus mengatasi masalah dalam negerinya sehingga merugikan tetangganya. Namun pejabat kita, umumnya malah balik menyalahkan investor asing di sektor perkebunan yang notabene berasal dari negeri-negeri jiran tersebut.

Patut kita renungkan kerugian yang diderita oleh masyarakat negara tetangga. Misalnya, biaya kesehatan, aktivitas bisnis dan penerbangan yang batal, devisa yang hilang akibat batalnya kunjungan turis dan sebagainya. Kerugian yang dialami jutaan masayarakat akibat asap tersebut bila dihitung secara ekonomis akan mencapai jutaan dolar. Beda dengan kejengkelan masyarakat, pihak pemerintah Malaysia dan Singapura masih berbaik hati, tidak menuntut ganti rugi kepada pemerintah Indonesia. Bahkan, mereka membantu mengirim pasukan pemadam kebakaran serta tim hujan buatan. Negara-negara Uni Eropa dan Jepang sejak 1998 juga memberikan bantuan khusus untuk mencegah bencana kebakaran hutan dan lahan, namun hasilnya bencana itu terus saja berulang.Walhi dan WWF beberapa tahun lalu pernah melaporkan sejumlah perusahaan yang ditengarai terlibat dalam aksi pembukaan lahan dengan pembakaran. Upaya gugatan class action juga telah digelar guna mendesak pemerintah untuk bertindak tegas pada perusahaan 'nakal' yang terlibat insiden serupa berkali-kali. Namun, penanganan kasus pembakaran lahan selalu terhenti di tengah jalan. Bukti-bukti titik api melalui citra satelit belum dianggap sahih oleh penyidik atau pengadilan.


Polusi di perkotaan

Lantas bagaimana reputasi kita dengan masalah asap atau polusi udara di perkotaan. Ternyata lebih buruk daripada kasus bencana kebakaran hutan dan lahan. Menurut data BPLHD DKI (2004) untuk parameter hidrocarbon (HC) sektor transportasi menghasilkan 44 ribu ton per tahun, sementara dari sumber pembakaran biomas hanya 6,2 ribu ton per tahun. Parameter nitrogen dan sulfur dioksida tercatat sekitar 40 ribu ton per tahun dihasilkan oleh sektor transportasi, sedang dari pembakaran biomas hanya sekitar 500 ton per tahun.Dengan kondisi emisi demikian maka tak heran bila Jakarta dinobatkan UNEP menjadi juara ketiga sebagai kota dengan kualitas udara terburuk di dunia. Polusi udara di Jakarta sering menjadi buah bibir, dan sering dipertanyakan dalam percakapan sehari-hari apabila orang Indonesia berbicara dengan orang asing di luar negeri.


Kementrian Lingkungan Hidup Indonesia juga menyatakan bahwa catatan indeks standar pencemaran udara (ISPU) di Jakarta tidak semakin baik. Sepanjang 2005, hanya 28 hari udara Jakarta menunjukkan keadaan baik, 223 hari dengan tingkat polusi sedang, 67 hari udara tidak sehat. Peningkatan kualifikasi udara tidak sehat ini dipastikan akan terus meluas di kota-kota besar lain. Penyebabnya adalah jumlah kendaraan bermotor terus meningkat. Kondisi itu diperburuk dengan rendahnya kualitas BBM dan semrawutnya tata ruang perkotaan.Sebagian besar kendaraan bermotor di Indonesia menggunakan bahan bakar minyak (BBM) berupa premium, premix, atau solar dan sangat sedikit yang memakai gas yang rendah emisi. Apabila dibandingkan dengan asap kebakaran hutan, dampak emisi kendaraan bermotor lebih berbahaya bagi kesehatan manusia. Berbagai kajian menyatakan bahwa emisi kendaraan bermotor bisa menurunkan tingkat kecerdasan, perkembangan mental anak, tekanan darah tinggi, terganggunya fungsi ginjal, dan sebagainya.Mengingat begitu dahsyatnya dampak emisi sektor transportasi pada kualitas udara perkotaan, lantas apa upaya yang dilakukan untuk menurunkan polusi udara di perkotaan. Sebenarnya telah banyak dana dan daya dikeluarkan untuk memperbaiki kualitas udara di perkotaan di Indonesia. Namun sayang, upaya tersebut kurang membawa hasil.


Salah satu sebabnya adalah kurang terintegrasinya program berbagai departemen terkait dengan polusi udara.Dalam hal standar kualitas udara, sebenarnya Indonesia tergolong sangat longgar dibanding standar WHO, Eropa, maupun EPA. Sebagai contoh, kandungan ozon permukaan standar internasional sebesar 120 ppb, sementara standar Indonesia sebesar 235 ppb. Sedangkan polusi ozon permukaan di Jakarta mencapai 420 ppb atau hampir 4 kali standar internasional dan dua kali standar nasional.Ozon permukaan ini merupakan pencemar sekunder yang terjadi melalui reaksi fotokimia antara gas hidrokarbon (HC) dan NOx dari berbagai sumber dengan sinar ultraviolet matahari. Kadar polusi ozon permukaan yang tinggi ini menyebabkan meningkatnya penderita asma dan bronchitis di perkotaan. Sementara itu -partikel debu- atau PM10 di Jakarta mencapai 3 kali standar WHO, 100 mikrogram per meterkubik. Sulfur dioksida mencapai dua kali standar internasional. Standar kadar timbal nasional adalah 2 mikrogram, sementara di kawasan tertentu di Jabodetabek bisa mencapai sekitar 3 mikrogram atau satu setengah kali standar nasional dan dua kali standar internasional. Berbagai fakta itu menunjukkan bahwa dalam masalah asap, emisi atau polusi udara, sebagian besar warga Indonesia tak punya etika.


Ditampilkan di www.Republika.co.idSabtu, 28 Oktober 2006

WOC-Momentum Pembenahan Maritime di Indonesia


Tahun 2009 dicanangkan oleh pemeritah kita sebagai Marine Tourism Year melalui event akbarnya World Ocean Conference di Manado Sulawesi pada pertengahan Mei. Dalam forum akbar itu Indonesia didukung oleh UNEP-United Nations Environment Program beserta negara-negara kawasan Indo-Pasifik Segitiga Terumbu Karang meliputi Indonesia, Malaysia (Sabah), Philipina, Timor Leste, Papua Nugini dan Kep. Solomon menawarkan ide Coralreef Triangle Initiatives (CTI) yang akan dituangkan dalam Manado Ocean Declaration. Kawasan segitiga termbu karang tsb dihuni sekitar 120 juta penduduk yang hidupnya secara langsung atau tidak ditopang oleh kelestarian terumbu karang diwilayah itu. CTI berisi seruan pada dunia upaya mitigasi global warming melalui pengelolaan dan konservasi sumberdaya kelautan berupa terumbu karang dan sumber daya perikanan secara lestari. Melalui WOC ini pula Indonesia berupaya untuk menarik kunjungan wisata bahari melalui pelestarian maskot WOC yakni Latemeria manadoensis -ikan naga purba-, terumbu karang dan sumberdaya hayati laut lain demi ketahanan pangan di masa datang.

Forum WOC sebenarnya juga merupakan momentum yang pas untuk membenahi sederet keruwetan pengelolaan kemaritiman di negeri ini. Tak bisa dipungkiri bahwa sektor kemaritiman dalam negeri masih menyisakan banyak masalah rumit dan kompleks. Mulai dari banyaknya musibah (kapal tenggelam, tabrakan, kebakaran), pencemaran laut (tumpahan minyak, limbah/tailing dan sampah), illegal fishing, penyelundupan (kayu, komoditi dagang dan narkoba), perompakan sampai child worker abuse dan PHK. Yang lebih mengerikan adalah dari sisi geografis teritorial Indonesia terhampar pada ring of disaster, berupa pertemuan dua lempeng benua serta sabuk gunung api yang potensial menjadi sumber bencana gempa (tektonik, vulkanik) dan tsunami. Pendek kata, apabila kita tidak hati-hati dan cermat dalam mengelola dan mempersiapkan pembenahan dunia maritim tsb maka semua potensi kemaritiman diatas bisa berubah dari maritime eco-tourism manjadi maritime eco-tragedy. Mengubah wisata bahari menjadi wisata bencana akibat kehancuran asset pembangunan karena mis-manajemen atau bencana alam seperti sering terjadi di tanah air kita akhir-akhir ini.Berbagai tantangan dan peluang itu seharusnya membuat kita kembali ke lautberfokus pada ocean development policy- karena land base development policy terbukti belum mampu membawa kesejahteraan bangsa kita sampai saat ini.


Maritime Awareness


Akhir 2008 lalu di Singapura perwakilan coast guard dunia mengadakan MDA-Maritime Domain Awareness Meeting ke 5. Dalam meeting MDA itu para coast guard dari negara-negara di Uni Eropa, Amerika Utara, Afrika, Asia Selatan dan Asia Tenggara diperingatkan untuk meningkatkan kewaspadaan akan terjadinya peningkatan aksi maritime domain terorisme. Menyusul terjadi serangkaian perompakan di Afrika dan Asia selatan (sekitar perairan Somalia) diikuti aksi teror di Mumbai, India bulan berikutnya. Benang merah dalam MDA meeting ke 5 itu adalah maritime terrorism seperti di kawasan perairan Somalia itu bisa muncul dimanapun dan kapanpun apabila tidak dideteksi sedini mungkin.Gentingnya isu maritime terrorism dan pengaruhnnya dalam dunia bisnis dan keamanan laut internasional mendorong dikeluarkannya sejumlah rekomendasi dari MDA 5 diantaranya:
pertama, peningkatan kerjasama regional dan internasional dalam bidang keamanan maritim
kedua, penguatan armada keamanan dan keselamatan laut nasional serta
ketiga, menutup semua akses maritime domain terrorism dengan melengkapi wilayah rawan, perbatasan dan pulau-pulau terluar/terpencil dengan berbagai sensor keamanan laut.

Substansi MDA sebenarnya bukan tertumpu pada peralatan maritime security dan surveillance saja namun yang lebih penting adalah terbangunnya pertukaran informasi, jaringan dan kegiatan antara para pelaku dunia maritim tentang situasi dan kondisi keamanan dan keselamantan di laut dan pantai. Setiap peristiwa yang mengancam keamanan maritim dapat segera direspon dengan cepat oleh setiap pelaku kemaritiman, antara lain pemerintah, perusahaan pelayaran, perusahaan ekspedisi, aparat keamanan serta pengelola pelabuhan. Secara konsep MDA pertama kali digagas oleh US Navy. Namun bukan berarti MDA tidak dapat diaplikasikan di negara lain, termasuk di Indonesia. Melalui sederet penyesuaian tentunya MDA ini akan dapat diadopsi mengingat kondisi awal setiap negara berbeda-beda. Dalam konteks Indonesia untuk menerapkan MDA, dibutuhkan banyak pembenahan pada stakeholder kemaritiman. Kepedulian (awareness) adalah kunci utama terhadap domain maritim.


Sayangnya, beberapa stakeholder terkait marine safety dan security justru kurang senang dengan kehadiran Coast Guard di Indonesia, pokok masalnya tak lepas perebutan kewenangan di laut. Kewenangan di Indonesia berarti sumber pendapatan (baik resmi maupun tidak resmi). Ketika terjadi “persaingan” antar-instansi keamanan dan keselamatan maritim, di Indonesia bagaimana mungkin kepedulian terhadap domain maritime akan tercipta? Tantangan lain dalam implementasi MDA budaya birokrasi di negara kita yang masih jauh dari prinsip efektivitas dan efisien. Sebagai contoh adalah penerapan International Ship and Port Security Code (ISPS Code). Menurut US Coast Guard hanya 16 pelabuhan di Indonesia yang memenuhi standar ISPS Code. Pihak-pihak terkait dengan penerapan ISPS Code di pelabuhan-pelabuhan Indonesia masih terkesan masa bodoh dengan kondisi itu. Sampai sekarangpun tidak ada satu pihakpun yang berani mendeklarasikan diri sebagai pihak bertanggung jawab terhadap penerapan ketentuan internasional itu.IMSS Rekomendasi ketiga MDA meeting ke 5 adalah, menutup semua akses maritime domain terrorism dengan melengkapi wilayah rawan, perbatasan dan pulau-pulau terluar/terpencil dengan berbagai sensor keamanan laut.


Dengan kondisi itu maka Indonesia memerlukan dukungan sistem keamanan dan keselamatan maritim terintegrasi.Beberapa tahun terakhir pemerintah tengah getol berupaya mewujudkan Integrated Maritime Surveillance System (IMSS). Cikal bakal, IMSS di Indonesia baru mencakup Selat Malaka dan Selat Makassar itupun melibatkan beberapa negara asing terkait program bantuan dan loan. Sementara itu, perairan lain juga membutuhkan kehadiran IMSS itu namun belum banyak tersentuh karena berbagai kendala. Dengan disetujuinya eksistensi Bakorkamla sebagai Sea and Coast Guard dalam UU Pelayaran yang baru, maka instansi itu nantinya bisa menjadi leading sektor pengoperasian jaringan radar maritim di seluruh Indonesia. Menghadapi besar dan kompleknya system IMSS yang akan dibangun, maka Indonesia melalui Bakorkamla perlu mengoptimalkan sumberdaya di berbagai stakeholder atau tersebar di berbagai terkait domain kemaritiman lainnya. Demikian pula sebaiknya beberapa lembaga yang memiliki interest dan kapabilitas dibidang kemaritiman harus ikut dilibatkan, seperti Kementerian Lingkungan Hidup, LAPAN, BMKG, Bakosurtanal, Universitas, lembaga riset, Pemda, LSM dan masyarakat. Dukungan utama dalam IMSS adalah penguatan kemampuan maritime surveillance dengan memanfaatkan teknologi informasi dengan membangun kemampuan baru dibidang surveillance serta mengintegrasikan sensor-sensor keamanan dan keselamatan laut (berupa Radar pantai, radar udara, VTMS, AIS, GMDSS dan SAR-SAT) yang tersebar pada instansi-instansi lain seperti Departemen Perhubungan, TNI AL, TNI AU, DKP, Bakorkamla, BMKG, LAPAN, Dept. Kehutanan dll.


Satelit Maritime


IMSS berbasis radar dan airborne (patroli udara) memiliki keterbatasan daya jangkau yang bisa diatasi dengan memanfaatkan teknologi EOS-earth observation satellite atau maritime surveillance. Beberapa satelit untuk tujuan penelitian dan komersiil sudah semakin spesifik dengan banyak pemakaian beberapa panjang gelombang untuk mengatasi berbagai hambatan pengambilan data misalnya infra merah (IR) dan X band. Metode satellite surveillance ini dapat menampilkan data secara tepat, akurat dan terkini. Teknologi satelit penginderaan jauh menghasilkan data citra digital yang dapat memberikan informasi tentang kondisi riil di permukaan bumi. Informasi yang diperoleh tergantung dari jenis gelombang dan resolusi citra satelit. Penggunaan Sensor Aktif atau SAR-synthetic aperture radar, baik dengan wahana satelit (spaceborne) sangat pesat dan dapat dilakukan hampir setiap saat, baik siang maupun malam dan tidak terkendala oleh awan atau cuaca buruk.Kendala utama maritime surveilance melalui satelit adalah belum adanya satelit milik sendiri dan dikendalikan sendiri oleh bangsa Indonesia. Menurut Triharjanto dkk (2008) sebuah satelit remote sensing sekelas THEOS, Thai Earth Observation Satellite milik Thailand dengan resolusi panchromatic 1 m dan 4 band multispektral resolusi 5-7 m, berikut peluncuran, pembangunan dan operasi ground station selama 5 tahun, bernilai sekitar 115-125 juta USD atau sekitar Rp. 1,5 trilyun. Apabila kita hanya membeli citra satelit komersial dengan resolusi 1 m panchromatic adalah sekitar 65 USD per km persegi. Bila diasumsikan luas wilayah kita 5 juta km persegi diperlukan biaya 365 juta USD atau sekitar Rp 4 trilyun pertahun atau sebesar Rp 20 trilyun selama 5 tahun belum termasuk biaya analisisnya, sungguh biaya yang cukup besar.


Namun angka itu masih jauh lebih kecil dibanding dengan nilai ikan (atau sumber daya laut lain) yang tercuri dari perairan kita yang mencapai Rp. 30 trilyun pertahun. Angka kerugian itu akan jauh lebih besar bila dihitung dari kerugian akibat penyelundupan, perompakan,pencemaran dll. Dalam diskusi: Optimalisasi pemanfaatan satelit observasi bumi untuk peningkatan kesejahteraan bangsa’ yang diselenggarakan oleh SeaCorm dan Kongsberg 7 Januari 2009 lalu, disimpulkan bahwa untuk mengatasi mahalnya biaya satellite marine / earth surveillance, Indonesia seharusnya berfokus pada 2 hal pokok yaitu ground segment dan user segment. Artinya dengan segala keterbatasan finansial dan sumber daya manusia sebaiknya Indonesia berfokus pada optimalisasi stasiun bumi dan pengembangan SDM untuk mengoperasikannya.


Kita tak perlu merasa rendah diri karena hal seperti itu juga banyak dilakukan oleh beberapa negara seperti Norwegia, Jerman, Jepang dan Taiwan. Sementara untuk kebutuhan satellite cukup berlangganan dengan provider satellite komersial yang tersedia seperti Radarsat-1 & 2 (MDA), QuickBird / Orb-View (Digital globe), Ikonos, SPOT, EurImage dll. Melalui suatu koordinasi dan scheduling area yang akan dipantau disesuaikan dengan satellite pass/track metode ini terbukti cukup efisien dan efektif.Dalam diskusi tsb juga dikemukakan bahwa MEOS-Multimission Earth Observation System adalah system pemantaun yang cocok untuk kondisi Indonesia saat ini. Sistem MEOS ini tidak didukung oleh wahana space segment atau satellite sebagai komponen pendukung utama, tapi lebih fokus pada jaringan ground station.


Pendukung utama system MEOS adalah ground segment serta user segment (user atau human resources) yang mengoperasikan sebuah stasiun bumi tersebut. Jadi MEOS ini didukung oleh satelit-satelit komersial dan riset yang telah tersedia. Dengan optimalisasi sistem recieving dan processing data oleh ground station (dengan dukungan ground station network) untuk memaksimalkan penerimaan data satelit karena wilayah Indonesia yang sangat luas. Bila dioptimalkan sebuah ground station mampu mengakses sekitar 10 satelit yang lewat dalam jangkuannya.


Sayangnya selama ini gound station kita hanya di pakai untuk satu satelit. Padahal dalam kurun waktu 24 jam, banyak sekali satelit lalu lalang dilangit Indonesia yang bisa diakses dan dimanfaatkan datanya. Beberapa departemen dan lembaga pemerintah yang memiliki stasiun bumi seperti LAPAN-Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, Departemen Kehutanan, Departemen Kelautan dan Perikanan serta lembaga baru seperti Bakorkamla memiliki graound station untuk tupoksi-tugas pokok dan fungsi mereka masing masing. Misal, Departemen Kehutanan memiliki ground station untuk satelit NOAA untuk memantau hot spot atau kebakaran hutan, sementara Lapan memiliki ground station dengan kemampuan serupa. Departemen Kelautan dan Perikanan memiliki ground station untuk satelit Seawifs, satelit JASON, Envisat MERIS dan Themis untuk monitoring parameter lingkungan kelautan seperti suhu permukaan laut, arus laut dan pergerakan plankton (klorofil-a) di lautan.Fitur-fitur diatas sebenarnya di tangani oleh sebuah ground station multifungsi yang bisa merangkum semua misi menjadi satu.


Ditambah kemampuannya untuk mengakses data satelit Radar seperti Envisat ASAR maka ground station tsb bisa melayani berbagai kepentingan seperti pemetaan banjir dan badai, pemetaan gempa, memantau pencemaran laut, deteksi kapal, memantau berapa luasan hutan atau luasan sawah produktif dll. Dalam kondisi siaga krisis ground station tsb mampu digunakan untuk kepentingan hankam dengan memanfaatkan data-data satelit untuk kepentingan taktis dan strategis. Beberapa lembaga antariksa raksasa dunia seperti NASA EDOS-Earth Observation Sattellite Data Operating System , ESA ERS (EnviSat), Eumetsat EPS. European Meteorology Polar Satellite, KSAT-Kongsberg Satellite Service telah melengkapi sytem ground station mereka dengan fitur-fitur MEOS Capture HRD FEP -High Rate Demodulator and Front End Processor- yang mampu mengolah data baik satelit optis, satelit radar maupun satelit cuaca. Pemanfaatan Maritime domain Jaringan stasiun-stasiun bumi MEOS yang tersebar di seluruh dunia mulai dari stasiun bumi SVALSAT (di Svalbard-Kutub utara), Tromso, sampai stasiun bumi di kutub selatan (TrollSat, O'Higgins dan Mc Murdo) memperoleh gambar-gambar satelit yang berasal dari satelit radar dan optis dan satelit cuaca untuk dipergunakan untuk beragam kepentingan diantaranya untuk monitoring mencairnya es kutub akibat global warming. Juga untuk pemanfaatan kelautan local yang penting lain, diantaranya:

Pengawasan tumpahan minyak
Sampai saat inipun kita belum mampu mengatasi masalah tumpahan minyak di laut yang disebabkan oleh berbagai sumber seperti kapal tanker, fasilitas explorasi di laut atau sebab lain seperti yang terjadi di pantai Majene dan selat Bali baru-baru ini. Dengan penggunaan satelit-satelit lintas kutub (Polar Orbit) yang dilengkapi teknologi SAR-sytnthetic aperture radar, maka kita dapat mendeteksi tumpahan minyak di permukaan laut dan melacak siapa dan kemana sumbernya bersembunyi. Tatkala minyak membentuk sebuah lapisan tipis di permukaan laut, maka minyak akan menghilangkan gelombang-gelombang kapileri. Disebabkan perbedaan dalam sebaran yang berasal dari areal yang ada riak gelombang dan areal yang tidak ada atau kurang adanya gelombang, satelit radar dapat mendeteksi lapisan tumpahan minyak yang berada di permukaan laut. Informasi tentang lapisan minyak, posisi, ukuran, dan sebagainya, dapat diteruskan kepada pihak yang berwenang. Rembesan Hidrokarbon di lautBerdasarkan teknik-teknik yang sama, seperti pemantauan tumpahan minyak, pendeteksian rembesan minyak mentah (hydrocarbon) dari dasar laut mungkin saja terjadi. Hidrokarbon yang berada di bawah permukaan laut mungkin saja mengalami kebocoran pipa atau kapal dari dasar laut, dan keluar membentuk lapisan minyak di permukaan laut. Gelombang-gelombang gas yang dikelilingi oleh minyak dapat muncul ke permukaan melalui ledakan-ledakan dalam air. Lalu akan tercipta lapisan minyak yang kecil dan tipis (film). Areal wilayah alami tersebut diketahui terjadi dari waktu ke waktu dalam cadangan-cadangan minyak yang potensial, namun frekuensi dan jumlah rembesannya dapat berbeda-beda. Hal ini umumnya tampak menarik bagi perusahaan perusahaan minyak, yakni melakukan pencarian minyak di ladang-ladang samudera yang baru atau sebagai pendukung terhadap kegiatan eksplorasi lainnya yang ada di wilayah tersebut. Teknik ini pula yang telah dipakai oleh Stat-Oil Norwegia untuk menemukan cadangan minyak di selat Makassar Indonesia. Produk-produk nilai tambah MEOS bervariasi dari satu satelit ke satelit yang lain. Pantauan MEOS dipergunakan untuk menampilkan citra, modifikasi output dan menggabungkan (overlay) citra satelit tersebut dengan citra AIS/VTS dan meteorologi. Melalui kombinasi data dari kapal patroli laut dan pesawat udara maka pihak otoritas hankam bisa mempergunakan citra SAR untuk mendeteksi lalu-lintas sipil dan militer di wilayah perairan luas dengan biaya cukup murah dan efektif. Informasi yang diperoleh dari citra SAR dapat dipergunakan untuk mengarahkan pesawat udara dan kapal laut untuk melakukan inspeksi lebih jauh terhadap sasaran. Informasi ini sangat membantu tatkala menjalankan operasi penangkapan illegal fishing atau adanya lalu-lintas yang mencurigakan di dalam wilayah laut nasional.Informasi MeteorologisRangkaian MEOS meliputi nowcasting, seperti tipe/jenis awan, temperatur puncak awan, dan produk-produk klimatologi seperti temperatur permukaan laut dan Indeks Vegetasi Normal (Normalized Vegetation Index). Dengan fitur ini peramalan cuaca akan lebih akurat. Juga bisa dimanfaatkan untuk mengoptimalkan dukungan pada sektor pertanian menyangkut luas lahan serta timing yang tepat untuk masa tanam dan panen. Sementara untuk sektor kehutanan untuk mendeteksi hot-spot dan mendukung pengelolaan hutan secara lestari.PenutupPada akhirnya kita hanya bisa berharap agar momentum perhelatan akbar sekelas World Ocean Conference ini mampu membangkitkan keagairahan kita untuk membenahi semua hambatan dan tantangan dalam mewujudkan keselamatan dan keamanan di laut kita melalui skema baik MDA, penerapan IMSS dan MEOS untuk mewujudkan kesejahteraan bangsa Indonesia.


Karena tujuan utama MDA dan pembangunan IMSS dan MEOS adalah memberikan peringatan-peringatan dini (early warning) akan kemungkinan terjadinya kecelakaan, termasuk memberikan dukungan pertolongan (Search and Rescue-SAR), untuk menangani pencemaran minyak, dan menangani logistik lapangan baik untuk lalu lintas kapal laut maupun pesawat udara. Karena tujuan tertinggi berbagai peralatan tsb adalah mendukung SOLAS-Safety Of Life At Sea untuk berdampingan secara harmonis dengan lingkungannya. Pada akhirnya kondisi terumbu karang atau sumber daya perikanan yang lestari tak akan tercapai tanpa didahului dengan kesejahteraan, keselamatan dan keamanan manusia penghuninya. Dan semua itu tak mungkin kita capai tanpa bekerja-sama dan saling mendukung diantara semua stakeholder terkait dengan domain maritim termasuk adanya dukungan partisipasi masyarakat.


Ditampilkan padaMajalah Gatra, 6 April 2009

Menguji Komitmen Indonesia sebagai Penggagas WOC


Sebentar lagi tahun 2009 akan kita tutup. Salah satu kegiatan akbar pada ‘Marine Tourism Year’ ini adalah World Ocean Conference di Manado, Sulawesi pertengahan Mei lalu. Dalam forum itu, Indonesia didukung oleh UNEP (United Nations Environment Program) beserta negara-negara kawasan Indo-Pacific Segitiga Terumbu Karang menggagas Coralreef Triangle Initiatives (CTI) yang akan dituangkan dalam ‘Manado Ocean Declaration’. Negara kawasan segitiga terumbu karang ini meliputi Indonesia, Malaysia (Sabah), Filipina, Timor Leste, Papua Nugini, dan Kepulauan Solomon, dihuni sekitar 120 juta penduduk yang hidupnya secara langsung atau tidak ditopang oleh kelestarian terumbu karang di wilayah tersebut. Manado Declaration berisi seruan pada dunia mengenai upaya mitigasi global warming melalui pengelolaan dan konservasi sumberdaya kelautan (terumbu karang) dan sumberdaya perikanan secara lestari sekaligus untuk menarik kunjungan wisata bahari.


Namun apa yang terjadi? Belum genap 6 bulan komitmen WOC tersebut, sudah ada ujian maha dahsyat yang apabila kita tidak hati-hati dan cermat, potensi kemaritiman di atas bisa berubah manjadi ‘maritime eco-tragedy’ -mengubah ‘wisata bahari’ menjadi ‘wisata bencana’ akibat kehancuran aset pembangunan itu.Bencana ekologis itu dimulai di jurisdiksi negara tetangga, Australia. Pada 21 Agustus 2009, sebuah ‘kecelakaan’ terjadi di rig minyak -mobile platform- bernama The West Atlas. Rig minyak ini dikontrak oleh PTTEP Australasia (sebuah perusahaan multinasional milik mantan PM Thailand Thaksin Sinawatra), berada 690 kilometer dari Kota Darwin, Australia. Blok Montara, sebuah proyek eksplorasi minyak lepas pantai yang disebut sebagai terbesar kedua di Australia ini, gagal melakukan pengeboran. Akibatnya adalah minyak dari dasar laut sedalam kurang lebih 2,6 kilometer itu menyembur keluar dan mengotori Laut Timor. Diprediksi sejak 21 Agustus 2009 lebih dari 2.000 barrel minyak perhari telah meluber keluar air laut dan menggenangi kawasan seluas 6.000 kilometer persegi. Kemudian pada 29 September 2009 tumpahan itu mulai memasuki wilayah Indonesia dengan posisi sekitar 50 mil dari batas wilayah perairan laut antara Indonesia-Australia dan terus bergerak mengikuti arus laut. Badan perlindungan lingkungan Australia dan AMSA (Australian Marine Safety Agency) menyatakan bahwa tumpahan minyak yang sangat beracun itu akan menimbulkan dampak yang sangat luas di sekitar Laut Timor dan perairan NTT di Indonesia. Citra SatelitBencana polusi minyak di kawasan Timor Gap itu juga dimanfaatkan oleh berbagai provider satelit sebagai ajang adu keakuratan dan kecepatan dalam mencitrakan pencemaran di laut lepas tersebut.


Beberapa satelit radar dan satelit sensor optical multi-spectral belomba mencitrakan pencemaran tumpahan minyak yang tergolong maha dahsyat itu. Lokasi lapangan minyak Montara yang sangat jauh memerlukan wahana khusus untuk memantaunya; kondisi itu diperankan dengan baik oleh beberapa satelit observasi bumi seperti satelit radar COSMO-SkyMed (Italia), TerraSAR-X (Jerman) dan ENVISAT (European Space Agency). Wahana radar via satelit ini telah membuktikan kemampuannya dalam mendeteksi tumpahan minyak di permukaan laut tanpa takut terhalang oleh kehadiran awan. Sekaligus memberikan laporan karakteristik temporal dan spasial termasuk prediksi pola pergerakannya. Pada saat langit cerah, citra tumpahan minyak juga telah berhasil diabadikan oleh satelit resolusi sedang dan rendah MODIS Terra dan Aqua milik AS.


Sayangnya, sampai saat ini Indonesia belum mampu mengatasi masalah tumpahan minyak di laut, baik yang disebabkan oleh kapal tanker, fasilitas eksplorasi di laut ataupun sebab lain. Pemakaian satelit-satelit lintas kutub (Polar Orbit) dengan teknologi ASAR (Advance sytnthetic aperture radar), sebenarnya dapat mendeteksi tumpahan minyak di permukaan laut dan melacak siapa dan di mana sumbernya bersembunyi. Pelanggaran Hukum Tumpahan minyak di kawasan “Coral Triangle” itu mengundang protes dari banyak pihak, baik dari Australia maupun Indonesia, terutama dari aktivis NGO. Sejauh ini pemerintah RI melalui Kementerian Lingkungan Hidup sudah menyurati Australia perihal bencana tersebut. Protes juga datang dari kalangan nelayan Indonesia yang menggantungkan hidup dari keberadaan ikan di wilayah Laut Timor. Bila tumpahan minyak terus masuk ke wilayah Indonesia, dikhawatirkan ia akan masuk ke kawasan perlindungan laut terbesar di Indonesia, yaitu Laut Sawu. Tumpahnya minyak Blok Montara merupakan pelanggaran aturan internasional tentang lingkungan hidup di wilayah laut. Pasal 208 UNCLOS mengatur mengenai polusi akibat pengeboran minyak di lepas pantai di dasar laut pada jurisdiksi suatu Negara. Pasal 208 menyatakan bahwa negara pantai wajib membuat aturan dan hukum yang mencegah, mengurangi dan mengontrol polusi dari aktivitas di bawah laut. Aktivitas pengeboran minyak lepas pantai dimasukkan dalam kriteria aktivitas di dasar laut. UNCLOS juga mengatur mengenai polusi yang diakibatkan aktivitas di dasar laut yang berada di luar jurisdiksi suatu Negara. Dalam hal terjadi kerusakan lingkungan, maka seperti juga di negara lain, pemerintah Australia diharuskan memberikan peringatan, denda, penundaan proyek dan bahkan pembatalan proyek. Sebagai negara yang terkena dampak pencemaran lintas batas itu Indonesia berhak menuntut Australia untuk bertanggung jawab atas terjadinya kebocoran minyak tersebut.

Menjejak Potensi Minyak Dengan Satelit


Perkembangan teknologi satelit memungkinkan banyak hal yang dulunya mustahil menjadi mungkin. Termasuk mencari potensi sumber minyak di laut dalam. BEBERAPA tahun terakhir ini pemerintah getol memasyarakatkan apa yang disebut dengan Integrated Maritime Surveillance System (IMSS) yaitu suatu sistem satelit pemantau kawasan maritim terintegrasi. Bila IMSS ini terwujud, maka berbagai institusi bisa memanfaatkan teknologi ini untuk berbagai kepentingan. Untuk uji coba, teknologi IMSS ini kemudian diterapkan di selat Malaka dan Selat Makassar. ”Dari segi kepentingan nasional, IMSS ini besar sekali peranannya bagi negara kita yang merupakan negara kepulauan. Jaringan radar maritim yang terintegrasi akan membuat tugas perencanaan dan upaya kita mengatasi berbagai masalah di bidang kemaritiman menjadi lebih mudah,” ujar M Rudi Wahyono, peneliti Indonesian Maritime Domain Awareness (IMDA) kepada saya di Jakarta, baru-baru ini. Mengapa demikian ? ”IMSS itu berbasis radar dan airborne (patroli udara).

Bila kemudian dipadukan dengan teknologi EOS atau earth observation satellite atau maritime surveillance maka hasilnya bisa optimal,” ujar Rudi yang juga menjabat Direktur Kajian Energi,Kelautan dan Lingkungan CIDES ini. Menurut Rudi, IMSS adalah sebuah sistem yang besar, kompleks dan rumit. Karena itulah, menurut dia, Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) sebagai pemegang otoritas di bidang keamanan perairan negara perlu mengoptimalkan sumberdaya yang tersebar di berbagai stakeholder kemaritiman lainnya. Ada banyak lembaga di Indonesia yang memiliki kepentingan dan kapabilitas dibidang kemaritiman seperti Kementerian Lingkungan Hidup, LAPAN, BMKG, Bakosurtanal, lembaga riset, Pemda dan LSM. Dukungan utama untuk IMSS adalah penguatan kemampuan maritime surveillance dengan memanfaatkan teknologi informasi yang dipadukan dengan teknologi satelit. Integrasi berbagai bidang surveillance dan sensor-sensor keamanan laut (berupa Radar pantai, radar udara, VTMS, AIS, GMDSS dan SAR-SAT) yang tersebar di berbagai instansi seperti Departemen Perhubungan, TNI AL, TNI AU, DKP, Bakorkamla, BMKG, LAPAN dan Departemen Kehutanan amatlah diperlukan. Rudi mengatakan bahwa Forum World Oceanic Conference (WOC) yang digelar di Manado, Sulawesi Utara tak lama lagi bisa dijadikan momentum yang pas untuk membenahi sederet keruwetan pengelolaan kemaritiman di negeri ini dengan IMSS. Saat ini, Indonesia menghadapi begitu banyaknya musibah (kapal tenggelam, tabrakan, kebakaran), pencemaran laut (tumpahan minyak, limbah/tailing dan sampah), illegal fishing (pencurian ikan), penyelundupan (kayu, komoditi dagang dan narkoba) hingga perompakan dan perdagangan anak-anak. Semuanya berkaitan dengan kegagalan pengawasan jalur laut kita yang memang luar biasa luasnya itu. Dengan menggunakan metode satellite surveillance maka kita dapat segera menampilkan data secara tepat, akurat dan terkini.

Teknologi satelit penginderaan jarak jauh menghasilkan data citra digital yang dapat memberikan informasi tentang kondisi riil di permukaan bumi. Informasi yang diperoleh tergantung dari jenis gelombang dan resolusi citra satelit. Apalagi teknologi infra merah saat ini memungkinkan penggunaan sensor aktif atau SAR-synthetic aperture radar, dengan wahana satelit (spaceborne) sehingga surveillance dapat dilakukan hampir setiap saat. Baik saat siang maupun malam dan tidak lagi perlu takut terkendala oleh awan atau cuaca buruk sebagaimana di masa lalu. Menurut Rudi, dengan penggunaan satelit-satelit lintas kutub (Polar Orbit) yang dilengkapi teknologi SAR-sytnthetic aperture radar, maka kita dapat dengan cepat mendeteksi tumpahan minyak di permukaan laut. Kemudian melacak siapa dan kemana sumbernya bersembunyi. Tatkala minyak membentuk sebuah lapisan tipis di permukaan laut, maka minyak akan menghilangkan gelombang-gelombang kapileri yang biasanya mengganggu citra satelit. Disebabkan perbedaan dalam sebaran yang berasal dari areal yang ada riak gelombang dan areal yang tidak ada atau kurang adanya gelombang, maka satelit radar dapat mendeteksi lapisan tumpahan minyak yang berada di permukaan laut. Informasi tentang lapisan minyak, posisi, ukuran, dan sebagainya, dapat diteruskan kepada pihak yang berwenang. ”Dengan begitu pencemaran laut yang lebih luas bisa ditanggulangi,” kata Rudi.

Berdasarkan teknik-teknik yang sama – sebagaimana pemantauan tumpahan minyak - pendeteksian rembesan minyak mentah (hydrocarbon) dari dasar laut mungkin saja terjadi. Hidrokarbon yang berada di bawah permukaan laut mungkin saja mengalami rembesan dan keluar membentuk lapisan minyak di permukaan laut. Gelombang-gelombang gas yang dikelilingi oleh minyak dapat muncul ke permukaan melalui ledakan-ledakan dalam air. Lalu akan tercipta lapisan minyak yang kecil dan tipis (film). Areal wilayah alami tersebut diketahui terjadi dari waktu ke waktu dalam cadangan-cadangan minyak yang potensial, namun frekuensi dan jumlah rembesannya dapat berbeda-beda. Model seperti ini jelas menarik bagi perusahaan-perusahaan minyak, yakni melakukan pencarian minyak di ladang-ladang samudera yang baru atau sebagai pendukung terhadap kegiatan eksplorasi lainnya yang ada di wilayah tersebut. Teknik ini pula yang telah dipakai oleh Stat-Oil Norwegia untuk menemukan cadangan minyak di selat Makassar Indonesia, baru-baru ini. Kemampuan mendeteksi sumber daya laut dalam, khususnya minyak mentah itu tentu saja menarik. Apalagi ada pula nilai tambah dari citra satelit yang ada. Variasinya berbeda-beda antara satelit yang satu ke yang lain. Pantauan satelit dipergunakan untuk menampilkan citra, modifikasi output dan menggabungkan (overlay) citra satelit tersebut dengan citra AIS/VTS dan meteorologi. Melalui kombinasi data dari kapal patroli laut dan pesawat udara maka pihak otoritas hankam bisa pula mempergunakan citra SAR untuk mendeteksi lalu-lintas sipil dan militer di wilayah perairan luas dengan biaya cukup murah dan efektif. Informasi yang diperoleh dari citra SAR dapat dipergunakan untuk mengarahkan pesawat udara dan kapal laut untuk melakukan inspeksi lebih jauh terhadap sasaran. Informasi ini tentu saja sangat membantu tatkala menjalankan operasi penangkapan illegal fishing atau adanya lalu-lintas yang mencurigakan di dalam wilayah laut nasional. Kegunaan lainnya meliputi ”nowcasting”, seperti menganalisa tipe/jenis awan, temperatur puncak awan, dan produk-produk klimatologi lainnya yang bermanfaat bagi aktivitas penerbangan dan pelayaran nasional. Citra satelit juga bisa menentukan dengan rinci temperatur permukaan laut dan indeks vegetasi normal (Normalized Vegetation Index).

Dengan fitur ini peramalan cuaca akan lebih akurat. Juga bisa dimanfaatkan untuk mengoptimalkan dukungan pada sektor pertanian menyangkut luas lahan serta timing yang tepat untuk masa tanam dan panen. Sementara untuk sektor kehutanan untuk mendeteksi hot-spot dan mendukung pengelolaan hutan secara lestari. Apa yang menjadi kendala penerapan teknologi citra satelit ini ? ”Kendala utamanya adalah kita belum punya satelit sendiri, atau setidaknya satelit yang dikendalikan sendiri oleh bangsa Indonesia,” kata Rudi. Situasi ini cukup memprihatinkan karena Indonesia dikenal sebagai negara pemilik satelit pertama di kawasan Asia. Namun kini dalam soal satelit kemaritiman, kita telah dikalahkan sesama negara ASEAN yaitu Thailand. Dari data yang ada, satu satelit remote sensing sekelas THEOS, Thai Earth Observation Satellite milik Thailand dengan resolusi panchromatic 1 m dan 4 band multispektral resolusi 5-7 m, berikut peluncuran, pembangunan dan operasi ground station selama lima tahun, bernilai sekitar US$115-125 juta atau sekitar Rp 1,5 triliun. Apabila kita hanya membeli citra satelit komersial dengan resolusi 1 m panchromatic adalah sekitar US$65 per km persegi. Bila diasumsikan luas wilayah kita 5 juta km persegi maka diperlukan biaya tidak kurang dari US$365 juta atau sekitar Rp 4 trilyun pertahun. Bila operasional selama lima tahun saja dibutuhkan total biaya tak kurang dari Rp20 trilyun. ”Ini jumlah biaya yang cukup besar untuk negeri kita,” ujar Rudi.

Namun angka itu masih jauh lebih kecil dibanding dengan kerugian dari nilai ikan (atau sumber daya laut lain) yang dicuri dari perairan kita akibat lemahnya surveillance negara yang mencapai angka Rp 30 triliun pertahunnya. Angka kerugian itu jauh lebih besar bila dihitung dari kerugian akibat penyelundupan, perompakan dan pencemaran. Rudi mengusulkan jalan keluar untuk mengatasi kendala mahalnya biaya satellite marine/earth surveillance tersebut. Menurut dia, Indonesia seharusnya berfokus pada dua hal pokok saja terlebih dahulu yaitu ground segment dan user segment. Artinya dengan segala keterbatasan finansial dan sumber daya manusia sebaiknya Indonesia berfokus pada optimalisasi stasiun bumi dan pengembangan SDM untuk mengoperasikannya.