Selasa, 15 Oktober 2013

Agent Orange: Herbisida Pembunuh Massal

AmerikaSerikat adalah negara yang paling semangat untuk melucuti senjata kimia yang katanya digunakan Presiden Bashar Al-Assad di Suriah. Menurut informasi yang dilansir dari VOA-Islam.com, Suriah dikatakan memiliki cadangan senjata kimia terbesar di dunia, termasuk gas mustard dan ”agen syaraf”, senyawa sarin. Senjara kimia itu, katanya pernah pula digunakan Saddam Husein untuk menyerang wilayah Kurdi di Halabjah dan menewaskan ratusan orang pada tahun 1986. Juni lalu Amerika mengklaim pihaknya memiliki bukti kuat yang meyakinkan bahwa rezim Bashar al-Assad menggunakan senjata tersebut terhadap kekuatan oposisi. Mungkin pepatah ”semut di seberang lautan bisa terlihat, tapi gajah di pelupuk mata tidak dapat dilihat” ada benarnya. Amerika bisa jadi sudah lupa, bahwa mereka pernah menggunakan senjata kimia dengan kode ”Agent Orange” pada perang Vietnam tahun 1962 hingga 1971. Bangsa Vietnam sampai kapan pun tidak akan pernah lupa, karena dampak sang agen masih tampak hingga generasi saat ini. Penggunaan senyawa kimia tersebut kanker alat reproduksi perempuan, kanker ginjal, kanker testis, leukemia, aborsi spontan, cacat kelahiran, kematian neonatal (bayi), dan stillbirths (berat badan rendah di waktu lahir), kanker di masa kanak-kanak, parameter sperma yang abnormal, gangguan neuropsikiatris kognitif, ataxia, gangguan sistem saraf periferi, gangguan peredaran, gangguan pernapasan, kanker kulit, kanker saluran kencing dan kandung kencing. Kenyataannya, ribuan kelahiran bayi di berbagai daerah di Vietnam mengalami kelainan yang sangat mengerikan dan kelahiran tidak sempurna akibat senyawa ini. ”Agent Orange” mendapatkan namanya dari tong-tong bergaris oranye berukuran 55 galon. Campurannya 1:1, dari dua herbisida fenoksi dalam bentuk ester, 2,4 dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D) dan 2,4,5- trichlorophenoxyacetic acid (2,4,5-T). Kedua herbisida ini dikembangkan pada tahun 1940-an oleh tim-tim independen di Inggris dan Amerika Serikat untuk me ngendalikan tanaman-tanaman berdaun lebar. ”Agen-agen” fenoksi ini bekerja dengan meniru hormon pertumbuhan tanaman, indoleacetic acid (IAA). Bila disemprotkan kepada tanaman-tanaman berdaun lebar, mereka merangsang pertumbuhan yang cepat dan tidak terkendali dan akhirnya merontokkan daun-daunnya. Herbisida ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 1946 dan dipergunakan secara luas dalam pertanian pertengahan 1950-an di ladang-ladang pertanian di Aguadilla, Puerto Rico. Bila disemprotkan pada tanaman-tanaman seperti gandum atau jagung, ia secara selektif akan mematikan hanya tanaman-tanaman yang berdaun lebar di ladang ilalang dan membiarkan tanaman lainnya relatif tidak terpengaruh. Pada saat ”Agent Orange” dijual kepada pemerintah AS untuk digunakan di Vietnam, semua memo intern pabrik-pabriknya meng - ung kapkan, telah diketahui bahwa dioxin, 2,3,7,8-tetrachlorodibenzo-para-dioxin (TCDD), diproduksi sebagai produk sampingan dari pembuatan 2,4,5-T, dan itu terdapat dalam herbisida mana pun yang menggunakannya. Program Toksikologi Nasional Amerika telah menggolongkan TCDD sebagai zat karsinogen atau penyebab kanker bagi manusia. Dan sejak itu 2,4,5-T telah dilarang dipergunakan di Amerika maupun di banyak negara lainnya. Meskipun herbisida 2,4-D tidak mengandung dioxin, dampaknya terhadap kesehatan dan lingkungan hidup belum secara tuntas dipelajari, dan tetap merupakan salah satu jenis herbisida yang paling luas dipergunakan di dunia sekarang. Universitas Columbia di New York pernah memublikasikan hasil analisis ulang terhadap catatan militer selama masa Perang Vietnam berlangsung (1961-1975). Laporan itu membeberkan bahwa, militer Amerika sedikitnya menggunakan tujuh juta liter senyawa kimia bernama ”Agent Orange”. Senyawa kimia tersebut mempunyai kekuatan dua kali lebih berbahaya dari racun karsinogen. Akibat yang dihasilkan, sedikitnya 10 ribu bayi terlahir cacat, dan menjadi beban hidup dari generasi ke generasi. Makanya, ketika Amerika begitu semangat melucuti senjata kimia di Irak, banyak tokoh tokoh di Vietnam yang mengecam tindakan Amerika tersebut. ”Bagaimana mungkin Amerika mengklaim ingin melucuti senjata pemusnah massal Irak de ngan menggelar perang, sedangkan mereka sendiri jelas-jelas menggunakannya dalam Perang Vietnam? Seorang kriminal (dalam kasus ini pemerintahAmerika) tentu tidak mudah me ngakui perbuatannya. Karena itulah, masyarakat dunia akan mengutuk semua tindakannya,” tutur Ketua Palang Merah Vietnam, Nguyen Trong Nhan seperti dilansir dari news.indonesianvoices. com Sementara itu, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Vietnam, Phan Thuy Thanh pun mempertanyakan sikap Amerika saat akan mengintervensi Irak dulu. ”Prioritas Amerika seharusnya bukan melucuti senjata pemusnah massal Irak, tapi justru harus menolong korban senjata kimia ’Agent Orange’ yang mereka ciptakan selama Perang Vietnam,” katanya. Pada tahun 1984, sebenarnya Amerika pernah menyetor dana sebesar 180 juta dolar Amerika untuk para korban. Namun sepuluh tahun kemudian, pemerintah Amerika di Washington D.C. memutuskan menghentikan bantuan kompensasi ini. Padahal, generasi baru korban kejahatan sang ”Agent Orange” terus lahir di Vietnam. Perang memang memiliki dampak yang buruk bagi banyak orang. Perang tanpa zat kimia saja sudah banyak korban berguguran, apalagi dengan senjata kimia. Karena dampaknya tak hanya bagi mereka yang berperang, tapi kecacatan bagi generasi selanjutnya. Jadikan Vietnam sebagai pelajaran untuk tak lagi menggunakan zat kimia sebagai senjata pemusnah massal. (Feby Syarifah)***

Senin, 14 Oktober 2013

Zat-zat Kimia Andalan Perang

Bukan rahasia lagi, kalau senjata kimia merupakan senjata ampuh mematikan yang mampu membunuh banyak manusia dalam waktu sekejap saja. Misalnya perang Italia terhadap Etiopia, Jepang terhadap Cina, Jerman terhadap Rusia, Irak terhadap suku Kurdistan, semuanya menggunakan senjata kimia. Bahkan, Rusia dan Amerika menggunakan 100.000 ton racun herbisida dioksin untuk perang di Asia Tenggara seperti di Laos, Kamboja, dan Vietnam. Di Afganistan, ditemukan pula senjata kimia berupa gas mustard. Di Kamboja dan Laos ditemukan racun saraf riot control dan mycotoxin atau racun dari jamur. Nah, berikut adalah contoh zat-zat kimia yang bisa atau pernah dimanfaatkan oleh beberapa negara dalam menghabisi musuh-musuh mereka. Pertama ada VX, racun berbahaya dalam bentuk cair dan uap ini dapat menyerang sistem saraf pusat. Bahan kimia ini dianggap 100 kali lebih beracun melalui sentuhan terhadap kulit daripada saraf, dan dua kali lebih berbahaya melalui pernapasan. "VX dapat menyebabkan kematian beberapa menit setelah terkena. Bahan kimia itu mematikan dengan menyerang otot yang dikendalikan dalam keadaan aktif sehingga otot lelah dan tidak dapat bernapas lagi," ujar peneliti Center for Information and Development Studies, M Rudi Wahyono. Pakar Kimia Dasar Institut Teknologi Bandung, Lia Juliawati mengatakan, senyawa kimia yang paling toksik sebagai senjata kimia yaitu VX. Zat ini 10 kali lebih toksik atau beracun daripada zat kimia sarin yang juga menyerang sistem saraf. Senyawa berwujud cair yang memiliki viskositas yang tinggi ini, mudah menguap, tak berbau, dan dapat bertahan lama. "Senyawa ini merupakan inhibitor enzim asetilkolinesterase. Dalam bentuk cairan, senyawa ini akanterabsorpsi melalui mata atau kulit. Prosesnyamembutuhkan waktu 1 hingga 2 jam sehingga menghasilkan efek kematian. Bila wujudnya gas, akan lebih mematikan dan bekerja sangat cepat apabila terhirup. Senyawa ini akan membloking fungsi enzim asetilkolinesterase sehingga syaraf terisolasi dan menjadi tak terkontrol," paparnya. Zat kimia kedua yang tak kalah berbahayanya adalah sulfur mustards; gelembung dan unsur perantara alkali. Bahan kimia ini tak berwarna dalam keadaan murni, tetapi secara umum berwarna kuning hingga cokelat dan sedikit berbau mustard atau bawang putih. "Sulfur mustards menyebabkan luka pada kulit, mata, dan saluran pernapasan. Tidak ada penawar racun atas keracunan sulfur mustard, satu-satunya cara efektif yaitu dengan mengurangi kontaminasi semua daerah yang terkena. Sepuluh miligram bahan kimia itu dapat menewaskan korbannya," kata mantan asisten Biokimia di UGM itu. Zat kimia ketiga yakni, Sarin. Komponen yang sangat beracun baik dalam bentuk cair atau pun gas ini menyerang sistem syaraf pusat dan dapat menimbulkan kematian beberapa menit setelah terkena. Bahan ini memasuki tubuh melalui pernapasan, pencernaan, mata, dan kulit. Ada juga chlorine. Zat kimia keempat ini berbentuk senyawa gas kuning kehijauan dengan bau tajam yang lebih berat dari udara. Bahan ini bereaksi dengan berbagai bahan organik, menimbulkan api dan ledakan keras. Menimbulkan efek korosif pada mata dan kulit. Penyebaran melalui udara menyebabkan kesulitan bernafas dan edema paru-paru. Tingkat terkena yang tinggi dapat menyebabkan kematian. Bahan kimia kelima yang juga pernah digunakan semasa perang adalah hydrogen cyanide. Zat kimia ini sangat mudah terbakar, tidak berwarna dalam bentuk gas ataupun cair. "Dalam keadaan terbakar, ia menyebarkan racun dan dapat memicu ledakan. Zat ini juga dapat menimbulkan iritasi mata, kulit dan saluran pernafasan. Bahan ini dapat menyerang sistem syaraf pusat sehingga sirkulasi tidak berfungsi," ujar Rudi. (Feby Syarifah)

Senjata Kimia: Mudahnya Memproduksi Pembunuh Massal

Beberapa waktu terakhir layar televisi kita banyak menayangkan berita mengenai perang saudara di salah satu negara Islam di Timur Tengah, Suriah. Yang lebih meresahkan, mereka disebut-sebut menggunakan senjata kimia yang mampu membunuh banyak orang hanya dalam waktu singkat. Karena hal itulah, Amerika Serikat dan sekutunya mendesak Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mengintervensi konflik tersebut dan menginvestigasi kebenaran adanya senjata kimia. Menurut peneliti Center for Information and Development Studies, M Rudi Wahyono, kecaman atas penggunaan senjata kimia sebenarnya sudah mencuat sejak abad ke-17. Deklarasi Brussel, yang isinya melarang penggunaan peluru beracun disepakati pada tahun 1874. Selanjutnya pada 17 Juni 1925, ditanda tangani Protokol Jenewa yang melarang penggunaan bahan kimia beracun bagi organ pernapasan. Sayangnya dalam protokol ini tidak tercakup pelarangan pengembangan, produksi, dan penyimpanan senjata kimia. "Langkah konkret baru terlihat hampir tiga perempat abad kemudian, yaitu dengan disepakatinya Perumusan Konvensi Pelarangan Pengembangan, Produksi, Penimbunan, Penggunaan, dan Pemusnahan Senjata Kimia atau disebut sebagai Konvensi Senjata Kimia (KSK). Konvensi itu disepakati pada 3 September 1992 dalam suatu forum Konferensi Pelucutan Senjata PBB di Jenewa," ujarnya minggu lalu. Momentum tersebut, menurut Rudi, di samping secara yuridis menandai dimulainya pelarangan secara total penggunaan salah satu jenis senjata pemusnah massal, juga merupakan tonggak bersejarah dalam bidang pelucutan senjata. Pada tanggal 29 April 2002, Organisasi Pelarangan Senjata Kimia atau The Organization for the Prohibition of Chemical Weapons (OPCW) telah berhasil menghancurkan jutaan senjata kimia serta ribuan ton bahan kimia beracun dan mematikan, baik yang digunakan dalam peperangan ataupun untuk tujuan terorisme. Dalam seribu hari pertamanya sejak KSK diberlakukan, yakni tanggal 28 April 1997, lebih dari 600 inspeksi di 35 negara pihak telah dilaksanakan oleh 203 inspektur OPCW. Senjata kimia Menurut Rudi, bahan kimia bisa digunakan sebagai senjata, bila hasil olah bahan kimia, baik itu berwujud senyawa kimia cair, gas, maupun padat bertujuan dan mengakibatkan musuh menjadi korban kontaminasi baik langsung ataupun tidak langsung. Sementara itu, menurut Pemerhati Pertahanan dan Alutsista TNI, Jagarin Pane, zat kimia bisa disebut sebagai senjata kimia diawali dengan nawaitunya alias niatnya. Sama dengan narkoba, kalau untuk keperluan dunia kedokteran dalam dosis yang terukur untuk pengobatan dan penyembuhan, ya tidak ada masalah. "Akan tetapi, jika sudah disalahgunakan, akan menyentuh wilayah hukum, makanya disebut penyalahgunaan narkoba. Contohnya, air aki atau asam sulfat atau H2SO4 jelas salah satu penggunaannya untuk battery power penggerak, tapi jika disiramkan ke wajah menjadi salah besar karena tidak sesuai peruntukannya," tuturnya. Dalam sejarahnya, menurut Jagarin, Perang Dunia I menjadi saksi sejarah perang modern betapa kejamnya penggunaan senjata kimia. Jerman menggunakan gas klorin di Belgia yang menewaskan 15.000 tentara lawan kemudian pihak Inggris dan sekutunya melakukan pembalasan de - ngan menggunakan gas sulfur mustard. Inilah cikal bakal lahirnya Protokol Jenewa tahun 1925. "Perang Vietnam tahun 1961 sampai dengan 1975 merupakan salah satu perang tanpa etika karena penggunaan senjata kimia. AS membombardir Vietnam dengan menggunakan senjata kimia, salah satunya dikenal dengan nama Agent Orange. Setidaknya 20 juta galon senjata kimia, termasuk agent orange, disebar dari udara di bumi Vietnam. Versi Pemerintah Vietnam menyebutkan, 400.000 orang Vietnam tewas atau cacat berat, 500.000 bayi lahir cacat, dan 2 juta warga Vietnam terkena kanker dan penyakit lain sebagai dampak lanjutan penggunaan senjata kimia itu," kata Jagarin menjelaskan. Regulasi universal tentang kepemilikan senjata kimia sama ketatnya dengan kepemilikan senjata nuklir. Protokol Jenewa tahun 1925 jelas menyatakan melarang penggunaan senjata kimia. "Hanya karena proses membuat senjata kimia itu lebih mudah dibandingkan dengan senjata nuklir, kontrol untuk kepemilikan senjata kimia lebih sulit terdeteksi. Semua negara di dunia ini punya potensi untuk membuat senjata kimia yang dikenal dengan senjata pemusnah massal," tutur Jagarin lagi. Setiap negara memang bebas membuat dan mengembangkan industri kimianya. Bebas tapi juga mestinya bertanggung jawab. "Kita punya industri kimia berskala besar, Petrokimia Gresik, Pupuk Iskandar Muda, Pupuk Sriwijaya, Pupuk Kujang, dan sebagainya. Itu semua kan industri kimia untuk keperluan perdagangan dan pertanian. Nah, untuk memastikan bahwa industri kimia itu adalah untuk tujuan damai dan tidak disalahgunakan, harus ada regulasi yang mengatur berupa Undang-Undang," ucap Jagarin menegaskan. Sebagaimana dicantumkan dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 1998, antara lain menyatakan bahwa Indonesia tidak memiliki dan tidak ingin mengembangkan senjata kimia. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia, khususnya Departemen Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia sebagai institusi yang bertanggung jawab dalam sistem persenjataan tidak merencanakan mengembangkan dan memanfaatkan sistem senjata kimia tersebut untuk peperangan. (Feby Syarifah)***

Yudhoyono Unhappy With Criticism of Food Policy

President Susilo Bambang Yudhoyono has accused critics of his government’s food policies of having political motives instead of expressing genuine concern about ongoing shortages of staple foods. He said in Jakarta on Tuesday that he would intervene if the politicization of the crisis got out of hand. “Some of the critics do actually care about the economy and understand the present economic conditions, but some have ulterior motives that are not always economic,” he said. “You can understand next year there will be a general election,” he added, suggesting that his opponents were more interested in jockeying for position rather than expressing any real interest in current national affairs. Yudhoyono said he had instructed his cabinet not to pay too much attention to the negative comments and just carry on with their duties. The government has come under fire over the scarcity of several food commodities and skyrocketing prices following the weakening of the rupiah against the US dollar, because of its heavy reliance in importing food. “If political statements get out of hand then I will intervene,” the president said. “I will explain to the people what the real problem and situation is. On food, we do have a small food surplus and we export that, but it is not enough.” Yudhoyono went on to explain that the country had been facing shortages of some food commodities, compelling the government to import produce to compensate for the shortfall. He added that the high prices were caused by the current global economic climate, but stressed that the government was still addressing the problem. Analysts and critics have accused the government of being helpless in dealing with importers that function as cartels, throttling supplied of much-needed produce such as soybeans in order to drive up prices and exploit the ongoing shortage. Critics say that part of the problem is the absence of legislation that would allow the government to take meaningful action against the perpetrators. “Indonesia does not have a law against anti-trust activities,” Rudi Wahyono, a researcher with the Center of Information and Development Studies (CIDES), said during a roundtable discussion on agribusiness in Jakarta on Tuesday. “Therefore, cartels cannot be legally prosecuted, and this allows unscrupulous businesspeople to collude to keep food prices high.” Rudi said the government had only focused on meeting demand through imports and had so far failed to make any progress on boosting domestic food production, arguing that imports, no matter how costly, did not free the country from the risk of widespread food shortages. Data from the Global Food Security Index 2012, released by the Economic Intelligent Unit, showed Indonesia scored below 50, on a scale of 0 to 100, in its food security index, putting it below neighboring countries such as Malaysia, Thailand, Vietnam and the Philippines. Three factors highlighted in the study were malnutrition, children’s weight and mortality rate. Rudi said malnutrition in Indonesia indicated the country had entered a “red zone” because the government was too busy thinking about how to meet food demand and overlooking the importance of becoming self-sufficient. He said that ideally, the government should prioritize independence through food self-sufficiency programs and prepare strategies to prevent the current food crisis from worsening. “First, self-sufficiency can be achieved by issuing policies prioritizing small farmers. This can be done through technological innovation and the development of institutions. That way, farmers can grow in line with modernization,” he said. “We need to establish state institutions and bodies to maintain food and price resilience. Finally, by launching social protection and nutrition drives, we can calculate the public’s needs for iodine, vitamins and minerals.” The former of Agriculture Director General who become CIDES resource person Iskandar Andi Nuhung said the government’s helplessness in dealing with importers who controlled the food trade had made Indonesia a key target of importers. He claimed these parties were trying to make Indonesia the world’s largest importer of food. “This makes sense because Indonesia, with its large population is potentially a very lucrative market for food importers,” Iskandar said. “Allowing the importers a free run to import what they want is not in the country’s interests.” He added that history had shown that food crises had a close correlation with a country’s sovereignty, saying it was ironic to see the government take the wrong approach by sanctioning increased imports at the expense of local small traders and businesspeople. Iskandar called on the government to strengthen development of the agricultural sector by increasing the money allocated to the sector. He also suggested the government needed to get a grip on food policies. Since the implementation of regional autonomy in 1999, Iskandar said there had been areas of policy overlap between central and regional governments, leading to confusion. “Many regional leaders don’t have very much interest in ensuring food supplies,” Iskandar said. Rudi said local leaders were more interested in handling non-agriculture sectors that allowed them to generate quick money to pay for the political expenses they incurred during election campaigns. “What makes it worse is the Agriculture Ministry has been defeated by importers in terms of lobbying. As a result, the government is unable to develop the agriculture sector, which is its responsibility. The importers have even made the ministry their toy by making the country a net importer instead of a producer,” he said. Rudi cited the case of the US government, which he said had given its full support to its farmers.“The government of the United States gives its full support to its farmers. The US even gives subsidies for agricultural development,” he said. A Balinese farmer thrashes rice paddy during a harvest in Denpasar, Bali in this June 05, 2013 file photo. (EPA Photo/Made Nagi)

Minggu, 13 Oktober 2013

Experts blame Jakarta's pollution of sea on lax management

P.C. Naommy and Theresia Sufa, Jakarta/Bogor Environmentalists fear further devastating consequences of lax waste management on marine and coastal areas nationwide, in the wake of the deaths of thousands of fish in Jakarta Bay earlier this year. "The technology is there, but it isn't applied. Many industries would simply choose to take the easy way by dumping their waste into the sea to save money," said Ario Damar, a researcher from the Bogor Institute of Agricultural (IPB) on the sidelines of a environmental workshop at the Agency for the Assessment and Application of Technology (BPPT) on Monday. Researchers consider the dead fish phenomenon of last May a warning from nature and not just ""a natural occurrence"", as previously claimed by Governor Sutiyoso. Research results from the Indonesian Institute of Science (LIPI) blamed the red-tide phenomenon -- an increase in the population of algae that result in oxygen depletion -- for the deaths of fish and clams. According to researchers from the IPB, the increase of the algae could be caused by the increase of phosphates and nitrogen -- nutrients needed by the algae -- which are suspected to be coming from household waste, such as detergent and feces. Another researcher from the IndoRepro-Indonesia Recycling and Sanitation Program, M. Rudi Wahyono, said that the extreme algae proliferation could also be caused by industrial toxic waste. ""The city administration seems to be defensive when it come to the pollution caused by industries. They should take strong measures against those companies,"" said Rudi. Ario from the IPB added that the heavy metals could act as a time bomb, such as events prior to the tragedy in Minamata, Japan. ""The company started to dump methyl mercury in the sea in 1946, but the disease, which was caused by mercury toxicosis, started to flare up about 10 years after,"" he said. Data from the World Bank in 2003 had put Indonesia, among other countries in Asia, as the country with the poorest waste management and sanitation system. According to the World Bank, the economic loss due to damage to the ecosystem has reached US$4.6 billion per year, or 2 percent of the total Gross Domestic Product (GDP). Separately, Bogor LIPI expert Ahmad Jauhar Arief, revealed on Monday that the uncontrolled dumping of industrial waste from textile factories in South Bandung had killed thousands of fish in Saguling dam. ""Moreover, excessive fish farming in the area has also polluted the water,"" he said. The dam is the source of a hydro-powered electricity plant that powers part of Java island and Bali. Table of Heavy Metals found in Ancol and Dadap areas in Jakarta Bay in mg/l Heavy Metal Ancol Dadap Standard level Lead(Pb) 0.120 0.093 0.008 Cadmium(Cd) 0.068 0.054 0.001 Copper(Co) 0.068 0.059 0.008 Mercury(Hg) 0.005 0.006 0.001 Source : The Center for Marine and Coastal Natural Resources Study at IPB

Jumat, 11 Oktober 2013

Alutsista :Pembelian Kapal Selam Baru

13 Desember 2010, Jakarta -- Rencana pembelian kapal selam oleh pemerintah disikapi positif DPR. Indonesia sudah waktunya membeli kapal selam karena dua kapal selam yang dimiliki sedang diperbaiki di Korea Selatan. Pembelian kapal selam akan memperkuat TNI, khususnya TNI AL, dalam mempertahankan wilayah Indonesia. “Pemerintah memang baru pada tahap merencanakan, tapi belum ada pemberitahuan secara resmi ke DPR,” kata Wakil Ketua Komisi I DPR Tubagus Hasanuddin saat dihubungi di Jakarta, Minggu (12/12). Meski begitu, politisi PDIP ini berharap pemerintah berpikir ulang untuk mengadakan kerja sama dengan Korea Selatan, apalagi bersepakat membangun kapal selam bersama. Dia khawatir kerja sama ini akan banyak dipertanyakan negara lain, terutama Korea Utara yang saat ini sedang bersitegang dengan Korea Selatan. “Rencana kerja sama dengan Korea Selatan harus dipikir ulang. Saya khawatir kerja sama ini akan menyeret kita ke ranah konflik,” katanya. Untuk persoalan kemampuan membeli, Hasanuddin yakin pemerintah bisa membeli minimal satu kapal selam dalam waktu dekat ini. Pasalnya, dana yang disiapkan pemerintah untuk pertahanan tinggi, meningkat dua kali lipat lebih atau 56 triliun rupiah dari dana pada periode lima tahun sebelumnya. “Saya pikir bisa. Tapi harus ditekankan, jangan sampai bekerja sama untuk melakukan kerja sama pembuatan dengan Korea Selatan. Namun, untuk perbaikan atau pembelian, hal itu bisa dilakukan,” jelasnya. Direktur Studi Energi, Lingkungan, dan Maritim Center for Information and Develepment Studies (Cides) M Rudi Wahyono justru melihat kerja sama pengembangan kapal selam dengan Korea Selatan ada lah yang paling memungkinkan. Menurutnya, Indonesia dan Korea Selatan berjalan bersama dalam masalah pertahanan. Korea Selatan bahkan pernah membeli kapal patroli di laut, udara, dan darat dari Indonesia. “Indonesia sangat memungkinkan melakukan imbal beli dengan Korea Selatan. Untuk transfer teknologi juga paling memungkinkan dengan negara itu,” katanya. Rudi berharap Indonesia meninjau kerja sama dengan Perancis dalam pengadaan kapal selam. Merujuk pada kasus Malaysia, Prancis ternyata gagal memberikan kapal selam yang bagus, bahkan kerja sama kedua negara itu tidak jalan. Harga kapal selam memang cukup mahal. Dia berharap pemerintah tetap mengusaha kan untuk mengadakannya karena kapal selam amat penting untuk menjaga wilayah maritim Indonesia. (Koran Jakarta)

Kamis, 10 Oktober 2013

Menakar Kekuatan (Senjata) Kimia Indonesia

"Perkembangan penelitian kimia di Indonesia, khususnya di perguruan tinggi ada yang diarahkan pada senyawa-senyawa yang berguna untuk kesehatan, penyakit tropis, gizi dan obat-obatan, ketahanan dan keamanan pangan, energi baru dan terbarukan, keragaman hayati, teknologi pertahanan, serta teknologi informasi dan komunikasi," demikian pernyataan M.Rudi Wahyono sewaktu diwawancara oleh harian PR Bandung. Terkait pemakaian zat kimia sebagai senjata, dikatakan oleh peneliti Cides itu, bahwa senjata kimia adalah senjata yang memanfaatkan sifat racun senyawa kimia untuk membunuh, melukai, atau melumpuhkan musuh. Penggunaan senjata kimia berbeda dengan senjata konvensional dan senjata nuklir karena efek merusak senjata kimia terutama bukan disebabkan daya ledaknya. Contoh yang sangat mudah penggunaan agen kimia dalam perang adalah penggunaan Herbisida (pembasmi gulma) pada perang di Vietnam yang dikenal sebagai 'agent orange'. Senjata kimia ini telah membunuh ribuan manusia, ternak dan bahkan tumbuhan di Asia Tenggara waktu itu. Selain itu,penggunaan organisme hidup (seperti antraks) juga bukan dianggap senjata kimia, melainkan senjata biologis. Bila ditambah nuklir maka terjadi gabungan senjata Nubika-Nuklir-Biologi dan Kimia yang sangat berbahaya dan ditakuti. Menurut Konvensi Senjata Kimia (Chemical Weapons Convention), yang dianggap sebagai senjata kimia adalah penggunaan produk toksik yang dihasilkan oleh organisme hidup (misalnya botulinum, risin, atau saksitoksin). Menurut konvensi ini pula, segala zat kimia beracun, tanpa memedulikan asalnya, dianggap sebagai senjata kimia, kecuali jika digunakan untuk tujuan yang tidak dilarang (suatu definisi hukum yang penting, yang dikenal sebagai Kriteria Penggunaan Umum, General Purpose Criteron). Peneliti dan pengamat dari CIDES M Rudi Wahyono juga menegaskan, Indonesia bukanlah negara senjata kimia, tidak memiliki dan tidak ingin mengembangkan senjata kimia. Oleh karena itu, titik berat implementasi Konvensi Senjata Kimia (KSK) dapat dipastikan terfokuskan "Dalam kaitannya dengan KSK, industri kimia Indonesia tidak atau belum memproduksi bahan-bahan kimia yang termasuk dalam schedule 1, 2, dan 3. Namun, dari hasil pendataan tahun 1998, sejumlah bahan kimia schedule 3 diimpor sebagai bahan baku yang dikonsumsi oleh beberapa industri kimia dan farmasi. Demikian halnya satu bahan kimia schedule 2 diimpor dan digunakan oleh industri farmasi," ujarnya. Untuk membantu pemerintah dalam memenuhi kepatuhannya terhadap ketentuan konvensi, diperlukan suatu badan otoritas nasional. Badan ini secara aktif dan terus-menerus menjadi titik penghubung baik dengan The Organization for the Prohibition of Chemical Weapon (OPCW) maupun dengan berbagai fasilitas terkait yang ada di Indonesia, serta mengadakan hubungan kerja dengan negara-negara pihak lainnya. Perlu digaris bawahi, negara-negara yang menandatangani konvensi anti senjata kimia akan melarang pengembangannya. Namun konvensi ini tidak berlaku bagi perusahaan swasta. "Oleh karena itu, pemerintah diharapkan memonitor secara ketat impor, konsumsi, dan produksi bahan-bahan kimia terkait dengan konvensi, agar tidak disalahgunakan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk memproduksi senjata kimia yang selanjutnya dapat saja digunakan untuk meneror atau memerangi masyarakat awam yang tidak bersalah," tutur Rudi lagi. Kuatkah pertahanan Indonesia tanpa nuklir atau senjata kimia? Pemerhati pertahanan dan alutsista TNI, Jagarin Pane mengatakan, sebagai bagian dari upaya pertahanan NKRI, maka fokus utamanya adalah memenuhi kebutuhan alutsista konvensional tanpa harus memaksa diri untuk memiliki senjata kimia atau senjata nuklir. "Sejatinya negara gentleman adalah negara yang mampu menata pertahanan diri dengan persenjataan konvensional semata tanpa harus memenuhi nafsu bunuh maksimalnya dalam menangani perselisihan antarnegara dengan menggunakan senjata kimia apalagi nuklir," ucapnya tegas. Jagarin menambahkan, yang perlu dicatat dalam proses kematian dengan senjata konvensional adalah langsung mati atau luka tembak karena daya ledak, selesai. Tak seperti senjata kimia yang proses kematiannya bukan karena daya ledaknya, tetapi proses "sengatannya" ke tubuh manusia yang sangat dramatis. "Ada yang mati pelan-pelan, cacat seumur hidup, dan dampaknya sampai ke generasi berikutnya. Makanya, negara yang menggunakan senjata kimia bisa disebut sebagai negara pengecut, tak berperikemanusiaan dan tak bermoral," ucap Jagarin lagi. Terkait dengan ketersediaan alutsista Indonesia yang saat ini sedang giat-giatnya memodernisasi tentaranya, ia menyatakan bahwa semua matra, baik Angkatan Darat, Angkatan Laut maupun Angkatan Udara perlu diperkuat. Indonesia sudah punya satu skuadron Sukhoi di Makassar. Dalam Minimum Essential Force (MEF) tahap 2 nanti masih sangat dibutuhkan minimal penambahan satu skuadron lagi yang penempatannya berdekatan dengan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I untuk menjaga ibukota. Angkatan Laut menurut Jagarin juga masih perlu penguatan dengan kehadiran fregat, korvet, dan destroyer. Termasuk kapal selam tentunya sebagai senjata strategis pemukul yang paling disegani. Matra darat masih sangat membutuhkan alutsista kavaleri seperti tank, panser, juga rudal darat ke darat, roket dan artileri. "Kita yakin tahun 2019 nanti apa yang kita inginkan itu dapat tercapai. Tak perlu memaksa diri dengan kepemilikan senjata kimia meski kita sanggup memproduksinya. Dengan alutsista konvensional dan pemenuhan untuk segala matra dicukupi, maka negara ini akan disegani sebagai negara yang gentleman'," ucap Jagarin. (Feby Syarifah), Sumber Koran: Pikiran Rakyat (10 Oktober 2013/Kamis, Hal. 20)

She's Like The Wind - Patrick Swayze

DIJAJAH KARTEL PANGAN :Indonesia Didesain Jadi Negara Importir

Rabu, 2 Oktober 2013 JAKARTA (Suara Karya): Ada kekuatan-kekuatan tertentu yang sengaja mendesain Indonesia agar menjadi negara importir bahan pangan terbesar di dunia. Kondisi ini diperparah dengan tidak adanya keberpihakan pemerintah pada pengembangan pertanian. Selama pemerintah pusat masih menggunakan penyelesaian masalah pertanian dengan cara-cara politis, selama itu pula masalah pertanian tidak akan selesai. Penegasan ini disampaikan pengamat pertanian Is-kandar Andi Nuhung, Direktur CIDES Muh Rudi Wahyono dan Direktur Habibie Center Heru Adi Kuncoro pada diskusi di Jakarta, Selasa (1/10). Menurut Andi Nuhung, ketahanan pangan harus setara dengan ketahanan negara. Seperti masalah ekonomi, keuangan, dan pertahanan, yang harus dikuasai dan dikendalikan pemerintah pusat, bukan diserahkan kepada pemerintah daerah. "Banyak daerah yang menganggap bahwa penyediaan pangan tidak memiliki kontribusi pada jabatan seorang gubernur atau bupati yang hanya lima tahun. Akibatnya, daerah tidak peduli dengan masalah ini," tuturnya. Para gubernur atau bupati, lanjutnya, akan berpikir ulang jika harus bersentuhan dengan masalah penyediaan pangan. Mereka lebih mengutamakan apakah jabatannya pada periode kedua bisa dipegang lagi atau tidak. "Permasalahan ini yang membuat makin parahnya masalah ketersediaan pangan. Makanya, perlu ditarik ke pemerintah pusat. Namun, kondisi ini akan sama saja jika pemerintah pusat tidak memiliki keberpihakan pada pertanian itu sendiri," ungkap dia. Rudi Wahyono menambahkan, karena tidak adanya keberpihakan pemerintah pusat pada pertanian, petani semakin miskin akibat dari tingginya biaya produksi. "Yang lebih parah lagi, Kementan kalah lobi dengan para kartel. Akibatnya pemerintah tidak bisa mengembangkan pertanian yang menjadi tanggung jawabnya. Kementan malah dipermainkan importir dan menjadi negara importir, bukan negara produsen," ungkap dia. Seharusnya, pemerintah mendukung pertanian. "Padahal, pemerintah AS saja memberikan dukungan penuh bagi pertanian mereka. Bahkan AS juga memberikan subsidi kepada pengembangan pertanian," kata Rudi Wahyono. Sementara, Heru Adi Kuncoro menegaskan, kita terlalu terlena dengan berbagai pujian negara asing. Kita tidak sadar kalau mereka memasukkan ide dan doktrin yang tidak sesuai dengan rencana pembangunan pangan bangsa. "Kenyataannya, mereka menjadikan kita sebagai pasar produk pertanian mereka. Bahkan, mereka mematikan pertanian kita dan menjadikan kita sebagai negara importir yang menguntungkan mereka," katanya. Menurutnya, intervensi dari negara asing terhadap kebijakan pertanian kita bisa diatasi selama ada kepastian dari pemerintah. Jika itu ada, tambahnya, skenario membentuk Indonesia menjadi negara importir terbesar di dunia akan bisa diatasi. (Joko Sriyono)

Selasa, 08 Oktober 2013

Ketahanan Pangan Indonesia Berada di Zona Merah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah dipandang tidak berdaya menghadapi kartel pangan. Parahnya lagi, tidak ada peraturan yang bisa menindak tegas pelaku kartel walaupun keberadaannya sudah berkali-kali dibuktikan. Padahal kartel harus ditindak secara hukum, sedangkan perangkatnya tidak ada. "Di Indonesia tidak ada undang-undang anti trust. Jadi kartel secara hukum tidak bisa dipindanakan," ujar peneliti CIDES Indonesia, Rudi Wahyono pada Program Bincang Agribisnis di Jakarta, Selasa (1/10). Pemerintah selama ini hanya fokus mencari cara memenuhi konsumsi. Alhasil, cara-cara yang digunakan pun cenderung konsumtif, yaitu melalui jalan impor. Sejauh ini, belum ada hasil yang signifikan dalam hal produksi pangan di negara ini. Mirisnya lagi, cara yang ditempuh guna memenuhi kebutuhan pangan tak lantas membuat negara ini bebas resiko kelaparan serius. Berdasarkan data Global Food Security Index 2012, yang dirilis Economic Intelligent Unit, indeks keamanan pangan Indonesia berada di bawah 50 (0-100). Posisi Indonesia jauh lebih buruk dari negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, Vietnam dan Filipina. Tiga faktor yang disoroti dalam penelitian ini yaitu angka kekurangan gizi, berat badan anak dan tingkat kematian anak di suatu negara. Indikasi keberadaan masyarakat kurang gizi menurut Rudy menandakan ketahanan pangan Indonesia memasuki zona merah. Hal ini dipandang sebagai akibat pemerintah yang melalaikan kemandirian pangan ketika sibuk memikirkan pemenuhan kebutuhan. Padahal kebijakan yang ideal haruslah berpihak pada kemandirian domestik. Pemerintah perlu berbenah dan melakukan strategi jitu agar kondisi ini tak semakin buruk lagi. Pertama, bisa dengan mengedepankan kebijakan yang memberi prioritas pada petani kecil. Caranya melalui inovasi teknologi dan pengembangan institusi. Dengan demikian, petani bisa ikut berkembang seiring dengan modernisasi. Lalu, perlu ada lembaga negara yang difungsikan untuk menjaga ketahanan pangan dan harga. Terakhir, dengan menggalakkan perlindungan sosial dan aksi nutrisi. Yaitu, dengan menghitung cerman kecukupan iodium, vitamin dan mineral yang perlu dikonsumsi masyarakat.

Pemerintah 'di-Pecundangi' Importir Pangan

Sindonews.com - Pemerintah Indonesia tak kuasa melawan kekuatan para importir yang selama ini menguasai perdagangan pangan dunia. Akibatnya, bahan pangan sangat mudah masuk ke Indonesia. Penegasan ini disampaikan pengamat pertanian Iskandar Andi Nuhung, Direktur Center for Information and Development Studies (Cides) Muh Rudi Wahyono dan Direktur Habibie Centre Heru Adi Kuncoro pada diskusi Masa Depan Kualitas SDM Indonesia Disandera Kartel Pangan di The Habibie Centre Jakarta, Selasa (1/10/2013). Mereka berusaha menjadikan Indonesia sebagai negara importir bahan pangan terbesar di dunia. “Ini bisa dimaklumi mengingat Indonesia merupakan pasar yang menggiurkan bagi para importir pangan,” kata Iskandar. Kondisi ini, kata Andi, sangat berbahaya. Karena dengan demikian Indonesia tidak bisa berdaulat secara pangan. “Kalau pangan kita sudah tidak berdaulat, maka ketahanan pangan kita akan terancam,” kata dia. Menurut Andi, kedaulatan pangan harus tetap dijaga. Sebab apabila terancam akan membahayakan kedaulatan negara. “Sejarah telah mengajarkan kita bahwa apabila pangan kita terancam berkorelasi erat dengan kedaulatan negara,” katanya. Ironisnya, Andi menambahkan, selama ini pendekatan yang dilakukan pemerintah dalam menyelesaikan persoalan pangan dilakukan secara parsial. Salah satunya melalui kebijakan impor. Solusi yang paling tepat untuk mengatasi persoalan pangan, kata dia, adalah dengan memperkuat pembangunan di sektor pertanian. Salah satunya adalah dengan menambah alokasi anggaran untuk sektor pertanian. Selain itu, untuk semua urusan yang terkait dengan persoalan pangan harus ditarik kembali ke pemerintah pusat. Sebab, sejak diberlakukannya otonomi daerah pada 1999, urusan pangan juga ditangani pemerintah daerah. “Ironisnya banyak kepala daerah yang tidak konsen terhadap pangan,” kata Andi Nuhung juga mantan Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (P2HP) Kementerian Pertanian ini. Direktur Cides Rudi Wahyono menambahkan, banyak kepala daerah tidak berpihak kepada pertanian. Mereka lebih tertarik mengurusi non pertanian yang dinilai cepat mengembalikan dana politik yang dikeluarkan selama masa kampanye. “Yang lebih parah lagi, Kementan kalah lobi dengan para importir. Akibatnya pemerintah tidak bisa mengembangkan pertanian yang menjadi tanggung jawabnya. Kementan malah dipermainkan importir sehingga menjadi negara importir, bukan negara produsen," katanya. Seharusnya, Pemerintah Indonesia lebih mendukung pertanian. "Padahal, pemerintah AS saja memberikan dukungan penuh bagi pertanian mereka. Bahkan AS juga memberikan subsidi kepada pengembangan pertaniannya," tambahnya. Direktur Habibie Centre Heru Adi Kuncoro menegaskan, bangsa Indonesia terlena dengan berbagai pujian negara asing. “Kita tidak sadar kalau mereka memasukkan ide dan doktrin yang tidak sesuai dengan rencana pembangunan pangan bangsa,” katanya. "Kenyataannya, mereka menjadikan kita sebagai pasar produk pertanian mereka. Bahkan, mereka mematikan pertanian kita dan menjadikan kita sebagai negara importir yang menguntungkan mereka," tutupnya.