Sabtu, 02 Maret 2013

WOC-Momentum Pembenahan Maritim Indonesia

Tahun 2009 lalu dicanangkan oleh pemeritah kita sebagai ‘Marine Tourism Year’ melalui even akbarnya World Ocean Conference di Manado Sulawesi pada pertengahan Mei. Dalam forum akbar itu Indonesia didukung oleh UNEP-United Nations Environment Program beserta negara-negara kawasan Indo-Pacific Segitiga Terumbu Karang meliputi Indonesia, Malaysia (Sabah), Philipina, Timor Leste, Papua New Guinea & Kep.Solomon menawarkan ide Coralreef Triangle Initiatives (CTI) yang akan dituangkan dalam ‘Manado Ocean Declaration’. Kawasan segitiga termbu karang tsb dihuni sekitar 120 juta penduduk yang hidupnya secara langsung atau tidak ditopang oleh kelestarian terumbu karang diwilayah itu. CTI berisi seruan pada dunia upaya mitigasi global warming melalui pengelolaan dan konservasi sumberdaya kelautan berupa terumbu karang dan sumber daya perikanan secara lestari. Melalui WOC ini pula Indonesia berupaya untuk menarik kunjungan wisata bahari melalui pelestarian maskot WOC yakni Latemeria manadoensis -ikan naga purba-, terumbu karang dan sumberdaya hayatilaut lai dmi ketahanan pangan dimasa mendatang.

Forum WOC sebenarnya juga merupakan momentum yang pas untuk membenahi sederet keruwetan pengelolaan kemaritiman di negeri ini. Tak bisa dipungkiri bahwa sektor kemaritiman dalam negeri masih menyisakan banyak masalah rumit dan kompleks.
Mulai dari banyaknya musibah (kapal tenggelam, tabrakan, kebakaran), pencemaran laut (tumpahan minyak, limbah/tailing dan sampah), illegal fishing, penyelundupan (kayu, komoditi dagang dan narkoba), perompakan sampai child worker abuse dan PHK.
Yang lebih mengerikan adalah dari sisi geografis teritorial Indonesia terhampar pada ’ring of disaster’, berupa pertemuan dua lempeng benua serta sabuk gunung api yang potensial menjadi sumber bencana gempa (tektonik, vulkanik) dan tsunami. Pendek kata, apabila kita tidak hati-hati dan cermat dalam mengelola dan mempersiapkan pembenahan dunia maritime tsb maka semua potensi kemaritiman diatas bisa berubah dari ‘maritime eco-tourism’ manjadi ‘maritime eco-tragedy’. Mengubah ‘wisata bahari’ menjadi ‘wisata bencana’ akibat kehancuran asset pembangunan karena mis-management atau bencana alam seperti sering terjadi di tanah air kita akhir-akhir ini.

Berbagai tantangan dan peluang itu seharusnya membuat kita “kembali kelaut’ -berfokus pada ‘ocean development policy- karena ‘land base development policy’ terbukti belum mampu membawa kesejahteraan bangsa kita sampai saat ini.

Maritime Awareness

Akhir 2008 lalu di Singapura perwakilan coas guard dunia mengadakan MDA-Maritime Domain Awareness Meeting ke 5. Dalam meeting MDA itu para peserta coast guard dari negara-negara di Uni Eropa, Amerika Utara, Afrika, Asia Selatan dan Asia Tenggara diperingatkan untuk meningkatkan kewaspadaan akan terjadinya peningkatan aksi maritime domain terorisme. Menyusul terjadi serangkaian perompakan di Afrika dan Asia selatan (sekitar perairan Somalia) diikuti aksi teror di Mumbai, India bulan berikutnya. Benang merah dalam MDA meeting ke 5 itu adalah maritime terrorism seperti di kawasan perairan Somalia itu bisa muncul dimanapun dan kapanpun apabila tidak dideteksi sedini mungkin.

Gentingnya isu maritime terrorism dan pengaruhnnya dalam dunia bisnis dan keamanan laut internasional mendorong dikeluarkannya sejumlah rekomendasi dari MDA 5 diantaranya :
pertama, peningkatan kerjasama regional dan internasional dalam bidang keamanan maritim
kedua, penguatan armada keamanan dan keselamatan laut nasional serta
ketiga, menutup semua akses maritime domain terrorism dengan melengkapi wilayah rawan, perbatasan dan pulau-pulau terluar/terpencil dengan berbagai sensor keamanan laut.

Substansi MDA sebenarnya bukan tertumpu pada peralatan maritime security dan surveillance saja namun yang lebih penting adalah terbangunnya pertukaran informasi, jaringan dan kegiatan antara para pelaku dunia maritim tentang situasi dan kondisi keamanan dan keselamantan di laut dan pantai. Setiap peristiwa yang mengancam keamanan maritim dapat segera direspon dengan cepat oleh setiap pelaku kemaritiman, antara lain pemerintah, perusahaan pelayaran, perusahaan ekspedisi, aparat keamanan serta pengelola pelabuhan. Secara konsep MDA pertama kali digagas oleh US Navy. Namun bukan berarti MDA tidak dapat diaplikasikan di negara lain, termasuk di Indonesia. Melalui sederet penyesuaian tentunya MDA ini akan dapat diadopsi mengingat kondisi awal setiap negara berbeda-beda.

Dalam konteks Indonesia untuk menerapkan MDA, dibutuhkan banyak pembenahan pada stakeholder kemaritiman. Kepedulian (awareness) adalah kunci utama terhadap domain maritim. Sayangnya, beberapa stakeholder terkait marine safety dan security justru kurang senang dengan kehadiran Coast Guard di Indonesia, pokok masalnya tak lepas perebutan kewenangan di laut. Kewenangan di Indonesia berarti sumber pendapatan (baik resmi maupun tidak resmi). Ketika terjadi “persaingan” antar-instansi keamanan dan keselamatan maritim, di Indonesia bagaimana mungkin kepedulian terhadap domain maritime akan tercipta ?

Tantangan lain dalam implementasi MDA budaya birokrasi di Negara kita yang masih jauh dari prinsip efektivitas dan efisien. Sebagai contoh adalah penerapan International Ship and Port Security Code (ISPS Code). Menurut US Coast Guard hanya 16 pelabuhan di Indonesia yang memenuhi standar ISPS Code. Pihak-pihak terkait dengan penerapan ISPS Code di pelabuhan-pelabuhan Indonesia masih terkesan masa bodoh denga kondisi itu. Sampai sekarangpun tidak ada satu pihakpun yang berani mendeklarasikan diri sebagai pihak bertanggung jawab terhadap penerapan ketentuan internasional itu.

IMSS

Rekomendasi ketiga MDA meeting ke 5 adalah, menutup semua akses maritime domain terrorism dengan melengkapi wilayah rawan, perbatasan dan pulau-pulau terluar/terpencil dengan berbagai sensor keamanan laut. Dengan kondisi itu maka Indonesia memerlukan dukungan sistem keamanan dan keselamatan maritim terintegrasi.

Beberapa tahun terakhir pemerintah tengah getol berupaya mewujudkan Integrated Maritime Surveillance System (IMSS). Cikal bakal, IMSS di Indonesia baru mencakup Selat Malaka dan Selat Makassar itupun melibatkan beberapa negara asing terkait program bantuan dan loan. Sementara itu, perairan lain juga membutuhkan kehadiran IMSS itu namun belum banyak tersentuh karena berbagai kendala. Dengan disetujuinya eksistensi Bakorkamla sebagai Sea and Coast Guard dalam UU Pelayaran yang baru, maka instansi itu nantinya bisa menjadi leading sektor pengoperasian jaringan radar maritim di seluruh Indonesia.

Menghadapi besar dan kompleknya system IMSS yang akan dibangun, maka Indonesia melalui Bakorkamla perlu mengoptimalkan sumberdaya di berbagai stakeholder atau tersebar di berbagai terkait domain kemaritiman lainnya. Demikian pula sebaiknya beberapa lembaga yang memiliki interest dan kapabilitas dibidang kemaritiman harus ikut dilibatkan, seperti Kementerian Lingkungan Hidup, LAPAN, BMKG, Bakosurtanal, Universitas, lembaga riset, Pemda, LSM dan masyarakat. Dukungan utama dalam IMSS adalah penguatan kemampuan maritime surveillance dengan memanfaatkan teknologi informasi dengan membangun kemampuan baru dibidang surveillance serta mengintegrasikan sensor-sensor keamanan dan keselamatan laut (berupa Radar pantai, radar udara, VTMS, AIS, GMDSS dan SAR-SAT) yang tersebar pada instansi-instansi lain seperti Departemen Perhubungan, TNI AL, TNI AU, DKP, Bakorkamla, BMKG, LAPAN, Dept. Kehutanan dll.

Satelit Maritime

IMSS berbasis radar dan airborne (patroli udara) memiliki keterbatasan daya jangkau yang bisa diatasi dengan memanfaatkan teknologi EOS-earth observation satellite atau maritime surveillance. Beberapa satelit untuk tujuan penelitian dan komersiil sudah semakin spesifik dengan banyak pemakaian beberapa panjang gelombang untuk mengatasi berbagai hambatan pengambilan data misalnya infra merah (IR) dan X band. Metode satellite surveillance ini dapat menampilkan data secara tepat, akurat dan terkini. Teknologi satelit penginderaan jauh menghasilkan data citra digital yang dapat memberikan informasi tentang kondisi riil di permukaan bumi. Informasi yang diperoleh tergantung dari jenis gelombang dan resolusi citra satelit. Penggunaan Sensor Aktif atau SAR-synthetic aperture radar, baik dengan wahana satelit (spaceborne) sangat pesat dan dapat dilakukan hampir setiap saat, baik siang maupun malam dan tidak terkendala oleh awan atau cuaca buruk.

Kendala utama maritime surveilance melalui satelit adalah belum adanya satelit milik sendiri dan dikendalikan sendiri oleh bangsa Indonesia. Menurut Triharjanto dkk (2008) sebuah satelit remote sensing sekelas THEOS, Thai Earth Observation Satellite milik Thailand dengan resolusi panchromatic 1 m dan 4 band multispektral resolusi 5-7 m, berikut peluncuran, pembangunan dan operasi ground station selama 5 tahun, bernilai sekitar 115-125 juta USD atau sekitar Rp. 1,5 trilyun. Apabila kita hanya membeli citra satelit komersial dengan resolusi 1 m panchromatic adalah sekitar 65 USD per km persegi. Bila diasumsikan luas wilayah kita 5 juta km persegi diperlukan biaya 365 juta USD atau sekitar Rp 4 trilyun pertahun atau sebesar Rp 20 trilyun selama 5 tahun belum termasuk biaya analisisnya, sungguh biaya yang cukup besar. Namun angka itu masih jauh lebih kecil dibanding dengan nilai ikan (atau sumber daya laut lain) yang tercuri dari perairan kita yang mencapai Rp. 30 trilyun pertahun. Angka kerugian itu akan jauh lebih besar bila dihitung dari kerugian akibat penyelundupan, perompakan,pencemaran dll.

Dalam diskusi : Optimalisasi pemanfaatan satelit observasi bumi untuk peningkatan kesejahteraan bangsa’ yang diselenggarakan oleh SeaCorm dan Kongsberg 7 Januari 2009 lalu, disimpulkan bahwa untuk mengatasi mahalnya biaya satellite marine / earth surveillance, Indonesia seharusnya berfokus pada 2 hal pokok yaitu ground segment dan user segment. Artinya dengan segala keterbatasan finansial dan sumber daya manusia sebaiknya Indonesia berfokus pada optimalisasi stasiun bumi dan pengembangan SDM untuk mengoperasikannya.

Kita tak perlu merasa rendah diri karena hal seperti itu juga banyak dilakukan oleh beberapa negara seperti Norwegia, Jerman, Jepang dan Taiwan. Sementara untuk kebutuhan satellite cukup berlangganan dengan provider satellite komersial yang tersedia seperti Radarsat-1 & 2 (MDA), QuickBird / Orb-View (Digital globe), Ikonos, SPOT, EurImage dll. Melalui suatu koordinasi dan scheduling area yang akan dipantau disesuaikan dengan satellite pass/track metode ini terbukti cukup efisien dan efektif.

Dalam diskusi tsb juga dikemukakan bahwa MEOS-Multimission Earth Observation System adalah system pemantaun yang cocok untuk kondisi Indonesia saat ini. Sistem MEOS ini tidak didukung oleh wahana space segment atau satellite sebagai komponen pendukung utama, tapi lebih fokus pada jaringan ground station. Pendukung utama system MEOS adalah ground segment serta user segment (user atau human resources) yang mengoperasikan sebuah stasiun bumi tersebut. Jadi MEOS ini didukung oleh satelit-satelit komersial dan riset yang telah tersedia. Dengan optimalisasi sistem recieving dan processing data oleh ground station (dengan dukungan ground station network) untuk memaksimalkan penerimaan data satelit karena wilayah Indonesia yang sangat luas. Bila dioptimalkan sebuah ground station mampu mengakses sekitar 10 satelit yang lewat dalam jangkuannya. Sayangnya selama ini gound station kita hanya di pakai untuk satu satelit. Padahal dalam kurun waktu 24 jam, banyak sekali satelit lalu lalang dilangit Indonesia yang bisa diakses dan dimanfaatkan datanya.

Beberapa departemen dan lembaga pemerintah yang memiliki stasiun bumi seperti LAPAN-Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, Departemen Kehutanan, Departemen Kelautan dan Perikanan serta lembaga baru seperti Bakorkamla memiliki graound station untuk tupoksi-tugas pokok dan fungsi mereka masing masing. Misal, Departemen Kehutanan memiliki ground station untuk satelit NOAA untuk memantau hot spot atau kebakaran hutan, sementara Lapan memiliki ground station dengan kemampuan serupa. Departemen Kelautan dan Perikanan memiliki ground station untuk satelit Seawifs, satelit JASON, Envisat MERIS dan Themis untuk monitoring parameter lingkungan kelautan seperti suhu permukaan laut, arus laut dan pergerakan plankton (klorofil-a) di lautan.

Fitur-fitur diatas sebenarnya di tangani oleh sebuah ground station multifungsi yang bisa merangkum semua misi menjadi satu. Ditambah kemampuannya untuk mengakses data satelit Radar seperti Envisat ASAR maka ground station tsb bisa melayani berbagai kepentingan seperti pemetaan banjir dan badai, pemetaan gempa, memantau pencemaran laut, deteksi kapal, memantau berapa luasan hutan atau luasan sawah produktif dll.

Dalam kondisi siaga krisis ground station tsb mampu digunakan untuk kepentingan hankam dengan memanfaatkan data-data satelit untuk kepentingan taktis dan strategis. Beberapa lembaga antariksa raksasa dunia seperti NASA EDOS-Earth Observation Sattellite Data Operating System , ESA ERS (EnviSat), Eumetsat EPS – European Meteorology Polar Satellite, KSAT-Kongsberg Satellite Service telah melengkapi sytem ground station mereka dengan fitur-fitur MEOS Capture HRD FEP -High Rate Demodulator and Front End Processor- yang mampu mengolah data baik satelit optis, satelit radar maupun satelit cuaca.

Pemanfaatan Maritime domain

Jaringan stasiun – stasiun bumi MEOS yang tersebar di seluruh dunia mulai dari stasiun bumi SVALSAT (di Svalbard-Kutub utara), Tromso, sampai stasiun bumi di kutub selatan (TrollSat, O’Higgins dan Mc Murdo) memperoleh gambar-gambar satelit yang berasal dari satelit radar dan optis dan satelit cuaca untuk dipergunakan untuk beragam kepentingan diantaranya untuk monitoring mencairnya es kutub akibat global warming. Juga untuk pemanfaatan kelautan local yang penting lain, diantaranya ;

Pengawasan tumpahan minyak

Sampai saat inipun kita belum mampu mengatasi masalah tumpahan minyak di laut yang disebabkan oleh berbagai sumber seperti kapal tanker, fasilitas explorasi di laut atau sebab lain seperti yang terjadi di pantai Majene dan selat Bali baru-baru ini. Dengan penggunaan satelit-satelit lintas kutub (Polar Orbit) yang dilengkapi teknologi SAR-sytnthetic aperture radar, maka kita dapat mendeteksi tumpahan minyak di permukaan laut dan melacak siapa dan kemana sumbernya bersembunyi. Tatkala minyak membentuk sebuah lapisan tipis di permukaan laut, maka minyak akan menghilangkan gelombang-gelombang kapileri. Disebabkan perbedaan dalam sebaran yang berasal dari areal yang ada riak gelombang dan areal yang tidak ada atau kurang adanya gelombang, satelit radar dapat mendeteksi lapisan tumpahan minyak yang berada di permukaan laut. Informasi tentang lapisan minyak, posisi, ukuran, dan sebagainya, dapat diteruskan kepada pihak yang berwenang.

Rembesan Hidrokarbon di laut

Berdasarkan teknik-teknik yang sama, seperti pemantauan tumpahan minyak, pendeteksian rembesan minyak mentah (hydrocarbon) dari dasar laut mungkin saja terjadi. Hidrokarbon yang berada di bawah permukaan laut mungkin saja mengalami kebocoran pipa atau kapal dari dasar laut, dan keluar membentuk lapisan minyak di permukaan laut. Gelombang-gelombang gas yang dikelilingi oleh minyak dapat muncul ke permukaan melalui ledakan-ledakan dalam air. Lalu akan tercipta lapisan minyak yang kecil dan tipis (film).

Areal wilayah alami tersebut diketahui terjadi dari waktu ke waktu dalam cadangan-cadangan minyak yang potensial, namun frekuensi dan jumlah rembesannya dapat berbeda-beda. Hal ini umumnya tampak menarik bagi perusahaan – perusahaan minyak, yakni melakukan pencarian minyak di ladang-ladang samudera yang baru atau sebagai pendukung terhadap kegiatan eksplorasi lainnya yang ada di wilayah tersebut. Teknik ini pula yang telah dipakai oleh Stat-Oil Norwegia untuk menemukan cadangan minyak di selat Makassar Indonesia.

Produk – produk nilai tambah MEOS bervariasi dari satu satelit ke satelit yang lain. Pantauan MEOS dipergunakan untuk menampilkan citra, modifikasi output dan menggabungkan (overlay) citra satelit tersebut dengan citra AIS/VTS dan meteorologi. Melalui kombinasi data dari kapal patroli laut dan pesawat udara maka pihak otoritas hankam bisa mempergunakan citra SAR untuk mendeteksi lalu-lintas sipil dan militer di wilayah perairan luas dengan biaya cukup murah dan efektif. Informasi yang diperoleh dari citra SAR dapat dipergunakan untuk mengarahkan pesawat udara dan kapal laut untuk melakukan inspeksi lebih jauh terhadap sasaran. Informasi ini sangat membantu tatkala menjalankan operasi penangkapan illegal fishing atau adanya lalu-lintas yang mencurigakan di dalam wilayah laut nasional.

Informasi Meteorologis

Rangkaian MEOS meliputi ‘nowcasting’, seperti tipe/jenis awan, temperatur puncak awan, dan produk-produk klimatologi seperti temperatur permukaan laut dan Indeks Vegetasi Normal (Normalized Vegetation Index). Dengan fitur ini peramalan cuaca akan lebih akurat. Juga bisa dimanfaatkan untuk mengoptimalkan dukungan pada sektor pertanian menyangkut luas lahan serta timing yang tepat untuk masa tanam dan panen. Sementara untuk sektor kehutanan untuk mendeteksi hot-spot dan mendukung pengelolaan hutan secara lestari.

Penutup

Pada akhirnya kita hanya bisa berharap agar momentum perhelatan akbar sekelas World Ocean Conference ini mampu membangkitkan keagairahan kita untuk membenahi semua hambatan dan tantangan dalam mewujudkan keselamatan dan keamanan di laut kita melalui skema baik MDA, penerapan IMSS dan MEOS untuk mewujudkan kesejahteraan bangsa Indonesia. Karena tujuan utama MDA dan pembangunan IMSS dan MEOS adalah memberikan peringatan-peringatan dini (early warning) akan kemungkinan terjadinya kecelakaan, termasuk memberikan dukungan pertolongan (Search and Rescue-SAR), untuk menangani pencemaran minyak, dan menangani logistik lapangan baik untuk lalu lintas kapal laut maupun pesawat udara.

Karena tujuan tertinggi berbagai peralatan tsb adalah mendukung SOLAS-Safety Of Life At Sea untuk berdampingan secara harmonis dengan lingkungannya. Pada akhirnya kondisi terumbu karang atau sumber daya perikanan yang lestari tak akan tercapai tanpa didahului dengan kesejahteraan, keselamatan dan keamanan manusia penghuninya. Dan semua itu tak mungkin kita capai tanpa bekerja-sama dan saling mendukung diantara semua stakeholder terkait dengan domain maritim termasuk adanya dukungan partisipasi masyarakat.

* Direktur Divisi Energi, Kelautan & Lingkungan CIDES, Pemerhati IMDA-Indonesian Maritime Domain Awareness.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar