Blog ini berisi artikel,wawancara, laporan perjalanan dan aneka pengalaman di berbagai bidang dan wilayah!
Kamis, 10 Oktober 2013
Menakar Kekuatan (Senjata) Kimia Indonesia
"Perkembangan penelitian kimia di Indonesia, khususnya di perguruan tinggi ada yang diarahkan pada senyawa-senyawa yang berguna untuk kesehatan, penyakit tropis, gizi dan obat-obatan, ketahanan dan keamanan pangan, energi baru dan terbarukan, keragaman hayati, teknologi pertahanan, serta teknologi informasi dan komunikasi," demikian pernyataan M.Rudi Wahyono sewaktu diwawancara oleh harian PR Bandung.
Terkait pemakaian zat kimia sebagai senjata, dikatakan oleh peneliti Cides itu, bahwa senjata kimia adalah senjata yang memanfaatkan sifat racun senyawa kimia untuk membunuh, melukai, atau melumpuhkan musuh. Penggunaan senjata kimia berbeda dengan senjata konvensional dan senjata nuklir karena efek merusak senjata kimia terutama bukan disebabkan daya ledaknya. Contoh yang sangat mudah penggunaan agen kimia dalam perang adalah penggunaan Herbisida (pembasmi gulma) pada perang di Vietnam yang dikenal sebagai 'agent orange'. Senjata kimia ini telah membunuh ribuan manusia, ternak dan bahkan tumbuhan di Asia Tenggara waktu itu. Selain itu,penggunaan organisme hidup (seperti antraks) juga bukan dianggap senjata kimia, melainkan senjata biologis. Bila ditambah nuklir maka terjadi gabungan senjata Nubika-Nuklir-Biologi dan Kimia yang sangat berbahaya dan ditakuti.
Menurut Konvensi Senjata Kimia (Chemical Weapons Convention), yang dianggap sebagai senjata kimia adalah penggunaan produk toksik yang dihasilkan oleh organisme hidup (misalnya botulinum, risin, atau saksitoksin). Menurut konvensi ini pula, segala zat kimia beracun, tanpa memedulikan asalnya, dianggap sebagai senjata kimia, kecuali jika digunakan untuk tujuan yang tidak dilarang (suatu definisi hukum yang penting, yang dikenal sebagai Kriteria Penggunaan Umum, General Purpose Criteron).
Peneliti dan pengamat dari CIDES M Rudi Wahyono juga menegaskan, Indonesia bukanlah negara senjata kimia, tidak memiliki dan tidak ingin mengembangkan senjata kimia. Oleh karena itu, titik berat implementasi Konvensi Senjata Kimia (KSK) dapat dipastikan terfokuskan
"Dalam kaitannya dengan KSK, industri kimia Indonesia tidak atau belum memproduksi bahan-bahan kimia yang termasuk dalam schedule 1, 2, dan 3. Namun, dari hasil pendataan tahun 1998, sejumlah bahan kimia schedule 3 diimpor sebagai bahan baku yang dikonsumsi oleh beberapa industri kimia dan farmasi. Demikian halnya satu bahan kimia schedule 2 diimpor dan digunakan oleh industri farmasi," ujarnya.
Untuk membantu pemerintah dalam memenuhi kepatuhannya terhadap ketentuan konvensi, diperlukan suatu badan otoritas nasional. Badan ini secara aktif dan terus-menerus menjadi titik penghubung baik dengan The Organization for the Prohibition of Chemical Weapon (OPCW) maupun dengan berbagai fasilitas terkait yang ada di Indonesia, serta mengadakan hubungan kerja dengan negara-negara pihak lainnya.
Perlu digaris bawahi, negara-negara yang menandatangani konvensi anti senjata kimia akan melarang pengembangannya. Namun konvensi ini tidak berlaku bagi perusahaan swasta. "Oleh karena itu, pemerintah diharapkan memonitor secara ketat impor, konsumsi, dan produksi bahan-bahan kimia terkait dengan konvensi, agar tidak disalahgunakan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk memproduksi senjata kimia yang selanjutnya dapat saja digunakan untuk meneror atau memerangi masyarakat awam yang tidak bersalah," tutur Rudi lagi.
Kuatkah pertahanan Indonesia tanpa nuklir atau senjata kimia?
Pemerhati pertahanan dan alutsista TNI, Jagarin Pane mengatakan, sebagai bagian dari upaya pertahanan NKRI, maka fokus utamanya adalah memenuhi kebutuhan alutsista konvensional tanpa harus memaksa diri untuk memiliki senjata kimia atau senjata nuklir.
"Sejatinya negara gentleman adalah negara yang mampu menata pertahanan diri dengan persenjataan konvensional semata tanpa harus memenuhi nafsu bunuh maksimalnya dalam menangani perselisihan antarnegara dengan menggunakan senjata kimia apalagi nuklir," ucapnya tegas.
Jagarin menambahkan, yang perlu dicatat dalam proses kematian dengan senjata konvensional adalah langsung mati atau luka tembak karena daya ledak, selesai. Tak seperti senjata kimia yang proses kematiannya bukan karena daya ledaknya, tetapi proses "sengatannya" ke tubuh manusia yang sangat dramatis.
"Ada yang mati pelan-pelan, cacat seumur hidup, dan dampaknya sampai ke generasi berikutnya. Makanya, negara yang menggunakan senjata kimia bisa disebut sebagai negara pengecut, tak berperikemanusiaan dan tak bermoral," ucap Jagarin lagi.
Terkait dengan ketersediaan alutsista Indonesia yang saat ini sedang giat-giatnya memodernisasi tentaranya, ia menyatakan bahwa semua matra, baik Angkatan Darat, Angkatan Laut maupun Angkatan Udara perlu diperkuat. Indonesia sudah punya satu skuadron Sukhoi di Makassar. Dalam Minimum Essential Force (MEF) tahap 2 nanti masih sangat dibutuhkan minimal penambahan satu skuadron lagi yang penempatannya berdekatan dengan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I untuk menjaga ibukota.
Angkatan Laut menurut Jagarin juga masih perlu penguatan dengan kehadiran fregat, korvet, dan destroyer. Termasuk kapal selam tentunya sebagai senjata strategis pemukul yang paling disegani. Matra darat masih sangat membutuhkan alutsista kavaleri seperti tank, panser, juga rudal darat ke darat, roket dan artileri.
"Kita yakin tahun 2019 nanti apa yang kita inginkan itu dapat tercapai. Tak perlu memaksa diri dengan kepemilikan senjata kimia meski kita sanggup memproduksinya. Dengan alutsista konvensional dan pemenuhan untuk segala matra dicukupi, maka negara ini akan disegani sebagai negara yang gentleman'," ucap Jagarin. (Feby Syarifah), Sumber Koran: Pikiran Rakyat (10 Oktober 2013/Kamis, Hal. 20)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar