Selasa, 02 April 2013

E-voting, Alternatif Pemilu Hemat, Efektifkah?

PESTA demokrasi, baik dalam pemilihan umum dan pemilihan umum kepala daerah harus mengacu transparansi dan akuntabilitas sehingga hasil yang didapat memberikan kepercayaan bagi semua pihak. Salah satu problem utama dari pelaksanaan pesta demokrasi adalah membangun sistem jaringan yang memungkinkan pelaksanaan pemilihan itu sendiri berjalan transparan. Terkait hal ini ,perkembangan tekonologi digital dan internet sangat memungkinkan terjadinya pelaksanaan pemilihan secara transparan dan akuntabilitasnya terjamin. Evoting adalah salah satu konsep riil yang relevan dilakukan bagi pelaksanaan pesta demokrasi di Indonesia. Hal ini juga harus didukung pendataan elektronik melalui format KTP digital yang mereduksi terjadinya pemilih ganda. Kondisi geografis Indonesia juga sangat berkepentingan untuk penerapan e-voting agar penghitungan suara dapat dilakukan real time online. Tantangan untuk meningkatkan integritas, akurasi, dan keamanan dari sistem pemilihan suatu negara membutuhkan system pemilihan yang paling aman, handal dan bisa diaudit. Implementasi sebuah system pemilihan yang baru, harus memenuhi kriteria-kriteria antara lain tingkat akurasi 100%, keamanan data yang tinggi, auditibilitas yang tinggi, kualitas terbaik, kehandalan, penyesuaian dengan hukum yang ada, mengakomodir bermacam pemilih dan mudah digunakan. Sistem pemilihan secara elektronik (e-voting) ini mencakup seluruh kriteria tersebut. Pada Sabtu, 30 Maret 2013 lalu, bertempat di Gedung The Habibie Centre, Kemang, Cides UIN menyelenggarakan diskusi bertema-kan E-voting, solusi alternatif konsep pemilu hemat biaya, seberapa efektif kah? Hadi sebagai pembicara yang kompeten di bidangnya, Indria Samego (pengamat politik), Andrari Grahitandaru (Pusat Informasi BPPT), dan Gerry Suryo Sukmono (Presiden Cides UIN), dan Sumarno (Peneliti The Habibie Centre) serta dihadiri oleh puluhan mahasiswa dan media. Sebelum merancang perangkat ini, BPPT telah mengkaji berbagai pengalaman kegagalan e-voting yang pernah terjadi di beberapa negara seperti di Irlandia atau India yang perangkatnya tak dilengkapi oleh sistem verifikasi. Contoh kegagalan lainnya adalah ketika dilakukan eksperimen pertama "online voting" di AS pada Oktober 2010, dimana para pejabat di Washington, DC, mendirikan sebuah sistem berbasis internet untuk pemilih luar negeri yang akan memberikan suara mereka. "Para hacker tidak hanya mampu menembus sistem, tetapi juga sedang memantau apa yang terjadi di dalam sistem itu sendiri. Para siswa bisa melihat tandatangan elektronik dari hacker yang berbasis di China dan Iran," papar M Rudi Wahyono, Sekretaris eksekutif dan Direktur Bidang Lingkungan,Energi dan Kelautan Cides. Karena itu, tambahnya, Indonesia sebaiknya belum menggunakan sistem online dalam menerapkan e-voting karena selain keamanannya tak bisa dijamin, infrastruktur internet belum merata, ditambah lagi banyak masyarakat yang gagap teknologi. E-voting juga hanya akan diterapkan bagi daerah yang memang benar-benar telah siap, baik dari sisi teknologi, pembiayaan, perangkat lunak, serta kesiapan masyarakat. Estonia, suatu negara di Eropa yang penduduknya sedikit sudah berhasil menyelenggarakan e-voting dengan system internet (online) secara bertahap pada 2005, 2007, dan 2009. Lalu kemudian pada 2011 menerapkan pemilu melalui ponsel. "Pada 2009, MK menyatakan e-Voting diperbolehkan asalkan memenuhi lima syarat kumulatif, yaitu penyelenggara, masyarakat, teknologi, pembiayaan, legalitas, 'dan lain-lain'," ungkap Kepala Program E-Voting BPPT. Andrari menambahkan, syarat 'dan lain-lain' yang ditetapkan MK untuk pelaksanaan E-Voting adalah syarat politis. Menurutnya, para calon pemimpin daerah banyak yang resah karena proses E-Voting transparan dan cepat. Ini mengakibatkan mereka tidak bisa mengintervensi suara. Meski E-Voting sudah pasti tak akan diterapkan pada Pemilu 2014 mendatang, namun BPPT masih berharap KPU, Bawaslu, dan DKPP diharapkan bisa menyambut baik rencana tersebut. Karena selama ini, reaksi KPU hanya secara lisan membatasi sebatas ujicoba di Pilkada. Indria Samego menyatakan, proses pemilu memang mahal namun harus dilanjutkan. "Kita harus lakukan E-Voting, bisa diadopsi 2 atau 3 kali pemilu mendatang. Tapi harus asimetrik, tidak bisa kita samakan orang yang berada di Puncak Jaya Papua dengan yang ada di Kebumen Jawa Tengah," menurut Indria. Peneliti dari The Habibie Center, Sumarno, memberi catatan terkait gagasan E-Voting. Menurutnya, E-Voting masih rentan gangguan intervensi teknologi. Belum lagi masalah sumber daya manusia yang tak siap dengan teknologi. Banyaknya permasalahan dalam pemilu, di antaranya kerapnya terjadi kesalahan dalam proses pendaftaran pemilih, proses pengumpulan kartu suara yang berjalan lambat, proses penghitungan suara yang dilakukan di setiap daerah juga berjalan lambat karena proses tersebut harus menunggu semua kartu suara terkumpul terlebih dahulu. Keterlambatan yang terjadi pada proses pengumpulan, akan berimbas kepada proses penghitungan suara, serta terjadinya "jual beli” kertas suara. "Berbagai permasalahan tersebut telah menurunkan kualitas dari penyelengaraan pemilu dan secara umum menurukan kualitas demokrasi. Untuk mengatasi permasalahan di atas salah satu solusi yang dapat diterapkan adalah dengan menyelenggarakan Pemilu secara online atau yang lebih dikenal dengan istilah electronic voting atau e-voting," pungkas Gerry, Presiden Cides UIN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar