Senin, 14 Oktober 2013

Senjata Kimia: Mudahnya Memproduksi Pembunuh Massal

Beberapa waktu terakhir layar televisi kita banyak menayangkan berita mengenai perang saudara di salah satu negara Islam di Timur Tengah, Suriah. Yang lebih meresahkan, mereka disebut-sebut menggunakan senjata kimia yang mampu membunuh banyak orang hanya dalam waktu singkat. Karena hal itulah, Amerika Serikat dan sekutunya mendesak Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mengintervensi konflik tersebut dan menginvestigasi kebenaran adanya senjata kimia. Menurut peneliti Center for Information and Development Studies, M Rudi Wahyono, kecaman atas penggunaan senjata kimia sebenarnya sudah mencuat sejak abad ke-17. Deklarasi Brussel, yang isinya melarang penggunaan peluru beracun disepakati pada tahun 1874. Selanjutnya pada 17 Juni 1925, ditanda tangani Protokol Jenewa yang melarang penggunaan bahan kimia beracun bagi organ pernapasan. Sayangnya dalam protokol ini tidak tercakup pelarangan pengembangan, produksi, dan penyimpanan senjata kimia. "Langkah konkret baru terlihat hampir tiga perempat abad kemudian, yaitu dengan disepakatinya Perumusan Konvensi Pelarangan Pengembangan, Produksi, Penimbunan, Penggunaan, dan Pemusnahan Senjata Kimia atau disebut sebagai Konvensi Senjata Kimia (KSK). Konvensi itu disepakati pada 3 September 1992 dalam suatu forum Konferensi Pelucutan Senjata PBB di Jenewa," ujarnya minggu lalu. Momentum tersebut, menurut Rudi, di samping secara yuridis menandai dimulainya pelarangan secara total penggunaan salah satu jenis senjata pemusnah massal, juga merupakan tonggak bersejarah dalam bidang pelucutan senjata. Pada tanggal 29 April 2002, Organisasi Pelarangan Senjata Kimia atau The Organization for the Prohibition of Chemical Weapons (OPCW) telah berhasil menghancurkan jutaan senjata kimia serta ribuan ton bahan kimia beracun dan mematikan, baik yang digunakan dalam peperangan ataupun untuk tujuan terorisme. Dalam seribu hari pertamanya sejak KSK diberlakukan, yakni tanggal 28 April 1997, lebih dari 600 inspeksi di 35 negara pihak telah dilaksanakan oleh 203 inspektur OPCW. Senjata kimia Menurut Rudi, bahan kimia bisa digunakan sebagai senjata, bila hasil olah bahan kimia, baik itu berwujud senyawa kimia cair, gas, maupun padat bertujuan dan mengakibatkan musuh menjadi korban kontaminasi baik langsung ataupun tidak langsung. Sementara itu, menurut Pemerhati Pertahanan dan Alutsista TNI, Jagarin Pane, zat kimia bisa disebut sebagai senjata kimia diawali dengan nawaitunya alias niatnya. Sama dengan narkoba, kalau untuk keperluan dunia kedokteran dalam dosis yang terukur untuk pengobatan dan penyembuhan, ya tidak ada masalah. "Akan tetapi, jika sudah disalahgunakan, akan menyentuh wilayah hukum, makanya disebut penyalahgunaan narkoba. Contohnya, air aki atau asam sulfat atau H2SO4 jelas salah satu penggunaannya untuk battery power penggerak, tapi jika disiramkan ke wajah menjadi salah besar karena tidak sesuai peruntukannya," tuturnya. Dalam sejarahnya, menurut Jagarin, Perang Dunia I menjadi saksi sejarah perang modern betapa kejamnya penggunaan senjata kimia. Jerman menggunakan gas klorin di Belgia yang menewaskan 15.000 tentara lawan kemudian pihak Inggris dan sekutunya melakukan pembalasan de - ngan menggunakan gas sulfur mustard. Inilah cikal bakal lahirnya Protokol Jenewa tahun 1925. "Perang Vietnam tahun 1961 sampai dengan 1975 merupakan salah satu perang tanpa etika karena penggunaan senjata kimia. AS membombardir Vietnam dengan menggunakan senjata kimia, salah satunya dikenal dengan nama Agent Orange. Setidaknya 20 juta galon senjata kimia, termasuk agent orange, disebar dari udara di bumi Vietnam. Versi Pemerintah Vietnam menyebutkan, 400.000 orang Vietnam tewas atau cacat berat, 500.000 bayi lahir cacat, dan 2 juta warga Vietnam terkena kanker dan penyakit lain sebagai dampak lanjutan penggunaan senjata kimia itu," kata Jagarin menjelaskan. Regulasi universal tentang kepemilikan senjata kimia sama ketatnya dengan kepemilikan senjata nuklir. Protokol Jenewa tahun 1925 jelas menyatakan melarang penggunaan senjata kimia. "Hanya karena proses membuat senjata kimia itu lebih mudah dibandingkan dengan senjata nuklir, kontrol untuk kepemilikan senjata kimia lebih sulit terdeteksi. Semua negara di dunia ini punya potensi untuk membuat senjata kimia yang dikenal dengan senjata pemusnah massal," tutur Jagarin lagi. Setiap negara memang bebas membuat dan mengembangkan industri kimianya. Bebas tapi juga mestinya bertanggung jawab. "Kita punya industri kimia berskala besar, Petrokimia Gresik, Pupuk Iskandar Muda, Pupuk Sriwijaya, Pupuk Kujang, dan sebagainya. Itu semua kan industri kimia untuk keperluan perdagangan dan pertanian. Nah, untuk memastikan bahwa industri kimia itu adalah untuk tujuan damai dan tidak disalahgunakan, harus ada regulasi yang mengatur berupa Undang-Undang," ucap Jagarin menegaskan. Sebagaimana dicantumkan dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 1998, antara lain menyatakan bahwa Indonesia tidak memiliki dan tidak ingin mengembangkan senjata kimia. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia, khususnya Departemen Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia sebagai institusi yang bertanggung jawab dalam sistem persenjataan tidak merencanakan mengembangkan dan memanfaatkan sistem senjata kimia tersebut untuk peperangan. (Feby Syarifah)***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar