Senin, 15 Agustus 2011

Lafadz ALLAH di gunung Lyngen Alps Norland-Norwegia



Peristiwa ini sebenarnya telah berlalu beberapa tahun lalu, namun sampai sekarang saya masih terus memikirkannya terutama saat bulan Ramadhan seperti sekarang. Saya yakin bahwa apa yang saya alami ini bukan suatu peristiwa kebetulan semata. Begini ceritanya : Sewaktu dalam perjalanan mudik ke Jawa bersama ribuan pemudik lebaran 2007. Siang itu iring-iringan kami sedang terjebak macet di daerah Nagrek-. Tiba tiba telponku berdering, di layar display tampil nomor aneh. Sekilas terdengar seorang berbicara 'dalam bahasa Indonesia 'ditelpon, ternyata seorang perwakilan KBRI di Oslo Norwegia pak Heru Subolo namanya. Beliau menyatakan bahwa ada faksimile Undangan dari Kementrian Pertahanan Norwegia untuk mengunjungi fasilitas Pemantauan Keamanan Laut di kota Bodo Norwegia Utara. Saya diminta segera mempersiapkan diri untuk berangkat segera setelah lebaran. Kami diingatkan oleh KBRI bahwa fasilitas tsb merupakan fasilitas militer dengan pengamanan ekstra ketat. Pihak KBRI Oslo berpesan bahwa mereka tidak bisa menemani selama di Norwegia. Mereka hanya mengingatkan bahwa fasilitas yang akan dikunjungi adalah fasilitas militer dengan penjagaan ekstra ketat. Sebagai syarat Kementrian Pertahanan Norwegia cuma meminta nama dan tanggal lahir saya dan team, tak ada permohonan lain seperti nomor identitas paspor dll.
Dalam sisa perjalanan pulang mudik ke Jawa itu dalam hati saya berkecamuk berbagai pertanyaan, apakah mungkin saya bisa memenuhi undangan tersebut. Mendengar nama kota ’Bodo’ itu saja kami baru pertama kali. Bagaimana cara kesana, berapa biayanya dll.

Lebaran hari ketiga saya dan keluarga segera balik ke Jakarta. Mumpung jalanan masih belum ramai pikirku. Sesampai di Jakarta saya segera mengurus keberangkatan ke Norwegia. Tiket, asuransi perjalanan, dan surat jalan sudah ditangan namun belum ada visa. Sehari sebelum berangkat kami belum pegang visa kunjungan ke Norway atau Schengen countries. Padahal tiket di tangan memaksa kami harus berangkat malam harinya. Pagi pagi saya bergegas mendatangi kedubes Norwegia di kawasan Mega Kuningan. Setelah dimulai dengan perdebatan yang alot, saya ngotot pada petugas visa minta diijinkan menemui sekretaris dubes untuk meminta diberi visa kunjungan ke Norwegia. Setelah saya jelaskan dengan panjang lebar, akhirnya pihak kedubes memberi kami visa kunjungan selama 30 hari.
Tepat pada 18 Oktober pas hari ulang tahunku (sengaja aku merahasiakan hal ini pada kedua rekanku. Tengah malam kami terbang berangkat menuju Norwegia, dengan terlebih dulu transit di Dubai dan kemudian sampai di Frankfurt (kemudian kami mendapat bonus menginap gratis di hotel Sheraton Frankfurt karena penerbangan berikutnya ditunda). Besoknya perjalanan diteruskan menuju Oslo, baru kemudian singgah beberapa hari di Tromso, baru kemudian ke kota Bodo.

Tak seperti kunjunganku pertama kali di kota Tromso yaitu menginap di hotel 'berkelas internasional' di depan pelabuhan Tromso. Kunjungan kedua kali ini aku menginap di losmen yang cukup murah di Sydpissen hotel, dengan tarif 130 USD per-malam, untuk type kamar triple bed. Sydpissen berarti ’ujung selatan’, karena letaknya memang persis diujung selatan pulau Tromso. Sydpissen adalah losmen atau hotel kecil yang sebelumnya adalah barak militer pada masa perang dingin. Kerna jarang dipergunakan lagi untuk tamu tamu militer sesama negara NATO maka barak itupun dipermak menjadi hotel sekelas hotel melati. Fasilitas kamar dihotel itupun sangat sederhana, namun cukup antik dan unik karena perabotannya terbuat dari kayu atau besi. Hotel Sydpissen ini terletak persis diujung selatan pulau Tromso yang berhadapan langsung dengan pantai yang landai. Angin diluar hotel sangat dingin bagi kami ’pendatang dari tropis ini’ karena bulan bulan ini adalah musim peralihan ke musim dingin sehingga cuaca selalu gelap oleh mendung dan hujan. Namun kami memaksakan diri melihat lihat suasana pantai yang terletak persis dibelakang hotel Sydpissen ini.

Tak jauh diseberang pulau di belakang teras hotel Sydpissen, tempat kami tinggal ada Fjord berupa gunung salju yang cukup curam. Pada bulan Oktober ini, adalah musim peralihan dari musim summer ke musim winter. Cuaca cepat berubah, langit selalu gelap oleh mendung, banyak hujan dan salju mulai turun di beberapa lokasi. Berbeda dengan kunjungan pertamaku di kota Tromso ini pada musim summer suasana tampak cerah bermandikan cahaya matahari.

Dalam perjalanan menuju hotel Sydpissen, kami mengitari pulau sementara diseberang laut ada sebuah gunung (setelah kucari namanya ternyata barisan pegunungan 'Lyngen Alps'). Gunung itu menurutku tidak terlalu tinggi sekitar 1,8 km. Dinding gunung itu mulai tertutup lapisan salju, walau sebagian masih terlihat batu batunya yang berwarna gelap. Variasi warna batu dan salju yang kontrast membentuk mozaik lukisan- lukisan alam yang cantik dan indah. Setelah kuamati dengan seksama...Subhanallah .tampak bahwa ornament lukisan salju di gunung itu membentuk kaligrafi raksasa yang sangat kukenal...tertulis di punggung gunung ’Lyngen Alps’ itu lafadz...’Allah’...masyaAlah..Allhu akbar..hati dan bibirku bergetar...dan aku bertakbir dalam hati. Mungkin hari hari itu aku agak sensisitif karena baru beberapa melewati ulang tahunku ke 40.

Bagaimanapun, fenomena alam itu membuatku merasa 'takjub', walau kaligrafi lafadz ‘Allah’ itu mungkin hanya tampak tak terlalu lama karena segera tertutup mendung atau salju, namun berhasil dipotret kawanku seorang Mayor TNI-AU, walau hasilnya mungkin kurang terlalu jelas.
Secara halus aku merasa disapa Allah SWT. Aku merasa fenomena alam itu suatu sapaan atau mungkin juga ’peringatan’ khususnya padaku bahwa usiaku tidak muda lagi, harus lebih rajin beribadah dan beramal.
Suhu sekelilingku berkisar 5 derajad celsius namun angin yang berhembus dari awan awan rendah kutub itu membuat suhu sekeliling menjadi lebih dingin. Wuuuuuzzzz angin dingin...dari awan-awan kutub yang rendah menerpa muka dan tanganku, langsung berubah menjadi lapisan es tipis yang segera mengering...! Allahu..Akbar.Alhammdulillah,.Subhannallah.

Sejak itu saya mulai lebih rajin mempelajari Al Qur'an dibanding sebelumnya. Bila diputar kembali waktu maka kepergianku tsb tepat pada tanggal 18 Oktober 2007saat aku genap berusia 40 tahun. Kemudian sewaktu tiba di Tromso waktu melihat lafadz Allah tsb pada 20 Oktober (10) 2007. Setelah kubuka Al Qur’an kudapati surat 10 yaitu surat Yunus ayat 20 berarti :

10:20. Dan mereka berkata: “Mengapa tidak diturunkan kepadanya (Muhammad) suatu keterangan (mukjizat) dari Tuhannya?” Maka katakanlah: ” Sesungguhnya yang gaib itu kepunyaan Allah ; sebab itu tunggu (sajalah) olehmu, sesungguhnya aku bersama kamu termasuk orang-orang yang menunggu". Mungkin semua ini hanya suatu kebetulan menurut orang orang, namun buatku peristiwa ini sungguh peristiwa menakjubkan dalam hidupku.

Demikianlah, sampai sekarang-pun aku masih merenungkan terus apa makna kepergianku ke Norway waktu itu. Saya merasa bahwa kepergianku ke Norway kala itu seperti ada yang mengatur. Banyak hikmah yang kudapat didalamnya walaupun sampai sekarang masih terus saya gali terus maknanya. Rencananya pengalaman-pengalaman perjalananku ke bumi utara ini akan saya tuangkan dalam sebuah buku tersendiri. Tunggu sajalah olehmu..!

Jumat, 05 Agustus 2011

Ziarah Iklim:Migrasi Hewan




Fenomena migrasi hewan, merupakan fakta fenomena alam yang semakin banyak ditemui di berbagai belahan dunia, baik di kawasan tropis, sub-tropis dan bahkan antar lingkaran kutub uatara dan selatan. Beberapa fakta migrasi hewan tsb sempat penulis lihat secara langsung atau tak langsung (menggunakan alat) ketika berkunjung ke beberapa kawasan didaerah tropis, sub-tropis maupun di dekat lingkaran kutub. Migrasi hewan merupakan fenomena perpindahan periodik hewan dari suatu tempat tinggal ke daerah baru dan kemudian melakukan perjalanan kembali (pulang) lagi ke habitat asal pada waktu tertentu.

Faktor pendorong utama hewan-hewan bermigrasi biasanya pencarian sumber makanan karena adanya kelangkaan atau kekurangan pangan dihabitat asal (karena berbagai sebab). Faktor pendorong migrasi lain adalah mencari lokasi terbaik untuk berkembang biak karena habitat asalnya kurang cocok untuk bereproduksi. Dari pengamatan penulis peristiwa migrasi hewan musiman ini merupakan fenomena alam menakjubkan dan sangat menarik untuk diamati. Bahkan, di beberapa negara fenomena alam ini telah dijadikan komoditi ‘wisata ekologis’ yang mendatangkan devisa cukup besar misalnya migrasi paus Bongkok dan Killer Whale di Norway dan Australia, migrasi burung Elang Alap-alap China di Taiwan atau migrasi Angsa Kanada di Amerika Serikat.

Migrasi hewan biasanya terkait dengan perubahan musim atau ‘waktu biologis’ tertentu terkait dengan perilaku kebiasaan hewan terhadap kondisi alam misalnya posisi bulan terhadap bumi. Ada pula hewan yang mempunyai 'pola migrasi’ yang berhubungan dengan pada pola cuaca atau bencana alam. Migrasi hewan bergantung pada curah hujan atau ketersediaan tumbuhan hijau yang masih segar. Ada beberapa hewan bermigrasi ke daerah utara selama bulan-bulan dalam musim panas. karena pada hari musim panas yang panjang di bagian paling utara dunia dapat tersedia pasokan makanan yang baik. Sementara pada musim gugur dan dingin, banyak hewan bermigrasi ke selatan untuk mencari cuaca hangat di musim dingin dan tersedianya makanan, karena semua sumber makanan di daerah asalnya membeku atau tertutup lapisan es (salju).

Beberapa hewan memiliki waktu migrasi penuh dalam satu tahun, artinya perjalanan pulang dan pergi ditempuh dalam satu tahun. Ada pula hewan yang memerlukan waktu migrasi hingga beberapa tahun dalam satu siklus migrasinya. Para ilmuwan melihat migrasi hewan merupakan sebuah upaya adaptasi ditengah lingkungan alam dan iklim yang berubah. Hewan-hewan yang telah belajar untuk bermigrasi ke lingkungan optimal adalah hewan berhasil survive (selamat) untuk melanjutkan spesies generasi-nya.

Senin, 30 Mei 2011

Kembalinya Sang Angsa Pengelana.!

Minggu, 22 Agustus 1999(Wawancara Seminggu Sebelum Aku Menikah)Populasi angsa Kanada (Branta canadensis) yang hampir punah mulai pulih kembali. Sebuah kisahsukses dalam upaya penyelamatan lingkungan. TAK selamanya warta lingkunganmembawa cerita pilu. Sesekali ada juga, lo, angin segar yang berembus daribidang yang telah menjadi kepedulian masyarakat global ini. Simak saja yangterjadi pekan lalu ketika Negeri Paman Sam menyatakan, saat ini sedangmengajukan usulan untuk mencabut spesies angsa Kanada (Aleutian Kanadagoose) dari daftar spesies yang terancam punah.Adalah Menteri Dalam Negeri AS Bruce Babbit yang mengemukakan hal itu.Bahwa populasi burung-burung migrasi dengan ciri selempang pita bulu putihyang melingkar di leher mulai pulih kembali. Sebelumnya, angsa-angsa yangsering terlihat di pulau-pulau terpencil di lepas pantai Alaska dan dinegara bagian Oregon dan California selama musim-musim dingin itu sudahterancam punah. Pada tahun 1975 misalnya populasi dunia angsa Kanada hanyaberjumlah 790 ekor. Penyebabnya, seperti biasa, memang ulah manusia.Dinas Margasatwa dan Perikanan Amerika Serikat menyebut bahwa ancamanterhadap kawanan angsa-angsa itu telah dimulai. Terutama ketika para petanibulu binatang di kawasan-kawasan itu mulai memelihara rubah untuk membantupekerjaan mereka. Bisa diduga, akibatnya angsa-angsa itu pun tak dapatbertahan. Apalagi ketika para pemburu juga mulai 'menyemarakkan' situasidengan membawa lebih banyak rubah ke 190 pulau di daerah bersarangnyaburung-burung angsa itu di lepas pantai Alaska.
Peristiwa itu ternyata telah terjadi sejak awal tahun 1750. Pemanfaatanrubah di pulau-pulau yang sebelumnya merupakan daerah bebas mamalia itumencapai puncaknya pada 1915-1936 ketika permintaan dunia akan bulumeningkat pesat. Nah, terdorong oleh kondisi yang memprihatinkan itu upayapemulihan pun dilakukan. Kawasan yang merupakan habitat angsa-angsa migranitu dibuat sebagai daerah bebas rubah. Habitat migrasi mereka benar-benardilindungi. Upaya untuk merelokasi angsa-angsa ke pulau-pulau lain jugadilakukan. Hasilnya pun mulai terlihat. Kini, jumlah binatang telahberkembang menjadi sekitar 32.000 ekor."Fenomena itu kini telah kembali," kata Menteri Dalam Negeri AmerikaSerikat Bruce Babbit seperti dikutip Associated Press. "Sungguh, ini adalahsebuah kisah yang sangat menakjubkan." Sebelumnya para ahli biologi takmenemukan satu pun angsa Kanada antara tahun 1938 sampai dengan tahun 1962.Namun, kemudian, para peneliti sempat menemukan populasi tersisa mereka diBuldir Island, pulau terpencil yang tandus di Kepulauan Aleutian Barat.Spesies langka
Amerika telah menyatakan angsa-angsa itu sebagai spesies langka yangterancam punah pada 1967. Ini dikukuhkan di bawah Undang-UndangPerlindungan Spesies Langka Tahun 1966. Status angsa-angsa itu kemudiandiperbaiki dari status 'langka' menjadi 'terancam' dalam tahun 1990 setelahpopulasi angsa tersebut mencapai 6.300 ekor. Melalui proposal pemerintah,angsa-angsa itu kemungkinan besar akan dapat dilepaskan dari daftar spesiesterancam dalam waktu satu tahun mendatang. Sejalan dengan fenomenamenggembirakan itu, baru-baru ini, Amerika Serikat, Rusia, dan Jepang telahbergabung dalam sebuah proyek kerja sama untuk memulihkan kembali populasiangsa Kanada itu di Kepulauan Kuril di lepas pantai Rusia. Delapan puluhenam ekor angsa Kanada telah dilepaskan di kawasan pulau-pulau tersebut.Kabarnya, lebih banyak lagi proyek pelepasan telah direncanakan.Dinas Margasatwa dan Perikanan Amerika kabarnya juga telah mengusulkanuntuk mencoret enam spesies lain dalam daftar yang sama sejak awal tahunini. Saat ini masih ada sekitar 1.181 spesies yang tercatat di bawah UUtersebut. Enam puluh persennya adalah spesies tumbuhan. Kantor-kantorfederal Negeri Clinton itu memang telah mencatat sukses lain dalammenyelamatkan spesies burung-burung yang terancam punah. Pemerintah Amerikamenurut rencana juga akan mengumumkan sebelum tanggal 26 Agustus ini untukmencoret burung elang (peregrine falcon) dari daftar spesies langka. Itukata Robert Mesta, koordinator nasional untuk penyelamatan peregrine padaDinas Margasatwa dan Perikanan AS di Ventura California.Pada 1998, menurut data pada dinas itu, diperkirakan ada sekitar 1659pasang peregrine di Amerika. Kini beberapa ahli memprediksi bahwa populasiperegrine sudah berjumlah sebanyak 3.000 pasang, kata Mesta. Jumlahtersebut memang telah melampaui sasaran yang ditetapkan pada 1970 ketikaburung tersebut masih tercantum dalam daftar catatan itu. Bahwa pemulihanperegrine akan tercapai setelah spesies itu mencapai 631 pasang. Mengapaitu terjadi?
Pestisida jenis DDT sejauh ini telah diketahui membantu menurunkan populasiperegrine falcons sampai 39 pasang di Benua Amerika pada 1970-an. Populasiitu, bahkan, sama sekali hilang di New England. Sekali penggunaan DDTdilarang pada tahun 1972, burung-burung tersebut pun mulai tampak pulihkembali. Apa hikmah yang bisa dipetik Indonesia dari kisah-kisah pemulihanitu?
Adaptasi hormonal
Angsa Kanada terkenal karena migrasi musiman mereka, karena Angsa ini memiliki lokasi transit di daerah persinggahan di mana mereka bergabung dengan grup hewan migran lain. Pada musim gugur migrasi mereka dapat dilihat dari bulan September sampai awal November. Para migran awal memiliki kecenderungan untuk menghabiskan waktu kurang berhenti istirahat dan pergi melalui migrasi jauh lebih cepat. Burung-burung kemudian biasanya menghabiskan lebih banyak waktu di lokasi beristirahat. Angsa Ini juga terkenal karena  penerbangan membentuk formasi hutuf ‘V’ . Angsa meninggalkan Kanada karena  datangnya musim dingin dengan tujuan kawasan selata yang masih hangat. Fenomena unik yang terjadi pada Angsa ini adalah peningkatan hormon tiroid, seperti T3 dan T4, telah diukur dalam angsa hanya setelah migrasi besar. Hal ini diyakini karena hari-hari panjang terbang dalam migrasi kelenjar tiroid T4 mengirim lebih lanjut yang akan membantu tubuh mengatasi perjalanan panjang. Tingkat T4 meningkat juga terkait dengan peningkatan massa otot (hipertrofi) dari otot dada, karena semakin lama waktu yang dihabiskan terbang. Hal ini diyakini bahwa tubuh mengirimkan lebih T4 untuk membantu tubuh angsa dengan tugas yang panjang dengan mempercepat metabolisme dan suhu di mana karya tubuh [20] Juga,. Studi lainnya yang dilakukan menunjukkan tingkat corticosterone meningkat secara dramatis dalam burung setelah dan selama migrasi. Corticosterone dikenal hormon stres, sehingga hanya masuk akal bahwa ketika burung ini tertekan oleh terbang jarak jauh setiap hari, lebih banyak corticosterone dilepaskan ke dalam sistem mereka. Hal ini diyakini bahwa tingkat corticosterone lebih tinggi akan membantu burung lebih baik mengelola energi untuk keperluan migrasi jarak jauh.
Direktur Lingkungan CIDES Indonesia, M.Rudi Wahyono kepada Media memberikan komentar, kasus angsa Kanada itu bisadiambil sebagai pelajaran bagi para pengambil kebijakan bidang lingkunganhidup di Indonesia. "Kita bisa mengambil hikmah dari Fenomena adaptasi hewan karena perubahan iklim dalam kasus itu. Misalkanuntuk meningkatkan kesadaran masyarkat agar lebih concern terhadap matarantai kehidupan sesederhana apa pun dengan melestarikannya." Peneliti Senior Cides itu juga berharap agar pemerintah seyogianya juga meletakkan kebijakan jangkapanjang dalam pengelolaan lingkungan hidup. "Hal-hal yang belum diketahuimanfaatnya dalam mata rantai kehidupan sebaiknya diteliti dan hasilnyadisebarkan kepada masyarakat." . Haryo Prasetyo/M-1Hak cipta © 1997-1998 Media Indonesia

Rabu, 11 Mei 2011

Health Impacts under Climate Change





With the support from National Science Council (NSC), Taiwan, Southeast Asia Regional Committee for START (SARCS) Secretariat and National Cheng Kung University (NCKU) have jointly hosted the 2010 Advanced Training Workshop on Southeast Asia Regional Health Impacts and Adaptation under Climate Change from November 25th to 29th in a conference room at Zenda Suites, Tainan, Taiwan, where scholars and experts from United States, Korea, Japan and Taiwan have gathered together to discuss environmental and health issues resulted from climate change.

In the opening ceremony, NCKU President Michael Ming-Chiao Lai expressed in his opening remark, “This is the 2nd year SARCS Training Workshop held in National Cheng Kung University. This Workshop is a meaningful exercise which aims to increase capacity of regional scientists and institutes to cooperate on global environmental research, and to coordinate the work of national and regional societies, to bring together scientists working on health issues and to foster collaboration and the exchange of ideas concerning climate change in the Southeast Asia region.”

President Lai also mentioned, “This Workshop consists of several themes of importance, including adaptations of climate change and health, food security and nutrition, extreme temperature effects and adaptations, air-pollution-related health effects and adaptations, biodiversity-related effects and adaptations. We are glad to invite around ten well-established scholars in this field from USA, Korea, Japan and Taiwan to serve as the lecturers for the Workshop.”

“Climate change is projected to have far-reaching effects on human health and well-being. Heatwaves and other extreme weather events, such as floods, droughts, and windstorms, annually affect millions of people and cause billions of dollars of damage. Climate change will increase the frequency and intensity of extreme weather events over coming decades. Climate can affect health burdens through affecting the number of people at risk of malnutrition, as well as through alterations in the geographic range and incidence of vectorborne, zoonotic, and food- and waterborne diseases, and changes in the prevalence of diseases associated with air pollutants and aeroallergens,” said Dr. Kristie L. Ebi of Carnegie Institution for Science, U.S., in her lecture of “Adaptation of Climate Change and Health - the Past, Present and Future.”

Dr. Kristie L. Ebi also stated, “Climate change has begun to alter natural systems, increasing the incidence and geographic range of some vectorborne and zoonotic diseases. Additional climate change is projected to significantly increase the number of people at risk of major causes of ill health, particularly malnutrition, diarrheal diseases, malaria, and other vectorborne diseases. Climate also can impact population health through climate-induced economic dislocation and environmental decline.”

Dr. Ebi further stressed, “Climate change will make more difficult the control of climate-sensitive health outcomes. Therefore, policies need to explicitly consider these risks in order to maintain current levels of control. In most cases, the primary response will be to enhance current health risk management activities. Although there are uncertainties about future climate change, failure to invest in adaptation may leave communities and nations poorly prepared, thus increasing the probability of severe adverse consequences. Policy makers need to understand the potential impacts of climate change, the effectiveness of current programs, and the range of available choices for enhancing current or developing new programs and activities.”

Prof. Huey-Jen Su of NCKU Department of Environmental and Occupational Health, the Chairman of the Workshop, revealed, “The purpose of the Workshop is to assemble fact sheets and current statistics concerning regional or national status in responding to the challenge of global climate change, to develop skills and knowledge needed for engaging in studies or investigations regarding impact assessment and adaptation formulation for young researchers of the Southeast Asia region, to facilitate the communication and interaction among diverse disciplines involved in constructing the adaptation strategy and action plan of various localities and to build a network and platform for coordinating interests and professionals of Southeastern Asian countries related to climate change adaptation endeavors.”

Previous studies have demonstrated that global warming would alter the regional climatic patterns, jeopardize ecological system, and affect public health in the form of heat stress associated mortality and morbidity, air pollution associated diseases burden, extreme weather associated mental health, inadequate water and food associated malnutrition, and distribution and epidemic of various infectious diseases. With all the recognized impacts, issues of adaptation strategies have become top priorities both in terms of research needs and strategic exercises.

As part of Taiwan's contribution to the SARCS capacity building program, the 2010 Advanced Training Workshop on Southeast Asia Regional Health Impacts and Adaptation under Climate Change, which is open to experts from SARCS member countries and other territories of interest, focuses on illustrating the health impacts and possible adaptations under climate change, especially with the Southeastern Asia scenarios as examples of exercises.

Senin, 04 April 2011

Kampanye Tsunami




Sepulang dari Taiwan awal Desember 2003, semangat ilmu Geomorfology, Coastal management dan Disaster Monitoring masih hangat dalam kepalaku. Semangat itu saya tuangkan kedalam proposal capacity building yang segera disambut baik oleh DR.Jan Henning Steffen, Direktur CSI-Coastal and Small Island program UNESCO dan beliau mengucurkan dana JITF-Japan International Trust Fund –UNESCO untuk program Capacity Building itu bekerjasama dengan BPPT dan LIPI pada Juli 2004. Thema yang diangkat waktu adalah ‘Deteksi, Mitigasi dan Pencegahan Degradasi dan Bencana di Kawasan Pesisir Indonesia’. Workshop ini diikuti oleh peserta dari berbagai instansi terutama Bappeda di Indonesia.

Sukses acara ini adalah mulai memperkenalkan isu mitigasi bencana di kawasan pesisir di Indonesia serta mendapat liputam media nasioal yi KOMPAS dan Jakarta Post. Workshop ini membahas banyak hal termasuk salah satu themanya tentang Tsunami dan Coastal Geology disampaikan oleh Prof.Otto Ongkosongo dan DR.Nany Hendiaty, tentang Satelit Pemantau Kelautan. Para peserta mendapatkan sekilas gambaran aneka problema dipesisir dan pemantauannya baik disebabkan oleh ulah manusia (antrophogenik) ataupun oleh alam. Salah satu peserta workshop ini adalah dari Bappeda Sabang Propinsi NAD.

Sebagai follow up dari workshop dan atas dukungan UNESCO saya berkeliling ke berbagi lembaga meperkenalkan Mitigasi Bencana, namun hasilnya sangat mengecawakan. Berbagai lembaga dan instansi pemerintah itu menjawab bahwa mitigasi bencan bukan prioritas dan taka ada dalam daftar program mereka, jadi tak perlu diprogramkan. Yang membuatku kecewa dan frustasi adalah banyak hal konyol yang dilontarkan oleh berbagai instansi itu walapun tak sedikit dari mereka bergelar ‘Doktor’. Bahwa hal prioritas adalah membekali para pejabat dengan ilmu administrasi sehingga tak ‘masuk penjara’ akibat terjerat korupsi karena ‘mis-administrasi’.

Desember 26, pagi hari itu hari libur dan suasana semua sedang bersantai. Saya duduk duduk nonton TV bersama keluarga, sekilas kemudian METRO TV menyiarkan Breaking News adanya Gempa besar di Aceh yang mencapai 8,9 skala Richter atau lebih. Saya langsung teringat ‘Peringatan Prof.Honjo’ dan menduga bakalan jatuh banyak korban, karena berdasar kalkulasi kekuatan gempa dan populasi masyarakat terdampak sebenarnya bisa langsung dipredisi jumlah korban. MasyaAllah ..ternyata korban tewas dan hilang mencapai 250 ribu orang lebih.

Bencana Tsunami Aceh 2004 membuat pemerintah kita baru tersadar akan pentingnya mitigasi bencana. Sejak itu hampir semua department beramai ramai membuat program tersebut. Terlebih banyak sekali ‘funding internasional’ yang membantu. Namun ada satu hal yang terasa hilang yaitu semangat untuk belajar untuk mempersiapkan diri menghadapi bencana. Semangatnya hanya semangat mengejar proyek karena Indonesia ‘kebanjiran dana’ terkait dengan isu bencana. Rupanya kelalaian kita karena suatu hal yang tak dianggap penting harus dibayar dengan ‘Sangat-sangat Mahal’. Dan sayangnya aku hanya bisa mononton dan berteriak teriak dari luar podium
bagai supporter sepakbola yang tak digubris karena suaranya lenyap ditelan keriuhan.

Kisahku dan Tsunami



Bicara Tsunami, sebenarnya aku punya hubungan cukup akrab dengannya. ‘Friday Tsunami’ demikian para ahli Gempa menjuluki gempa besar diikuti Tsunami di Jepang pada Jum’at 11 Maret 2011 yang menewaskan lebih dari 10 ribu jiwa. Bencana ini benar benar diluar prediksi banyak kalangan termasuk para pemerhati Tsunami. Salah satu kesimpulannya adalah kejadian Tsuami besar semakin dekat temponya...bukan hitungan millenium, abad bahkan dekade..hanya hitungan tahun saja. Kejadian bencana itu setidaknya membuatku merinding, karena peristiwa besar ini selalu disiarkan secara ‘live’ berkat kemajuan teknologi, namun sekali lagi kita hanya bisa ‘terbengong’ atau ‘lari tunggang-langgang’ ketika hal ini terjadi.

Mendengar istilah ‘Tsunami’, ingatanku seperti diputar lagi ke masa delapan tahun silam sewaktu mengikuti Fellowships dari SARCS- Geomorfology di Universitas Sun Yat Sen di Kaoshiung-Taiwan November 2003. Dalam Advance Fellowships Course itu diisi oleh para professor terkenal dan dikenal amat pakar dibidangnya. Diantara para nara sumber itu ada 2 professor asal Jepang yaitu Prof.Isao Koike dari Ocean Research Institute University Tokyo dan Prof.Susumu Honjo dari Woods Hole Laboratory Institute sebuah lembaga sains Geofisika di USA.

Dalam kuliah tersebut dibahas berbagai mekanisme Geochemistry-Biogeochemistry di dasar lautan. Dijelaskan pula bahwa hampir semua bentang rupa bumi termasuk ‘Tri-D-Bottom Map’ sudah berhasil dibuat oleh umat manusia, artinya semua rupa Bumi baik di daratan dan dasar laut paling dalampun sudah ada peta geologisnya. Dengan data itu prediksi-prediksi seismic bumi bisa dilakukan dengan cukup akurat terlebih dengan adanya ilmu Modelling dan Simulasi Komputer.

Saya adalah satu diantara 3 peserta dari Indonesia yang proaktif bertanya, menyanggah atau berdiskusi dengan nara sumber dalam advance course tsb, Maklumlah background ilmu Geologiku cuma satu semester. Beberapa Professor itu dengan sabar dan antusias banyak memberi masukan dan mengajakku mengobrol atau menawarkan sesuatu didalam kuliah atau disela-sela ‘lunch’ dan ‘dinner’. Satu hal yang kuingat dengan jelas adalah Peringatan Prof.Koikie dan Prof.Honjo tentang kemungkinan ‘Adanya Potensi Tsunami Besar di Indonesia’.

Beliau juga menawariku apabila berminat boleh mengikuti ekspedisi penelitian ‘Marine Geomorfologi’-nya ke berbagai wilayah di bumi. Salah satu undangan yang saya lewatkan itu adalah Magang di Tsunami Center Hawai dan Expedisi ke Laut Antartika. Waktu itu saya berpikir kenapa seorang ‘environment scientist’ sepertiku tak perlulah terlalu focus pada ilmu geologi apalagi waktu ekspedisinya cukup lama untuk meninggalkan keluarga yaitu minimal 8-14 bulan. Wah bisa mati kaku saya di tempat tempat terpencil itu, terlebih saya tahu dalam ekspedisi itu pasti keselamatan nyawa tak dijamin walau sudah diasuransikan.

Jumat, 18 Februari 2011

Mitigasi Bencana di Perkotaan





YOGYAKARTA - Bencana dan krisis adalah permasalahan yang sering dialami megacity di berbagai belahan dunia, termasuk Jakarta. Kondisi itu diperparah dengan peningkatan pertumbuhan penduduk yang sangat pesat, proses urbanisasi yang demikian cepat tanpa adanya perencanaan yang baik, dan penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan daya dukungnya. Permasalahan tersebut akan menjadi permasalahan sosial jika tidak segera ditanggulangi. Oleh karena itu, koordinasi dan sharing best practise yang baik antarpemangku kepentingan sangat dibutuhkan dalam mengurangi risiko yang ditimbulkan.

Demikian yang mengemuka dalam Workshop “Risk, Crisis Prevention, and Disaster Management in Megacities” yang bertempat di Kantor BPPT, Jalan M.H. Thamrin 8, Jakarta, Senin (7/2) lalu. Workshop merupakan hasil kerja sama Fakultas Geografi UGM, BPPT, dan Universitas Koeln Jerman.

Kepala Bidang Teknologi Mitigasi Bencana BPPT, Drs. Bambang Marwanta, M.T., mengutarakan sudah saatnya megacity, seperti Jakarta, secara terpadu melakukan kajian penilaian risiko, juga manajemen krisis dan bencana, dengan mempertimbangkan tidak hanya potensi ancaman bahaya alam, tetapi juga bahaya akibat kegagalan teknologi dan perbuatan manusia.

Dr. Muh Aris Marfai dari Program S-2 Pengelolaan Pesisir dan Daerah Aliran Sungai (MPPDAS) mengatakan pentingnya strategi adaptasi terhadap perubahan iklim, terutama untuk kota pesisir dan megacity, seperti Jakarta. “Multi-use purposes kawasan pesisir dengan kompleksitas permasalahannya secara signifikan mempengaruhi tingkat vulnerability dari kawasan ini terhadap perubahan iklim global. Dengan meningkatnya kejadian banjir rob, banjir sungai, dan cuaca ekstrim, maka diperlukan rencana aksi untuk mengurangi risiko bencana yang dapat diformulasikan secara bersama antara pemerintah dan masyarakat,” katanya.

Dalam kesempatan tersebut, Gerrit Peters dari Univ. of Cologne Germany mengemukakan beberapa pengalaman riset yang dilakukannya terkait dengan kemampuan masyarakat Jakarta dalam melakukan adaptasi dan strategi pengurangan risiko bencana banjir, salah satunya melalui metode participatory urban appraisal. “Saya dan dan tim dari Program S-2 MPPDAS UGM kini tengah berada di kawasan Muara Angke, Kampung Melayu, guna melakukan penjaringan selama dua bulan untuk mendapatkan data-data terkait dengan kemampuan masyarakat untuk melakukan adaptasi dan strategi pengurangan risiko bencana,” tuturnya.

Sementara itu, Direktur Lingkungan Hidup dari CIDES (Center Indonesia for Development and Studies), M. Rudi Wahyono, menekankan pentingnya pemberdayaan masyarakat dalam penanganan kebencanaan. Direktur Lingkungan Hidup dari CIDES (Center Indonesia for Development and Studies), M Rudi Wahyono itu juga menekankan
bahwa penderitaan dan biaya hidup masyarakat perkotaan semakin meningkat dengan adanya bencana tsb. 'Cost of disaster' di perkotaan bisa menghilangkan sebagian atau seluruh asset-asset berharga masyarakat kelas bawah khususnya.

Dalam rilisnya, Aris Marfai mengemukakan workshop tersebut juga merupakan bagian dari kegiatan Riset kerja sama Fakultas Geografi UGM dan University of Koeln tentang potensi bencana dan permasalahan di megacity dengan studi kasus Jakarta.

"Sharing konsep dan pengetahuan praktis terkait dengan manajemen krisis dan bencana serta memformulasikan langkah-langkah konkret yang harus dilakukan di masa mendatang," pungkasnya.

Dalam rilisnya yang dikirim Rabu (9/2), Aris Marfai mengatakan workshop tersebut juga merupakan bagian dari kegiatan riset kerja sama Fakultas Geografi UGM dan University of Koeln tentang potensi bencana dan permasalahan di megacity dengan studi kasus Jakarta. “Sharing konsep dan pengetahuan praktis terkait dengan manajemen krisis dan bencana serta memformulasikan langkah-langkah konkret yang harus dilakukan di masa mendatang,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)

Senin, 24 Januari 2011

Fenomena Crop Circle,Bencana Yogya & Kejadian Alam





Fenomena Crop Circle di Sleman mengingatkanku pada Film 'When Universe Collide' di Hongkong Space Museum 1 Des 2010. Didalamnya bercerita Kejadian alam semesta menurut Sains modern disajikan 3-D yang sungguh sangat menakjubkan buatku. Subhannallah. Film ini diawali dari sejarah manusia mengeksplorasi langit sebagai penunjuk arah mata angin dengan bukti bukti arkeologi dengan ornament-ornament geometris seperti 'Circle Crop'yang ditemui di beberapa wilayah di Bumi.

Hingga awal abad ke-20, pandangan umum di dunia ilmu pengetahuan adalah bahwa alam semesta bersifat tetap dan telah ada sejak dahulu kala tanpa permulaan.
Namun, penelitian, pengamatan, dan perhitungan yang dilakukan dengan teknologi modern, mengungkapkan bahwa alam semesta sesungguhnya memiliki permulaan, dan ia terus-menerus "mengembang". Seorang fisikawan Rusia, Alexander Friedmann, dan ahli kosmologi Belgia, George Lemaitre pada abad 20 secara teoritis menghitung dan menemukan bahwa alam semesta senantiasa bergerak dan mengembang. Fakta ini dibuktikan juga dengan menggunakan data pengamatan pada tahun 1929. Ketika mengamati langit dengan teleskop, Edwin Hubble, seorang astronom Amerika, menemukan bahwa bintang-bintang dan galaksi terus bergerak saling menjauhi. Sebuah alam semesta, di mana segala sesuatunya terus bergerak menjauhi satu sama lain, berarti bahwa alam semesta tersebut terus-menerus "mengembang". Pengamatan yang dilakukan di tahun-tahun berikutnya memperkokoh fakta bahwa alam semesta terus mengembang.

Dewasa ini sains mengkalkulasi terdapat sekitar 200 milyar galaksi di alam semesta yang masing-masing terdiri dari hampir 200 bintang. Sebagian besar bintang-bintang ini mempunyai planet, dan sebagian besar planet-planet ini mempunyai bulan. Semua benda langit tersebut bergerak dalam garis peredaran yang diperhitungkan dengan sangat teliti. Selama jutaan tahun, masing-masing seolah "berenang" sepanjang garis edarnya dalam keserasian dan keteraturan yang sempurna bersama dengan yang lain. Selain itu, sejumlah komet juga bergerak bersama sepanjang garis edar yang ditetapkan baginya.Garis edar di alam semesta tidak hanya dimiliki oleh benda-benda angkasa. Galaksi-galaksi pun berjalan pada kecepatan luar biasa dalam suatu garis peredaran yang terhitung dan terencana. Selama pergerakan ini, tak satupun dari benda-benda angkasa ini memotong lintasan yang lain, atau bertabrakan dengan lainnya. Bahkan, telah teramati bahwa sejumlah galaksi berpapasan satu sama lain tanpa satu pun dari bagian-bagiannya saling bersentuhan.

Dipastikan bahwa pada saat Al Qur'an diturunkan, manusia tidak memiliki teleskop masa kini ataupun teknologi canggih untuk mengamati ruang angkasa berjarak jutaan kilometer, tidak pula pengetahuan fisika ataupun astronomi modern. Karenanya, saat itu tidaklah mungkin untuk mengatakan secara ilmiah bahwa ruang angkasa "dipenuhi lintasan dan garis edar" .

Dalam film juga digambarkan keunikan atmosfir Bumi seperti tergambar dalam Al Qur'an,: "Dan Kami menjadikan langit itu sebagai atap yang terpelihara, sedang mereka berpaling dari segala tanda-tanda (kekuasaan Allah) yang ada padanya." (Al Qur'an, 21:32) Sifat langit ini telah dibuktikan oleh penelitian ilmiah abad ke-20.

Atmosfir yang melingkupi bumi berperan sangat penting bagi berlangsungnya kehidupan. Dengan menghancurkan sejumlah meteor, besar ataupun kecil ketika mereka mendekati bumi, atmosfir mencegah mereka jatuh ke bumi dan membahayakan makhluk hidup.

Atmosfir juga menyaring sinar-sinar dari ruang angkasa yang membahayakan kehidupan. Menariknya, atmosfir hanya membiarkan agar ditembus oleh sinar-sinar tak berbahaya dan berguna, - seperti cahaya tampak, sinar ultraviolet tepi, dan gelombang radio. Semua radiasi ini sangat diperlukan bagi kehidupan. Sinar ultraviolet tepi, yang hanya sebagiannya menembus atmosfir, sangat penting bagi fotosintesis tanaman dan bagi kelangsungan seluruh makhluk hidup. Sebagian besar sinar ultraviolet kuat yang dipancarkan matahari ditahan oleh lapisan ozon atmosfir dan hanya sebagian kecil dan penting saja dari spektrum ultraviolet yang mencapai bumi.Kenyataan ini diterangkan dalam Al Qur'an pada saat tak seorang pun mengetahuinya. Ini dikarenakan Al Qur'an adalah firman Allah, Sang Pencipta, dan Pengatur keseluruhan alam semesta.

Kepergianku ke Hongkong ternyata berbekas sangat mendalam di hati dan pikirannku bukan karena kehebatan kota ciptaan manusia disana dengan gedung gedung pencakar langit dan koleksi aneka produk fashion dan elektronika, tapi malah perenungan tentang kejadian alam semesta. Saya melihat banyak orang asing dan tourist sepertinya berpikiran sama namun mereka pasti tak pernah mempelajari Al Qur'an..sebelumnya. Sehingga di benak mereka mungkin hanya berpendapat bahwa kejadian alam semesta itu hebat dan seperti ada skenario yang diikutinya. Itu saja.

Sepulang dari Hongkong aku pulang kampung dan menyempatkan mampir ke Sleman sekitar baru 2011 mengunjungi handai taulan. Anak-anakku adalah generasi didikan modern yang terkadang menolak semua yang berbau Bencana atau Kesedihan sehingga tak terbersit secuilpun dibenaknya akan hebatnya kejadian Alam di Yogya. Ketika saudara-saudaraku menawari mereka melihat Merapi dari dekat, mereka langsung menolaknya.

Rupanya Allah berkehendak lain, ketika kami bergegas balik ke Jakarta , kami dipaksa melihat ganasnya Lahar Dingin di sekitar Jumoyo Salam Magelang. Peristiwa ini membuatku semakin yakin bahwa fenomena Bencana Merapi di Yogya sungguh peristiwa alam luar biasa..bahkan bagi Mahluk asing sekalipun. Sayangnya ilmu kita belum bisa mencapainya dan menolaknya karena tak masuk dalam pertimbangan rasional kita.