Blog ini berisi artikel,wawancara, laporan perjalanan dan aneka pengalaman di berbagai bidang dan wilayah!
Sabtu, 03 Mei 2014
Pelajaran dari Bencana...
Secanggih apapun sistem pemantauan bencana sistem pemantauan bencana melalui satelit dengan gambar cantik yang dihasilkannya misi utamanya adalah untuk mendukung kemampuan pemantauan lingkungan. Sayangnya, sampai saat inipun Indonesia belum memiliki sendiri kemampuan memadai dalam mengatasi masalah lingkungan atau bencana oleh berbagai sebab seperti kebakaran hutan, gempa, tsunami, gunung meletus atau banjir.
Bencana alam sebenarnya konsekuensi dari kombinasi aktivitas alami (suatu peristiwa fisik, seperti letusan gunung, gempa bumi, tanah longsor) dan aktivitas manusia. Karena ketidakberdayaan manusia, akibat kurang baiknya manajemen keadaan darurat, sehingga menyebabkan kerugian dalam bidang keuangan dan struktural, dan kematian. Kerugian yang dihasilkan tergantung pada kemampuan untuk mencegah atau menghindari bencana dan daya tahan mereka. "Bencana muncul bila ancaman bahaya bertemu dengan ketidakberdayaan". Aktivitas alam yang berbahaya tidak akan menjadi bencana alam di daerah tanpa ketidakberdayaan manusia, misalnya gempa bumi di wilayah tak berpenghuni. Konsekuensinya, pemakaian istilah "alam" juga ditentang karena peristiwa tersebut bukan hanya bahaya atau malapetaka tanpa keterlibatan manusia. Besarnya potensi kerugian juga tergantung pada bentuk bahayanya sendiri, mulai dari kebakaran, yang mengancam bangunan individual, sampai peristiwa tubrukan meteor besar yang berpotensi mengakhiri peradaban umat manusia.
Daerah dengan tingkat bahaya tinggi (hazard) serta memiliki kerentanan/kerawanan (vulnerability) yang juga tinggi tidak akan memberi dampak hebat jika manusia yang berada disana memiliki ketahanan terhadap bencana (disaster resilience). Konsep ketahanan bencana merupakan valuasi kemampuan sistem dan infrastruktur-infrastruktur untuk mendeteksi, mencegah & menangani tantangan serius yang mungkin timbul. Meskipun daerah tersebut rawan bencana dengan jumlah penduduk besar jika diimbangi dengan ketetahanan terhadap bencana yang cukup.
Selama kurun 22 tahun, berbagai bencana alam di Indonesia telah menimbulkan kerugian ekonomi sedikitnya US$23 miliar. Data tersebut bersumber pada laporan The Asia Pacific Disaster Report 2010 yang disusun oleh Komisi Ekonomi dan Sosial PBB untuk kawasan Asia dan Pasifik (ESCAP) dan Badan PBB Urusan Strategi Internasional untuk Penanggulangan Bencana (UNISDR). ESCAP, merinci daftar negara di Asia Pasifik yang mengalami bencana alam selama periode 1980-2012. Bencana alam itu baik berupa, banjir, kekeringan, letusan gunung berapi, tanah longsor, dan lain-lain. Indonesia menempati posisi keempat dalam jumlah kasus bencana alam di Asia-Pasifik. Selama 1980-2009, negeri ini mengalami 312 kasus. Peringkat pertama dihuni China (574 kasus), kemudian disusul India (416), Filipina (349), dan Indonesia. Namun, berdasarkan peringkat jumlah korban tewas terbanyak, Indonesia menempati posisi kedua, di bawah Bangladesh. PBB mendata sedikitnya terdapat 191.164 jiwa yang tewas akibat bencana alam di Indonesia selama 1980-2009. Di Bangladesh, bencana alam dalam 20 tahun merenggut nyawa 191.650 jiwa.
Untuk kerugian ekonomi akibat bencana alam, Indonesia berada di peringkat ke delapan. Selama 1980-2009, negeri ini menderita kerusakan ekonomi senilai US$22,5 miliar. Penentuan nominal kerugian itu beradasarkan pada riset harga PBB tahun 2005. Peringkat pertama diduduki China, yaitu senilai US$322 miliar. Sedangkan pada katagori jumlah korban selamat yang menderita kerugian akibat bencana, Indonesia berada di posisi kesembilan. Selama 1980-2009, sedikitnya terdapat 18 juta warga di Indonesia yang menanggung derita akibat bencana kendati mereka selamat. Peringkat pertama ditempati China. Jangan sampai kita terkapar,orang lain yang belajar.
Indonesia adalah salah satu negara paling rawan bencana di dunia. negara ini menghadapi berbagai bahaya seperti gempa bumi , tsunami, letusan gunung berapi , banjir , longsor , kekeringan, dan kebakaran hutan. Data dari PBB Strategi Internasional untuk Pengurangan Bencana ( UN - ISDR ) menyebutkan bahwa dalam hal paparan manusia, atau jumlah orang yang hadir di zona bahaya yang mungkin kehilangan nyawa mereka karena peristiwa bahaya , Indonesia peringkat 1 dari 265 negara peringkat untuk bahaya tsunami , dengan 5.402.239 orang yang terkena; peringkat 1 dari 162 negara untuk longsor , dengan 197.372 orang yang terkena , peringkat ke-3 keluar dari 153 negara untuk gempa , dengan 11.056.806 orang terkena ; peringkat 6 keluar dari 162 negara untuk banjir , dengan 1.101.507 orang yang terkena , dan peringkat ke-36 dari 184 negara untuk kekeringan, dengan 2.029.350 orang terexposed.
Dalam hal paparan ekonomi , yang dihitung berdasarkan jumlah Produk Domestik Bruto (PDB ) hadir di zona bahaya yang tunduk pada potensi kerugian , untuk bahaya tsunami , Indonesia menempati urutan ke-5 dari 265 negara peringkat , dengan US $ 3,46 miliar dari PDB berpotensi hilang karena tsunami – terkait bencana , karena bahaya gempa bumi , ia menempati urutan 11 dari 153 negara , dengan US $ 79,13 miliar dari PDB berpotensi hilang , karena bahaya longsor , ia menempati urutan ke-11 dari 162 negara , dengan US $ 0,84 miliar dari PDB potensial hilang , dan untuk bahaya banjir, ia menempati urutan ke-20 dari 162 negara , dengan US $ 1,05 miliar dari PDB berpotensi hilang. Dapat dikatakan bahwa baik dari segi eksposur manusia (mortalitas) dan risiko kerugian ekonomi, Indonesia peringkat di antara negara-negara yang memiliki risiko tinggi.
Dengan kondisi seperti itu sudah sepatutnya kita memasukkan pendidikan 'tanggap bencana' sejak dini jangan sampai kita terkapar, namun orang lain yang belajar menolong kita. Jangan sampai kelalaian itu mengubah potensi kita dari ‘wisata alami-ecoturism’ menjadi ‘wisata bencana-eco-tragedy’ akibat kehancuran asset pembangunan kita karena mis-management atau bencana alam.
Satelit Bencana di Langit Kita
Bencana demi bencana sepertinya tak kunjung berakhir melanda tanah air kita. Mulai dari gempa, banjir, longsor, kebakaran hutan dan gunung meletus. Aneka bencana itu ternyata memicu perhatian internasional untuk mengarahkan ‘mata langitnya’ di bumi Indonesia. Saat ini kita kembali menjadi obyek penelitian sangat menarik bagi berbagai satelit observasi setelah Bencana Kebakaran hutan dahsyat pada 1997 untuk menguji keakuratan dan kecepatan pencitraan satelit bencana tsb. Sebagian provider satelit mengkategorikan bencana itu sebagai ‘picture of the month’ dan mungkin segera menjadi ‘deadly beautiful picture’ -gambar cantik yang mematikan’.
Sementara otoritas pemerintah Indonesia tengah sibuk memperbaiki peralatan monitor lingkungan yang rusak, menyusul laporan adanya kegagalan alat pemantau bencana. Serta merta, beberapa lembaga internasional seperti ESA dan NASA telah merilis data pengamatan mereka pada bencana di Indonesia. Kelemahan pengamatan serta jangkauan alat pengukur atau monitor di Bumi, menjadi alasan utama mengapa berbagai negara mengembangkan satelit untuk memantau aneka bencana di permukaan bumi.
Sadar makin banyaknya bencana dan perubahan lingkungan di permukaan bumi yang sulit terpantau dengan peralatan biasa maka NASA dan ESA serta JAXA berlomba meluncurkan satelit pemantau kualitas lingkungan. Saat ini tak kurang 8000 satelit mengorbit bumi, sekitar 3000 buah diantaranya masih aktif, seperti satelit cuaca, satelit komunikasi, satelit navigasi, satelit observasi, teleskop antariksa dll.
Satelit observasi bumi, dikalangan peneliti dikenal sebagai Earth Observation Satellite (EOS). Dilingkungan militer dan NSA-National Security Agency satelit ini dikenal sebagai ’spy satellite’ -satelit mata-mata, karena bisa digunakan untuk memantau objek di permukaan bumi secara akurat.Teknologi penginderaan jauh menjadi tumpuan utama banyak negara ditengah kendala pengamatan langsung di lapangan seperti badai siklon tropis, kebakaran hutan atau letusan gunung api. Selain didukung peralatan pemantauan di permukaan bumi.
Sentinel-1
Setelah masa aktif Envisat satelit milik ESA-European Space Agency dengan misi observasi atmosfer, kelautan, daratan dan lapisan es berakhir pada April 2012. Esa sudah mempersipakan satlit lingkungan generasi selanjutnya yaitu Sentinel-1 dan Sentinel 2. Data satelit lingkungan tsb dipakai untuk mendukung riset kebumian dan berperan dalam monitoring perubahan lingkungan dan iklim global. Seperti seniornya Envisat, Sentinel-1 memiliki 2 elemen dasar yaitu: pertama, platform polar multimisi untuk misi observasi bumi masa depan. Kedua, pengembangan instrumen misi terintegrasi untuk keperluan aplikasi ilmiah, riset, dan operasional meteorologi. Envisat mengorbit pada sun-synchronous polar orbit dengan ketinggian 800 km dari muka air laut. Kemampuan merekam obyek yang sama dilakukan setiap 35 hari, dan sebagian besar sensor memiliki cakupan area (swath) yang lebar sehingga mampu meliput seluruh permukaan bumi dalam 1 hingga 3 hari. ESA sedang mengembangkan lima misi baru yang disebut Sentinel khusus untuk kebutuhan operasional program Copernicus. Misi ini membawa berbagai teknologi , seperti radar dan instrumen pencitraan multi- spektral tanah , laut dan pemantauan atmosfer : Sentinel - 1 adalah satelit polar orbit, mampu bekerja di semua cuaca, siang- malam misi melayani pencitraan radar untuk tanah dan laut.
Aura
Satelit Aura (EOS CH-1) adalah satelit NASA milik multi-nasional untuk penelitian ilmiah di orbit sekitar Bumi, mempelajari lapisan ozon Bumi, kualitas udara dan iklim. Satelit ini adalah bagian ketiga dari Earth Observing System (EOS) berikut pada Terra (diluncurkan 1999) dan Aqua (diluncurkan 2002). Nama "Aura" berasal dari kata Latin untuk udara. Satelit ini diluncurkan dari Vandenberg Air Force Base di 15 Juli 2004 melalui roket Delta II 7920-10L. Satelit Aura memiliki bobot sekitar 1.765 kg. Dengan panjang 6,9 m dengan didukung tenaga panel surya tunggal sepanjang 15 m. Dalam kasus letusan Kelud satelit ini berhasil mencitrakan penyebaran debu SO2 di seluruh pulau Jawa dan samudera Hindia.
CALIPSO
Calipso adalah satelit lingkungan produksi NASA bersama (USA) dan CNES (Prancis) satelit lingkungan, dibangun di Cannes Mandelieu Space Center, yang diluncurkan di atas sebuah roket Delta II pada tanggal 28 April 2006. Namanya adalah singkatan dari Cloud-Aerosol Lidar dan Infrared Pathfinder Satellite Observation. Instrumen penginderaan jauh pasif dan aktif di papan Calipso satelit memantau aerosol dan awan 24 jam sehari. Calipso merupakan bagian dari formasi serangkaian beberapa satelit lain (Aqua, Aura dan CloudSat).
Parasol
Satelit Parasol (Polarization & Anisotropy of Reflectances for Atmospheric Sciences coupled with Observations from a Lidar) (Polarisasi & Anisotropy of Reflectances) Ilmu Atmosfer ditambah dengan Pengamatan tekonologi LIDAR adalah satelit pengamat bumi yang dibangun di Perancis. Satelit Ini membawa alat yang disebut ‘Polder’ yang mempelajari radiasi dan microphysical sifat awan dan aerosol. Parasol diluncurkan dari pelabuhan antariksa Perancis di Kourou, Guyana Prancis pada tanggal 18 Desember tahun 2004 oleh roket Ariane 5 G+. Satelit ini terbang bersama beberapa satelit lain (Aqua, Calipso, CloudSat dan Aura). Satelit ini memiliki fungsi gabungan rangkaian instrumen lengkap untuk mengamati awan dan aerosol, dari radiometers pasif menjadi aktif LIDAR dan radar sounders.
TerraSAR-X
TerraSAR-X merupakan satelit pertama German yang dibuat kerjasma antara badan antariksa German, German Aerospace Center (Deutsches Zentrum für Luft- und Raumfahrt; DLR) dan Astrium GmbH in Friedrichshafen. Satelit Terra merupakan satelit polar orbit dan aktif mengirimkan sinyal data X band ke stasiun buminya. Terra SAR mampu bekerja dalam segala cuaca dan memiliki resolusi hingga satu meter. Pihak DLR bertanggung jawab pada pengoperasian satelit untuk kepentingan saintifik, sekaligus bertugas merencanakan, melaksanakan serta mengendalikan misi satelit tsb. Komersialisasi satelit ini dikendalikan oleh Infoterra GmbH. Pada peristiwa letusan Kelud 14022014 satelit ini langsung memberikan laporan berupa gambar kubah lava beberapa hari setelah letusan.
COSMO-Skymed (Italia)
COSMO-SkyMed-(Constellation of small Satellites for the Mediterranean basin Observation adalah satelit observasi bumi yang dimiliki oleh Kementrian Pertahanan dan Riset Italia yang dioperasikan oleh lembaga antariksanya (ASI) untuk keperluan militer dan sipil. Satelit ini terdiri atas empat buah satelit ukuran medium yang dilengkapi dengan sensor SAR-synthetic aperture radar (SAR). Satelit ini mengorbit daerah target dalam segala cuaca beberapa kali dalam sehari. Citra yang ditampilkan satelit ini digunakan untuk kepentingan keamanan dan pertahanan Italia, atau membantu negara lain diantaranya untuk analis bahaya kegempaan, memantau kerusakan lingkungan dan pemetaan pertanian.
RadarSat
Radarsat, satelit milik pemerintah Kanada dan dioperasikan oleh Badan Ruang Angkasa Kanada (CSA). Satelit ini diluncurkan pada tanggal 4 Nopember 2005. Radarsat beroperasi pada ketinggian sekitar 800 km, dengan menggunakan saluran/band tunggal pada frekuensi 5.3 GHz. atau pada panjang gelombang 5.6 Cm. saluran / band ini sering dikenal dengan Band-C dengan Polarisasi HH (Horisontal-Horisontal). Kelebihan sensor aktif pada Radarsat adalah mampu mengarahkan sudut masuk (Insidence Angle) bervariasi, sehingga memungkinkan untuk mendapatkan beberapa kualitas jenis citra, terutama dari segi resolusi spasialnya. Radarsat dapat beroperasi setiap saat, baik siang maupun malam.
MODIS
MODIS -Moderate resolution Imaging Spectroradiometer-, adalah satelit untuk monitoring lingkungan global, seperti monitoring potensi dan dampak bencana alam, dan pengamatan cuaca di wilayah perairan. MODIS adalah salah satu instrument utama yang dibawa Earth Observing System (EOS) Terra satellite, yang merupakan bagian dari program antariksa Amerika Serikat, National Aeronautics and Space Administration (NASA). Program EOS merupakan program jangka panjang untuk mengamati, meneliti dan menganalisa lahan, lautan, atmosfir bumi dan interaksi diantara faktor-faktor ini. MODIS mengorbit bumi secara polar (arah utara-selatan) pada ketinggian 705 km dan melewati garis khatulistiwa pada jam 10:30 waktu lokal. Lebar cakupan lahan pada permukaan bumi setiap putarannya sekitar 2330 km. MODIS dapat mengamati tempat yang sama di permukaan bumi setiap hari, untuk kawasan di atas lintang 30, dan setiap 2 hari, untuk kawasan di bawah lintang 30, termasuk Indonesia.
Kamis, 01 Mei 2014
Polusi dari Letusan Gunung Api..
Dari sisi geografis teritorial Indonesia terhampar pada ’ring of disaster’, berupa pertemuan dua lempeng benua Euroasia dan lempeng Indo-Australia, serta sabuk gunung api ‘Circum Pacific’ dan ‘Circum Mediterrania’ yang potensial menjadi sumber bencana tektonik dan vulkanik serta tsunami. Pendek kata, apabila kita tidak siaga bencana serta mengelola dan mempersiapkan pengelolaan sumber daya maka semua potensi alam diatas bisa berubah dari ‘eco-tourism’ manjadi ‘eco-tragedy’.
Mengubah ‘wisata alami’ menjadi ‘wisata bencana’ akibat kehancuran asset pembangunan karena mis-management atau bencana alam.
---
Tak sampai Seminggu, letusan Gunung Sinabung di Sumatera Utara segera disusul Gunung Kelud di Jawa Timur, Kamis (13/2/2014) malam. Letusan gunung api ‘type kubah lava pyroklastik’ itu mencapai ketinggian 17 kilometer menyemburkan jutaan meter kubik material berbahaya menyebabkan penutupan sejumlah bandara dan membatalkan ribuan penerbangan. Letusan Kelud menyebarkan sejumlah material menimbulkan polusi udara serta merusak ribuan rumah dan sarana infrastruktur lain.
Tiga unsur utama dalam letusan gunung yi: nitrogen, sulfur dan mineral. Apabila gunung api meletus secara berturut-turut akan mengemisikan NOx,SOx dan ROx (partikulat) yang langsung berdampak menurunkan kualitas udara sangat parah. Adanya emisi partikulat dan aerosol mengandung SOx, NOx dan debu (partikulat) (fly ash dan bottom ash) tergolong limbah B3 bahan beracun dan berbahaya dalam bentuk. debu/partikel, sulfur dioksida, nitrogen oksida , dan hujan asam. Dampak lanjutannya yaitu jatuhan partikel (fall out) akan menurunkan kualitas air, menurunkan tingkat kesehatan masyarakat serta menyebabkan matinya ribuan organisme air seperti ikan, berudu, katak dll.
Pasca letusan gunung menimbulkan aneka dampak lingkungan dan kesehatan meluas. Material berupa : Debu/partikel Asap, abu terbang (fly ash), debu dan lain-lain adalah emisi gunung berbentuk aerosol padat dan cair di udara dengan ukuran yang berbeda. Partikel dalam bentuk suspensi mempunyai ukuran 0,0002 – 500 mikron dan partikel dengan ukuran ini akan bertahan pada bentuknya sekitar beberapa detik sampai satu bulan, nilai pencemaran ini dihitung sebagai TSP (Total Suspended Particulate, jumlah partikel tertahan). Keberadaan partikel di udara dipengaruhi oleh kecepatan partikel yang ditentukan oleh ukuran, densitas serta aliran udara akrena hembusan angin. Partikel di udara ini akan mengotori berbagai benda, menghalangi pandangan/sinar serta membawa gas-gas beracun ke paru-paru.
Sulfur dioksida (SO2)
Gas Sulfur Oksida (SOx) terdiri 2 jenis gas tidak berwarna yaitu gas Sulfur Dioksida (SO2) dan Sulfur Trioksida (SO3). SO3 merupakan gas sangat reaktif. Letusan gunung identik dengan proses proses pembakaran mengeluarkan gas SO2dan SO3 dan sebagian besar gas yang terbentuk adalah SO2. Pembentukan gas SO3 akan tergantung pada temperatur jumlahnya berkisar antara 1 – 10 persen dari total SOx.
Nitrogen Dioksida
Letusan gunung juga menyebarkan polusi NO2. Nitrogen dioksida (NO2) meningkatkan kerentanan terhadap infeksi, mengganggu paru-paru, menyebabkan oedema, bronchitis dan pneumonia, dan menyebabkan serangan asma.
Hujan Asam
Dampak letusan gunung api lanjutan adalah hujan asam. Endapan hujan asam di Indonesia dimonitor oleh Pusat Pengelolaan Lingkungan (EMC), Kementerian Lingkungan Hidup, sejak 1998, melalui pengambilan contoh secara terus menerus dari endapan basah dan kering. Tingkat pH rata-rata dalam curah hujan untuk tahun 1998 adalah 4,8 untuk 10 kota di Indonesia, yang menyatakan suatu peningkatan keasaman dari tingkat-tingkat tahun 1996 sebesar 5,5. Hujan yang mempunyai pH lebih rendah dari 5,6 dianggap “hujan asam”. Saat ini 10 kota mempunyai tingkat pH lebih rendah dari 5,5, tingkat yang paling asam ditemukan di DKI Jakarta, diikuti oleh Surabaya dan Bandung. Hujan asam merupakan hasil dari ion nitrat dan sulfat yang membentuk asam sulfur dan asam nitrat dalam air hujan. Sumber dari nitrat dan sulfat adalah emisi bahan pencemar udara. Konsentrasi Nitrat (NO3) dalam air hujan antara tahun 1996 dan 1998 adalah tertinggi di Bandung (3,0 mg/L), DKI Jakarta (2,3 mg/L), dan Surabaya(1,2 mg/L). Konsentrasi rata-rata sulfat (SO4) dalam air hujan selama periode tersebut adalah juga tertinggi di Bandung (3,5 mg/L).
Hujan asam menyebabkan tanah menjadi asam sampai tercapai suatu tingkat yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman dan hasil tanaman. Kerusakan langsung terhadap tanaman disebabkan oleh endapan hujan asam, nitrat dan sulfat pada daun-daun tanaman. Pengaruh lain dari bagian hujan asam akibat polusi udara dari gunung meletus termasuk berkurangnya pH di sumur penduduk, danau dan sungai sehingga menyebabkan matinya berbagai organism air. Sehingga menyebabkan kerugian ekonomi sektor pertanian dan perikanan sangat besar.
Langganan:
Postingan (Atom)