Blog ini berisi artikel,wawancara, laporan perjalanan dan aneka pengalaman di berbagai bidang dan wilayah!
Selasa, 02 April 2013
E-Voting Akan Hemat Biaya
Senin, 1 April 2013
JAKARTA (Suara Karya): Penerapan sistem pemilu secara elektronik atau e-voting dapat diterapkan dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Sebab, tidak hanya menghemat waktu tetapi juga mampu meminimalisir anggaran yang harus dikeluarkan negara tiap penyelenggaraan pemilu.
Demikian disampaikan pakar teknologi Center for Information and Development Studies (CIDES) M Rudi Wahyono dalam diskusi yang diselenggarakan CIDES bertemakan E-Voting, Solusi Alternatif Konsep Pemilu Hemat Biaya, Seberapa Efektifkah? di The Habibie Center, Jakarta, Sabtu (30/3).
Menurut dia, melihat perkembangan teknologi digital maupun internet saat ini maka akan sangat memungkinkan terjadinya pelaksanaan pemilu secara transparansi dan terjamin akuntabilitasnya. Karena itulah, e-voting dapat menjadi salah satu konsep riil yang relevan dilakukan bagi pelaksanaan pesta demokrasi di Indonesia.
"Tentu hal ini juga harus didukung pendataan elektronik melalui format kartu tanda penduduk (KTP) digital untuk menghindari terjadinya pemilih ganda," katanya.
Dia menilai, pertimbangan lainnya yang memungkinkan sistem e-voting itu dapat diterapkan di Indonesia, yakni kondisi geografis di Indonesia. Dengan demikian, proses penghitungan suara nantinya juga dapat dilakukan secara real time online. "Ini dapat menghemat biaya karena pemilihan dapat dilakukan melalui internet, jangkauan global dengan pengeluaran logistik juga akan sangat sedikit. Tidak ada biaya pengiriman, tidak ada keterlambatan saat pengiriman materi dan menerimanya kembali," katanya.
Rudi menambahkan, sistem e-voting juga dapat mencegah kecurangan di tempat pemungutan suara. Sebab, campur tangan manusia menjadi dikurangi dalam e-voting.
Selain itu, terhadap pemilih yang memiliki keterbatasan atau difabel juga tetap dapat memilih melalui alternatif yang disediakan sistem e-voting."Pemilu konvensional yang masih diterapkan Indonesia saat ini sangat mahal. Apalagi, kualitas hasil dari pemilu itu juga belum dapat sebanding dengan biaya yang dikeluarkan itu," katanya.
Dia mengungkapkan, salah satu penyebab sulitnya sistem e-voting ini untuk diterapkan pada Pemilu 2014 karena masih terkendala masalah regulasi.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Program E-Voting BPPT Andrari Grahitandaru mengatakan, ada beberapa persoalan yang menyebabkan pemilu melalui sistem e-voting itu belum dapat dilaksanakan pada pemilu mendatang. Sebab, meskipun Mahkamah Konstitusi (MK) memperbolehkan penggunaannya namun harus memenuhi lima syarat kumulatif. Yakni, penyelenggara, masyarakat, teknologi, pembiayaan, legalitas, serta faktor 'lain-lain'. "Faktor 'lain-lain' itu memang tidak disebutkan MK. Tetapi berdasarkan pengalaman, itu merupakan faktor politik maupun calon peserta pemilu," ujarnya. (Tri Handayani)
E-voting Lebih Hemat Biaya dan Efektif
JAKARTA, KOMPAS - Pemilihan umum secara elektronik dinilai lebih menghemat biaya dan efektif daripada secara konvensional. Sistem elektronik dapat menghemat sejumlah biaya, di antaranya biaya cetak surat suara dan biaya logistik. Selain itu, penghitungan dan tabulasi suara juga lebih cepat, mencegah terjadinya kecurangan, baik di tempat pemungutan suara maupun saat pengiriman, serta meningkatkan aksesibilitas.
Hal itu dikemukakan Sekretaris Eksekutif Center for Information and Development Studies (CIDES) M.Rudi Wahyono dalam acara forum kajian strategis CIDES dan The Habibie Center, ”E-voting, Solusi Alternatif Konsep Pemilu Hemat Biaya, Seberapa Efektifkah?”, Sabtu (30/3), di Jakarta.
Hadir dalam acara itu peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Indria Samego; Kepala Program Rekomendasi Sistem Pemilihan Umum Elektronik Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Andrari Grahitandaru; serta anggota Komisi Pemilihan Umum DKI Jakarta, Sumarno.
Menurut Rudi, jika pemilu dilakukan secara elektronik (e-voting), Komisi Pemilihan Umum dapat mereduksi beberapa komponen biaya yang sering menimbulkan biaya tinggi dalam pemilu, seperti biaya pencetakan surat suara, kotak suara, tinta, pita, pengiriman logistik pemilu, dan honor panitia pemungutan suara.
Dengan e-voting, pemilu dilakukan secara komputerisasi sehingga tidak perlu mendistribusikan banyak logistik pemilu.
Selain itu, jumlah panitia yang terlibat dalam pemilu juga tidak sebanyak ketika pemilu dilakukan dengan cara konvensional sehingga honor bagi petugas pemilu lebih rendah.
Contoh keefektifan e-voting dalam mereduksi biaya terbukti pada pemilu di India tahun 2004. Dengan jumlah pemilih 387,4 juta orang, biaya pemilu yang dibutuhkan hanya 286 juta dollar AS. Sementara di Indonesia pada Pemilu 2009, dengan jumlah pemilih 174 juta orang, biaya pemilu mencapai 932 juta dollar AS. Karena itu, Rudi optimistis, jika diterapkan di Indonesia, e-voting akan mampu mereduksi biaya pemilu karena kondisi India tidak jauh berbeda dengan Indonesia.
Sementara itu, menurut Andrari, selain menghemat biaya, sistem e-voting juga memungkinkan terjadinya pemilu secara transparan dan akuntabilitasnya terjamin. Dengan e-voting, validitas data terjamin, perbedaan hasil perhitungan manual antara panitia pemilu dan para saksi yang sering terjadi pada pemilu konvensional dapat diatasi. Selain itu, setiap tahapan dalam proses pemilu juga dapat dilakukan audit.
Andrari menambahkan, e-voting akan meningkatkan aksesibilitas karena memudahkan penyandang cacat dalam memilih. ”Tinggal menyentuh layar komputer saja,” ujarnya.
Menanggapi hal itu, anggota KPU, Ida Budhiati, saat dihubungi secara terpisah, menuturkan, Mahkamah Konstitusi sebenarnya sudah menyetujui adanya sistem e-voting dalam pemilu. Namun, karena belum dimasukkan ke dalam Undang-Undang Pemilu, KPU tidak bisa menerapkannya saat ini. (K13)
E-voting, Alternatif Pemilu Hemat, Efektifkah?
PESTA demokrasi, baik dalam pemilihan umum dan pemilihan umum kepala daerah harus mengacu transparansi dan akuntabilitas sehingga hasil yang didapat memberikan kepercayaan bagi semua pihak.
Salah satu problem utama dari pelaksanaan pesta demokrasi adalah membangun sistem jaringan yang memungkinkan pelaksanaan pemilihan itu sendiri berjalan transparan. Terkait hal ini ,perkembangan tekonologi digital dan internet sangat memungkinkan terjadinya pelaksanaan pemilihan secara transparan dan akuntabilitasnya terjamin.
Evoting adalah salah satu konsep riil yang relevan dilakukan bagi pelaksanaan pesta demokrasi di Indonesia. Hal ini juga harus didukung pendataan elektronik melalui format KTP digital yang mereduksi terjadinya pemilih ganda.
Kondisi geografis Indonesia juga sangat berkepentingan untuk penerapan e-voting agar penghitungan suara dapat dilakukan real time online. Tantangan untuk meningkatkan integritas, akurasi, dan keamanan dari sistem pemilihan suatu negara membutuhkan system pemilihan yang paling aman, handal dan bisa diaudit.
Implementasi sebuah system pemilihan yang baru, harus memenuhi kriteria-kriteria antara lain tingkat akurasi 100%, keamanan data yang tinggi, auditibilitas yang tinggi, kualitas terbaik, kehandalan, penyesuaian dengan hukum yang ada, mengakomodir bermacam pemilih dan mudah digunakan. Sistem pemilihan secara elektronik (e-voting) ini mencakup seluruh kriteria tersebut.
Pada Sabtu, 30 Maret 2013 lalu, bertempat di Gedung The Habibie Centre, Kemang, Cides UIN menyelenggarakan diskusi bertema-kan E-voting, solusi alternatif konsep pemilu hemat biaya, seberapa efektif kah? Hadi sebagai pembicara yang kompeten di bidangnya, Indria Samego (pengamat politik), Andrari Grahitandaru (Pusat Informasi BPPT), dan Gerry Suryo Sukmono (Presiden Cides UIN), dan Sumarno (Peneliti The Habibie Centre) serta dihadiri oleh puluhan mahasiswa dan media.
Sebelum merancang perangkat ini, BPPT telah mengkaji berbagai pengalaman kegagalan e-voting yang pernah terjadi di beberapa negara seperti di Irlandia atau India yang perangkatnya tak dilengkapi oleh sistem verifikasi. Contoh kegagalan lainnya adalah ketika dilakukan eksperimen pertama "online voting" di AS pada Oktober 2010, dimana para pejabat di Washington, DC, mendirikan sebuah sistem berbasis internet untuk pemilih luar negeri yang akan memberikan suara mereka.
"Para hacker tidak hanya mampu menembus sistem, tetapi juga sedang memantau apa yang terjadi di dalam sistem itu sendiri. Para siswa bisa melihat tandatangan elektronik dari hacker yang berbasis di China dan Iran," papar M Rudi Wahyono, Sekretaris eksekutif dan Direktur Bidang Lingkungan,Energi dan Kelautan Cides.
Karena itu, tambahnya, Indonesia sebaiknya belum menggunakan sistem online dalam menerapkan e-voting karena selain keamanannya tak bisa dijamin, infrastruktur internet belum merata, ditambah lagi banyak masyarakat yang gagap teknologi.
E-voting juga hanya akan diterapkan bagi daerah yang memang benar-benar telah siap, baik dari sisi teknologi, pembiayaan, perangkat lunak, serta kesiapan masyarakat. Estonia, suatu negara di Eropa yang penduduknya sedikit sudah berhasil menyelenggarakan e-voting dengan system internet (online) secara bertahap pada 2005, 2007, dan 2009. Lalu kemudian pada 2011 menerapkan pemilu melalui ponsel.
"Pada 2009, MK menyatakan e-Voting diperbolehkan asalkan memenuhi lima syarat kumulatif, yaitu penyelenggara, masyarakat, teknologi, pembiayaan, legalitas, 'dan lain-lain'," ungkap Kepala Program E-Voting BPPT. Andrari menambahkan, syarat 'dan lain-lain' yang ditetapkan MK untuk pelaksanaan E-Voting adalah syarat politis.
Menurutnya, para calon pemimpin daerah banyak yang resah karena proses E-Voting transparan dan cepat. Ini mengakibatkan mereka tidak bisa mengintervensi suara. Meski E-Voting sudah pasti tak akan diterapkan pada Pemilu 2014 mendatang, namun BPPT masih berharap KPU, Bawaslu, dan DKPP diharapkan bisa menyambut baik rencana tersebut. Karena selama ini, reaksi KPU hanya secara lisan membatasi sebatas ujicoba di Pilkada.
Indria Samego menyatakan, proses pemilu memang mahal namun harus dilanjutkan. "Kita harus lakukan E-Voting, bisa diadopsi 2 atau 3 kali pemilu mendatang. Tapi harus asimetrik, tidak bisa kita samakan orang yang berada di Puncak Jaya Papua dengan yang ada di Kebumen Jawa Tengah," menurut Indria.
Peneliti dari The Habibie Center, Sumarno, memberi catatan terkait gagasan E-Voting. Menurutnya, E-Voting masih rentan gangguan intervensi teknologi. Belum lagi masalah sumber daya manusia yang tak siap dengan teknologi.
Banyaknya permasalahan dalam pemilu, di antaranya kerapnya terjadi kesalahan dalam proses pendaftaran pemilih, proses pengumpulan kartu suara yang berjalan lambat, proses penghitungan suara yang dilakukan di setiap daerah juga berjalan lambat karena proses tersebut harus menunggu semua kartu suara terkumpul terlebih dahulu.
Keterlambatan yang terjadi pada proses pengumpulan, akan berimbas kepada proses penghitungan suara, serta terjadinya "jual beli” kertas suara. "Berbagai permasalahan tersebut telah menurunkan kualitas dari penyelengaraan pemilu dan secara umum menurukan kualitas demokrasi. Untuk mengatasi permasalahan di atas salah satu solusi yang dapat diterapkan adalah dengan menyelenggarakan Pemilu secara online atau yang lebih dikenal dengan istilah electronic voting atau e-voting," pungkas Gerry, Presiden Cides UIN.
Langganan:
Postingan (Atom)