Minggu, 25 Februari 2024

Jejak Macan Kumbang di Sekitar Bandara Kediri

Bandara kediri dibangun dilahan seluas 317 hektar dengan Kawasan penyangganya mencapai 600 hektar terdiri atas tanah sawah, tegalan dan bukit bukit berpasir dan berbatu terhampar di tiga kecamatan yaitu Tarokan, Grogol dan Banyakan. Secara administratif tata ruang dan wilayah tersebut di bawah koordinasi BKSDA Wilayah Satu Kediri. Karena terhampar di tanah tegalan berbukit dan marginal serta berbatasan dengan hutan kaki gunung Wilis tersebut tak heran wilayah tersebut dulunya beririsan dengan habitat aneka satwa liar yang dilindungi oleh undang-undang konservasi di Indonesia. Kawasan hutan di pegunungan Wilis meliputi kawasan Hutan Kritis di Pegunungan Wilis mencapai 15.733 ha dan tersebar di 6 kabupaten, yakni Trenggalek, Tulungagung, Ponorogo, Madiun, Nganjuk, dan Kediri. Baru baru ini di tahun 2023 warga kota Kediri menemukan hewan liar seperti Trenggiling masuk kota Kediri di daerah Tinalan Kota Kediri. Sebelumnya, pada saat pekerja PT Wijaya Karya Gedung (PT WEGE) berhasil mengamankan seekor Merak hijau jantan yang sedang berkeliaran saat pembangunan bandara, kemudian hewan ini diserahkan ke BKSDA Wilayah Kediri. Sebagai warga asal Kediri yang tinggal di rantau, tak ada salahnya saya mengajak para generasi muda dan anak sekarang untuk melongok masa lalu dan aneka cerita beragam hayati di sekitar lokasi bandara kediri dulunya. Saya dilahirkan di dusun Pojok, desa Bulusari, kecamatan Tarokan Kediri yang berlokasi persis di sisi utara Bandara saat ini. Bersama teman teman sebaya, dulu kami sering berpetualang di Kawasan perbukitan yang sekarang masuk ke kawasan Bandara Kediri. Kami dan beberapa warga desa yang bersebelahan dengan hutan, sering menjumpai hewan-hewan liar seperti kucing hutan, asu ajak atau anjing hutan, burung besar seperti Elang dan bangau hitam atau bangau Tongtong. Macan Kumbang atau black panther merupakan mamalia terbesar di hutan kaki gunung Wilis daerah Grogol Kediri yang masih sempat ditemui warga sampai tahun 2005. Bahkan, ada warga Bernama Slamet (berusia 60 an tahun) yang secara langsung pernah berinteraksi dengan karnivor ini. Dalam penuturannya pak Slamet (60 tahun)“Saya dulu pernah mencari rumput di alas atau hutan sana. Ketemu dengan macan kumbang,” tutur Slamet. Kakek berusia sekitar 60 tahun ini adalah warga Desa dan Kecamatan Grogol. Slamet bercerita, sebelum melihat macan kumbang itu, dia beberapa kali bertemu kucing hutan. Nah, pada saat yang ditemuinya adalah macan kumbang, awalnya dia mengira itu adalah seekor kucing hutan. Baru setelah dia amati dari jarak jauh, binatang itu ternyata macan kumbang. Pada tahun 2005 silam, Slamet juga pernah menemukan anak macan kumbang yang baru dilahirkan. Dia kemudian sempat membawa pulang. Memasukkan ke kandang, bersebelahan dengan kandang kambing miliknya. Dia juga sempat melakukan tawar-menawar dengan seseorang yang berminat membeli anak macan itu. Ternyata, ketika malam harinya, macan yang dibawa ke rumahnya mengaum-ngaum kecil. Tapi dia tak menghiraukan. Pada pagi hari, betapa mengejutkannya Slamet. Sebab, empat ekor kambing piaraannya mati dengan luka di bagian leher. Segera saja dia melepas kembali anak macan tersebut ke dalam hutan. “Mungkin karena penciumannya itu (induk macan) sampai ke tempat saya,” kata Slamet. Macan Kumbang sebenarnya termasuk dalam keluarga Macan Tutul Jawa (Panthera pardus melas) adalah salah satu subspesies dari macan tutul yang hanya ditemukan di hutan tropis, pegunungan dan kawasan konservasi Pulau Jawa, Indonesia. Macan tutul jawa adalah satwa endemik Provinsi Jawa Barat (Saat ini). Macan tutul jawa merupakan satu-satunya kucing besar yang masih tersisa di pulau Jawa. Dibandingkan dengan subspesies macan tutul lainnya, macan tutul jawa berukuran paling kecil. Subspesies ini pada umumnya memiliki tutul seperti warna sayap kumbang yang hitam mengilap, dengan bintik-bintik gelap berpola mirip bunga yang hanya terlihat di bawah cahaya terang. Hewan ini memiliki dua ragam warna kulit yaitu berwarna terang (jingga) dan hitam (Melanisme) atau lazim disebut macan kumbang. Frekuensi melanisme macan tutul jawa relatif tinggi, dimana hal ini disebabkan oleh satu alel resesif yang dimiliki oelh macan tutul. Rambut hitam macan tutul jawa sangat membantunya dalam beradaptasi dengan habitat hutan yang lebat dan gelap. Macan kumbang betinanya berciri serupa namun berukuran lebih kecil dari yang jantan. Hewan ini mempunyai indra penglihatan dan penciuman yang tajam. Hewan ini juga hidup secara soliter, kecuali pada musim berbiak. Macan tutul ini lebih aktif berburu mangsa di malam hari. Mangsanya yang terdiri dari aneka hewan yang berukuran lebih kecil seperti kijang dan babi celeng biasanya diletakkan di atas pohon setelah berhasil dilumpuhkan. Sebagian besar populasi macan tutul dapat ditemukan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, meski sebaran hewan ini membentang di semua taman nasional di Jawa mulai dari Ujung Kulon hingga Baluran. Selain itu, macan tutul dapat pula ditemukan dan hidup di luar Pulau Jawa, yaitu di Pulau Nusa Kambangan, Pulau Sempu, dan Pulau Kangean. Dikarenakan hilangnya habitat hutan serta penangkapan liar, daerah sebaran dan populasi hewan ini semakin menyusut. Macan tutul jawa berstatus konservasi terancam sejak tahun 2021 di dalam IUCN Red List dan didaftarkan dalam CITES Appendix I. Macan tutul jawa secara hukum dilindungi di Indonesia, yang tercantum di dalam UU No. 5 tahun 1990 dan PP No.7 tahun 1990.

Selasa, 18 Agustus 2015

El Nino, Musibah dan Berkah bagi Ekonomi Nasional

Opini JawaPos, 10/8/2015 9.15 wib. Oleh M. Rudi Wahyono* BELUM genap setahun umur pemerintahan Joko WidodoJusuf Kalla, berbagai problem dan pilihan sulit dalam berbagai bidang sudah menghadang. Urusan politik belum selesai, kini pemerintah menghadapi berbagai tantangan ekonomi sangat berat.Pertama, ancaman defisit APBN karena terkurasnya dana subsidi BBM untuk program-program prorakyat dan reformasi birokrasi seperti yang dijanjikan sewaktu kampanye pemilihan presiden dahulu. Pencabutan subsidi BBM dengan menyesuaikan ”harga dunia” adalah pil pahit yang harus ditelan rakyat.Kedua, penguatan kurs dolar Amerika Serikat (AS) karena membaiknya ekonomi AS yang menekan nilai rupiah sehingga terjungkal melewati batas psikologis 13.500 per USD.Tantangan ketiga adalah kondisi internal –yaitu ekonomi nasional, khususnya sektor riil– yang tak banyak terbantu oleh berbagai kebijakan pemerintah. Sedangkan yang keempat, faktor internal, yaitu lemahnya posisi pemerintah dalam mengatasi turbulensi politik dan demokrasi dalam negeri membuat nilai rupiah turun semakin tergerus.Kelima, faktor internal lain adalah kegamangan pemerintah dalam mengatasi polemik demokrasi dan politik dalam negeri sehingga membuat investor asing ”malas merealisasikan komitmen” serta cenderung mencari aman. Ancaman lain pada ekonomi nasional datang dari alam: El Nino. El Nino adalah anomali iklim bersumber dari Pasifik Selatan yang dikenal sebagai ENSO-El Nino Southern Oscillation. Fenomena alam itu terjadi di antara pesisir barat Amerika Latin dan Asia Tenggara, namun efeknya dirasakan seluruh dunia.El Nino mengakibatkan curah hujan tinggi di Amerika Latin, sebaliknya belahan bumi lain terancam kekeringan. Air laut hangat mengalir ke arah barat dari Amerika Latin. Sementara itu, arus air dingin mengarah dari kedalaman laut menuju pesisir Amerika Latin.Suhu permukaan laut pesisir Australia dan Indonesia jatuh beberapa derajat, sedangkan suhu air di Amerika Latin naik. Daratan kawasan Pasifik Barat –di Indonesia dan bagian utara Australia– justru sebaliknya: kekeringan, gagal panen, dan kebakaran hutan.Periode El Nino biasanya bertahan selama setahun dan akan berdampak cukup luas, terutama pada sektor ekonomi yang berbasis sumber daya alam. Misalnya, pertanian, perkebunan, dan kehutanan. Komoditas perkebunan utama seperti kelapa sawit, karet, kopi, dan kakao yang menjadi salah satu primadona ekspor nasional dipastikan akan terganggu.Komoditas pangan utama seperti padi, jagung, kedelai, dan kacangkacangan juga akan mengalami penurunan produktivitas. Penyebabnya, ketergantungan berbagai komoditas itu pada air sangat besar.Tapi, di sisi lain, El Nino juga sejatinya menghadirkan dampak positif bagi Indonesia, yaitu dari sisi ekonomi maritim berupa meningkatnya kunjungan ikan-ikan ” migratory” seperti tuna dan cakalang menuju perairan Indonesia yang sedang subur. Pusat Perkiraan Iklim Amerika (Climate Prediction Center) mencatat bahwa sejak 1950, telah terjadi 22 kali fenomena El Nino. Enam kejadian di antaranya berlangsung dengan intensitas kuat, yakni pada 1957– 1958, 1965–1966, 1972–1973, 1982– 1983, 1987–1988, dan 1997–1998.El Nino tahun ini diperkirakan akan terjadi hingga awal tahun depan, namun intensitasnya masih menjadi perdebatan. Pada kasus dengan intensitas lemah-sedang, untuk Juli–Agustus, El Nino akan berdampak pada pengurangan curah hujan dengan kisaran 40–80 persen (dibandingkan normalnya). Wilayah yang merasakannya terutama di sebagian Sumatera, Jatim-Bali-NTBNTT, sebagian Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan sebagian Papua.Pada September–Oktober, dampak El Nino akan semakin parah dengan ditandai meluasnya area yang mengalami pengurangan curah hujan, meliputi seluruh Sumatera kecuali Aceh, seluruh Jawa, Bali-NTB-NTT, sebagian besar Kalimantan, seluruh Sulawesi, Maluku, dan sebagian besar Papua.ESCAP, IMF, dan Bank Dunia (2014) mengungkapkan bahwa dampak ekonomi El Nino pada sektor pertanian di Indonesia adalah penurunan produksi yang mencapai 3,5 persen. Sedangkan dampak umum pada GDP (produk domestik bruto) nasional menurun 1,75 persen atau sebesar USD 7,7 miliar alias mencapai sekitar Rp 100 triliun. Sebagai sebuah negara agraris sekaligus maritim, Indonesia seharusnya bisa mengatasi dampak problem ekonomi akibat El Nino, khususnya pada ketahanan pangan. Apalagi, di sisi lain, seperti disebut di atas, El Nino merupakan ”berkah” bagi sektor maritim Indonesia.Namun, bagaimana bisa memperoleh berkah tersebut apabila nelayan kita sangat tradisional dengan perahu dan alat tangkap sederhana. Justru yang terjadi bisa sebaliknya: nelayan-nelayan asing dengan peralatan canggih akan panen. Sebenarnya Indonesia bisa berkaca dari sejarah Mesir sekitar 4.000 tahun lalu, ketika Joseph (atau Yusuf AS) mengambil berkah El Nino serta berhasil menyelamatkan ekonomi nasional. Dengan bantuan kondisi El Nino, Joseph behasil mewujudkan ”swasembada pangan” dan kemakmuran melalui programprogram efisiensi dan investasi.Sebagian besar produk nasional diinvestasikan pada sektor produktif sehingga menghasilkan banyak keuntungan sebagai cadangan pada masa paceklik. Namun, program penghematan dan ”investasi cerdik” ala Joseph itu tidak akan berhasil apabila tidak diamanahkan kepada manusia amanah. Indonesia akan lolos dan mencapai kemakmuran apabila menemukan manusia terpilih seperti Joseph.

Selasa, 06 Januari 2015

Indonesia Terlahir Sebagai Negara Maritim....!

Indonesia sebagai negara maritim bukan sekadar jargon. Menurut Menurut Direktur Studi Energi, Lingkungan, dan Maritim Center for Information and Develepment Studies (Cides) M Rudi Wahyono, fakta sejarah menunjukkan, Indonesia memang terlahir sebagai negara maritim. Kejayaan Indonesia di bidang maritim juga dibuktikan dengan banyaknya temuan-temuan situs prasejarah di beberapa belahan pulau. Memasuki masa Kerajaan Sriwijaya, Majapahit, hingga Demak, Indonesia menjadi negara yang disegani di kawasan Asia. Kerajaan Sriwijaya telah mendasarkan politik kerajaannya pada penguasaan alur pelayaran dan jalur perdagangan serta menguasai wilayah-wilayah strategis yang digunakan sebagai pangkalan kekuatan laut. Ketangguhan maritim ditunjukkan Singasari di bawah pemerintahan Kertanegara pada abad ke-13. Kerajaan Kertanegara mengirimkan ekspedisi bahari ke Kerajaan Melayu dan Campa untuk menjalin persahabatan dalam menghambat gerak Kerajaan Mongol ke Asia Tenggara. Pada 1284 mereka menaklukkan Bali dalam ekspedisi laut ke timur. Puncak kejayaan maritim nusantara terjadi pada masa Kerajaan Majapahit. Di bawah Raden Wijaya, Hayam Wuruk, dan Patih Gajah Mada, Majapahit berhasil menguasai dan mempersatukan nusantara. Pengaruhnya bahkan sampai ke negara-negara asing, seperti Siam, Ayuthia, Lagor, Kamboja, Anam, India, Filipina, dan Cina. Penemuan situs prasejarah di gua-gua Pulau Muna, Seram, dan Arguni di Maluku yang dipenuhi lukisan perahu-perahu layar menggambarkan bahwa nenek moyang Bangsa Indonesia merupakan bangsa pelaut. Selain itu, ditemukan kesamaan benda-benda sejarah antara Suku Aborigin di Australia dengan di Jawa. Ini menandakan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia telah memiliki hubungan dengan bangsa lain. Rudi mengatakan, jika dilihat dari peta yang ada, tampak jelas rute pelayaran melintasi Selat Sunda telah lama dilakukan pelaut-pelaut India, Arab yang akan menuju ke negeri Cina. Mereka biasanya singgah dulu di Phalimbham (Palembang) dan pulau Panaitan serta Kota Perak yang berada di Provinsi Banten sebelum meneruskan perjalanan pelayarannya ke negeri yang hendak ditujunya. Kejayaan para pendahulu tersebut, menurut Rudi, berdasarkan kemampuan mereka membaca potensi wilayahnya. Serta, ketajaman visi dan kesadaran mereka terhadap posisi strategis Indonesia. "Sudah saatnya negeri ini kembali menyadari dan membaca ulang narasi besar maritim Indonesia yang pernah diikrarkan dalam UNCLOS 1982," ujar Rudi. Di dalam United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 itu banyak termaktub peluang besar Indonesia sebagai negara kepulauan. Namun, lemahnya perhatian dan keberpihakan pemerintah terhadap kemaritiman yang mencakup luat, pesisir, dan perikanan menjadi kerugian besar. Seperti, lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan pada 2002 dengan alasan wilayah yang ditelantarkan. Minimnya keberpihakan pemerintah pada sektor maritim dinilai sebagai faktor utama yang menyebabkan penataan sektor maritim masih semrawut. Berujung pada lemahnya pertahanan kelautan ditandai semakin maraknya praktik illegal fishing, illegal drug traficking, illegal people, dan penyelundupan di perairan Indonesia. "Sekarang, bagaimana sejarah yang panjang itu dihidupkan lagi melalu semangat maritim kepada semua lapisan masyarakat. Agar, kembali menyadari keberadaan bangsa Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia," ujarnya.

Kamis, 30 Oktober 2014

Sabtu, 03 Mei 2014

Pelajaran dari Bencana...

Secanggih apapun sistem pemantauan bencana sistem pemantauan bencana melalui satelit dengan gambar cantik yang dihasilkannya misi utamanya adalah untuk mendukung kemampuan pemantauan lingkungan. Sayangnya, sampai saat inipun Indonesia belum memiliki sendiri kemampuan memadai dalam mengatasi masalah lingkungan atau bencana oleh berbagai sebab seperti kebakaran hutan, gempa, tsunami, gunung meletus atau banjir. Bencana alam sebenarnya konsekuensi dari kombinasi aktivitas alami (suatu peristiwa fisik, seperti letusan gunung, gempa bumi, tanah longsor) dan aktivitas manusia. Karena ketidakberdayaan manusia, akibat kurang baiknya manajemen keadaan darurat, sehingga menyebabkan kerugian dalam bidang keuangan dan struktural, dan kematian. Kerugian yang dihasilkan tergantung pada kemampuan untuk mencegah atau menghindari bencana dan daya tahan mereka. "Bencana muncul bila ancaman bahaya bertemu dengan ketidakberdayaan". Aktivitas alam yang berbahaya tidak akan menjadi bencana alam di daerah tanpa ketidakberdayaan manusia, misalnya gempa bumi di wilayah tak berpenghuni. Konsekuensinya, pemakaian istilah "alam" juga ditentang karena peristiwa tersebut bukan hanya bahaya atau malapetaka tanpa keterlibatan manusia. Besarnya potensi kerugian juga tergantung pada bentuk bahayanya sendiri, mulai dari kebakaran, yang mengancam bangunan individual, sampai peristiwa tubrukan meteor besar yang berpotensi mengakhiri peradaban umat manusia. Daerah dengan tingkat bahaya tinggi (hazard) serta memiliki kerentanan/kerawanan (vulnerability) yang juga tinggi tidak akan memberi dampak hebat jika manusia yang berada disana memiliki ketahanan terhadap bencana (disaster resilience). Konsep ketahanan bencana merupakan valuasi kemampuan sistem dan infrastruktur-infrastruktur untuk mendeteksi, mencegah & menangani tantangan serius yang mungkin timbul. Meskipun daerah tersebut rawan bencana dengan jumlah penduduk besar jika diimbangi dengan ketetahanan terhadap bencana yang cukup. Selama kurun 22 tahun, berbagai bencana alam di Indonesia telah menimbulkan kerugian ekonomi sedikitnya US$23 miliar. Data tersebut bersumber pada laporan The Asia Pacific Disaster Report 2010 yang disusun oleh Komisi Ekonomi dan Sosial PBB untuk kawasan Asia dan Pasifik (ESCAP) dan Badan PBB Urusan Strategi Internasional untuk Penanggulangan Bencana (UNISDR). ESCAP, merinci daftar negara di Asia Pasifik yang mengalami bencana alam selama periode 1980-2012. Bencana alam itu baik berupa, banjir, kekeringan, letusan gunung berapi, tanah longsor, dan lain-lain. Indonesia menempati posisi keempat dalam jumlah kasus bencana alam di Asia-Pasifik. Selama 1980-2009, negeri ini mengalami 312 kasus. Peringkat pertama dihuni China (574 kasus), kemudian disusul India (416), Filipina (349), dan Indonesia. Namun, berdasarkan peringkat jumlah korban tewas terbanyak, Indonesia menempati posisi kedua, di bawah Bangladesh. PBB mendata sedikitnya terdapat 191.164 jiwa yang tewas akibat bencana alam di Indonesia selama 1980-2009. Di Bangladesh, bencana alam dalam 20 tahun merenggut nyawa 191.650 jiwa. Untuk kerugian ekonomi akibat bencana alam, Indonesia berada di peringkat ke delapan. Selama 1980-2009, negeri ini menderita kerusakan ekonomi senilai US$22,5 miliar. Penentuan nominal kerugian itu beradasarkan pada riset harga PBB tahun 2005. Peringkat pertama diduduki China, yaitu senilai US$322 miliar. Sedangkan pada katagori jumlah korban selamat yang menderita kerugian akibat bencana, Indonesia berada di posisi kesembilan. Selama 1980-2009, sedikitnya terdapat 18 juta warga di Indonesia yang menanggung derita akibat bencana kendati mereka selamat. Peringkat pertama ditempati China. Jangan sampai kita terkapar,orang lain yang belajar. Indonesia adalah salah satu negara paling rawan bencana di dunia. negara ini menghadapi berbagai bahaya seperti gempa bumi , tsunami, letusan gunung berapi , banjir , longsor , kekeringan, dan kebakaran hutan. Data dari PBB Strategi Internasional untuk Pengurangan Bencana ( UN - ISDR ) menyebutkan bahwa dalam hal paparan manusia, atau jumlah orang yang hadir di zona bahaya yang mungkin kehilangan nyawa mereka karena peristiwa bahaya , Indonesia peringkat 1 dari 265 negara peringkat untuk bahaya tsunami , dengan 5.402.239 orang yang terkena; peringkat 1 dari 162 negara untuk longsor , dengan 197.372 orang yang terkena , peringkat ke-3 keluar dari 153 negara untuk gempa , dengan 11.056.806 orang terkena ; peringkat 6 keluar dari 162 negara untuk banjir , dengan 1.101.507 orang yang terkena , dan peringkat ke-36 dari 184 negara untuk kekeringan, dengan 2.029.350 orang terexposed. Dalam hal paparan ekonomi , yang dihitung berdasarkan jumlah Produk Domestik Bruto (PDB ) hadir di zona bahaya yang tunduk pada potensi kerugian , untuk bahaya tsunami , Indonesia menempati urutan ke-5 dari 265 negara peringkat , dengan US $ 3,46 miliar dari PDB berpotensi hilang karena tsunami – terkait bencana , karena bahaya gempa bumi , ia menempati urutan 11 dari 153 negara , dengan US $ 79,13 miliar dari PDB berpotensi hilang , karena bahaya longsor , ia menempati urutan ke-11 dari 162 negara , dengan US $ 0,84 miliar dari PDB potensial hilang , dan untuk bahaya banjir, ia menempati urutan ke-20 dari 162 negara , dengan US $ 1,05 miliar dari PDB berpotensi hilang. Dapat dikatakan bahwa baik dari segi eksposur manusia (mortalitas) dan risiko kerugian ekonomi, Indonesia peringkat di antara negara-negara yang memiliki risiko tinggi. Dengan kondisi seperti itu sudah sepatutnya kita memasukkan pendidikan 'tanggap bencana' sejak dini jangan sampai kita terkapar, namun orang lain yang belajar menolong kita. Jangan sampai kelalaian itu mengubah potensi kita dari ‘wisata alami-ecoturism’ menjadi ‘wisata bencana-eco-tragedy’ akibat kehancuran asset pembangunan kita karena mis-management atau bencana alam.

Satelit Bencana di Langit Kita

Bencana demi bencana sepertinya tak kunjung berakhir melanda tanah air kita. Mulai dari gempa, banjir, longsor, kebakaran hutan dan gunung meletus. Aneka bencana itu ternyata memicu perhatian internasional untuk mengarahkan ‘mata langitnya’ di bumi Indonesia. Saat ini kita kembali menjadi obyek penelitian sangat menarik bagi berbagai satelit observasi setelah Bencana Kebakaran hutan dahsyat pada 1997 untuk menguji keakuratan dan kecepatan pencitraan satelit bencana tsb. Sebagian provider satelit mengkategorikan bencana itu sebagai ‘picture of the month’ dan mungkin segera menjadi ‘deadly beautiful picture’ -gambar cantik yang mematikan’. Sementara otoritas pemerintah Indonesia tengah sibuk memperbaiki peralatan monitor lingkungan yang rusak, menyusul laporan adanya kegagalan alat pemantau bencana. Serta merta, beberapa lembaga internasional seperti ESA dan NASA telah merilis data pengamatan mereka pada bencana di Indonesia. Kelemahan pengamatan serta jangkauan alat pengukur atau monitor di Bumi, menjadi alasan utama mengapa berbagai negara mengembangkan satelit untuk memantau aneka bencana di permukaan bumi. Sadar makin banyaknya bencana dan perubahan lingkungan di permukaan bumi yang sulit terpantau dengan peralatan biasa maka NASA dan ESA serta JAXA berlomba meluncurkan satelit pemantau kualitas lingkungan. Saat ini tak kurang 8000 satelit mengorbit bumi, sekitar 3000 buah diantaranya masih aktif, seperti satelit cuaca, satelit komunikasi, satelit navigasi, satelit observasi, teleskop antariksa dll. Satelit observasi bumi, dikalangan peneliti dikenal sebagai Earth Observation Satellite (EOS). Dilingkungan militer dan NSA-National Security Agency satelit ini dikenal sebagai ’spy satellite’ -satelit mata-mata, karena bisa digunakan untuk memantau objek di permukaan bumi secara akurat.Teknologi penginderaan jauh menjadi tumpuan utama banyak negara ditengah kendala pengamatan langsung di lapangan seperti badai siklon tropis, kebakaran hutan atau letusan gunung api. Selain didukung peralatan pemantauan di permukaan bumi. Sentinel-1 Setelah masa aktif Envisat satelit milik ESA-European Space Agency dengan misi observasi atmosfer, kelautan, daratan dan lapisan es berakhir pada April 2012. Esa sudah mempersipakan satlit lingkungan generasi selanjutnya yaitu Sentinel-1 dan Sentinel 2. Data satelit lingkungan tsb dipakai untuk mendukung riset kebumian dan berperan dalam monitoring perubahan lingkungan dan iklim global. Seperti seniornya Envisat, Sentinel-1 memiliki 2 elemen dasar yaitu: pertama, platform polar multimisi untuk misi observasi bumi masa depan. Kedua, pengembangan instrumen misi terintegrasi untuk keperluan aplikasi ilmiah, riset, dan operasional meteorologi. Envisat mengorbit pada sun-synchronous polar orbit dengan ketinggian 800 km dari muka air laut. Kemampuan merekam obyek yang sama dilakukan setiap 35 hari, dan sebagian besar sensor memiliki cakupan area (swath) yang lebar sehingga mampu meliput seluruh permukaan bumi dalam 1 hingga 3 hari. ESA sedang mengembangkan lima misi baru yang disebut Sentinel khusus untuk kebutuhan operasional program Copernicus. Misi ini membawa berbagai teknologi , seperti radar dan instrumen pencitraan multi- spektral tanah , laut dan pemantauan atmosfer : Sentinel - 1 adalah satelit polar orbit, mampu bekerja di semua cuaca, siang- malam misi melayani pencitraan radar untuk tanah dan laut. Aura Satelit Aura (EOS CH-1) adalah satelit NASA milik multi-nasional untuk penelitian ilmiah di orbit sekitar Bumi, mempelajari lapisan ozon Bumi, kualitas udara dan iklim. Satelit ini adalah bagian ketiga dari Earth Observing System (EOS) berikut pada Terra (diluncurkan 1999) dan Aqua (diluncurkan 2002). Nama "Aura" berasal dari kata Latin untuk udara. Satelit ini diluncurkan dari Vandenberg Air Force Base di 15 Juli 2004 melalui roket Delta II 7920-10L. Satelit Aura memiliki bobot sekitar 1.765 kg. Dengan panjang 6,9 m dengan didukung tenaga panel surya tunggal sepanjang 15 m. Dalam kasus letusan Kelud satelit ini berhasil mencitrakan penyebaran debu SO2 di seluruh pulau Jawa dan samudera Hindia. CALIPSO Calipso adalah satelit lingkungan produksi NASA bersama (USA) dan CNES (Prancis) satelit lingkungan, dibangun di Cannes Mandelieu Space Center, yang diluncurkan di atas sebuah roket Delta II pada tanggal 28 April 2006. Namanya adalah singkatan dari Cloud-Aerosol Lidar dan Infrared Pathfinder Satellite Observation. Instrumen penginderaan jauh pasif dan aktif di papan Calipso satelit memantau aerosol dan awan 24 jam sehari. Calipso merupakan bagian dari formasi serangkaian beberapa satelit lain (Aqua, Aura dan CloudSat). Parasol Satelit Parasol (Polarization & Anisotropy of Reflectances for Atmospheric Sciences coupled with Observations from a Lidar) (Polarisasi & Anisotropy of Reflectances) Ilmu Atmosfer ditambah dengan Pengamatan tekonologi LIDAR adalah satelit pengamat bumi yang dibangun di Perancis. Satelit Ini membawa alat yang disebut ‘Polder’ yang mempelajari radiasi dan microphysical sifat awan dan aerosol. Parasol diluncurkan dari pelabuhan antariksa Perancis di Kourou, Guyana Prancis pada tanggal 18 Desember tahun 2004 oleh roket Ariane 5 G+. Satelit ini terbang bersama beberapa satelit lain (Aqua, Calipso, CloudSat dan Aura). Satelit ini memiliki fungsi gabungan rangkaian instrumen lengkap untuk mengamati awan dan aerosol, dari radiometers pasif menjadi aktif LIDAR dan radar sounders. TerraSAR-X TerraSAR-X merupakan satelit pertama German yang dibuat kerjasma antara badan antariksa German, German Aerospace Center (Deutsches Zentrum für Luft- und Raumfahrt; DLR) dan Astrium GmbH in Friedrichshafen. Satelit Terra merupakan satelit polar orbit dan aktif mengirimkan sinyal data X band ke stasiun buminya. Terra SAR mampu bekerja dalam segala cuaca dan memiliki resolusi hingga satu meter. Pihak DLR bertanggung jawab pada pengoperasian satelit untuk kepentingan saintifik, sekaligus bertugas merencanakan, melaksanakan serta mengendalikan misi satelit tsb. Komersialisasi satelit ini dikendalikan oleh Infoterra GmbH. Pada peristiwa letusan Kelud 14022014 satelit ini langsung memberikan laporan berupa gambar kubah lava beberapa hari setelah letusan.
COSMO-Skymed (Italia) COSMO-SkyMed-(Constellation of small Satellites for the Mediterranean basin Observation adalah satelit observasi bumi yang dimiliki oleh Kementrian Pertahanan dan Riset Italia yang dioperasikan oleh lembaga antariksanya (ASI) untuk keperluan militer dan sipil. Satelit ini terdiri atas empat buah satelit ukuran medium yang dilengkapi dengan sensor SAR-synthetic aperture radar (SAR). Satelit ini mengorbit daerah target dalam segala cuaca beberapa kali dalam sehari. Citra yang ditampilkan satelit ini digunakan untuk kepentingan keamanan dan pertahanan Italia, atau membantu negara lain diantaranya untuk analis bahaya kegempaan, memantau kerusakan lingkungan dan pemetaan pertanian. RadarSat Radarsat, satelit milik pemerintah Kanada dan dioperasikan oleh Badan Ruang Angkasa Kanada (CSA). Satelit ini diluncurkan pada tanggal 4 Nopember 2005. Radarsat beroperasi pada ketinggian sekitar 800 km, dengan menggunakan saluran/band tunggal pada frekuensi 5.3 GHz. atau pada panjang gelombang 5.6 Cm. saluran / band ini sering dikenal dengan Band-C dengan Polarisasi HH (Horisontal-Horisontal). Kelebihan sensor aktif pada Radarsat adalah mampu mengarahkan sudut masuk (Insidence Angle) bervariasi, sehingga memungkinkan untuk mendapatkan beberapa kualitas jenis citra, terutama dari segi resolusi spasialnya. Radarsat dapat beroperasi setiap saat, baik siang maupun malam. MODIS MODIS -Moderate resolution Imaging Spectroradiometer-, adalah satelit untuk monitoring lingkungan global, seperti monitoring potensi dan dampak bencana alam, dan pengamatan cuaca di wilayah perairan. MODIS adalah salah satu instrument utama yang dibawa Earth Observing System (EOS) Terra satellite, yang merupakan bagian dari program antariksa Amerika Serikat, National Aeronautics and Space Administration (NASA). Program EOS merupakan program jangka panjang untuk mengamati, meneliti dan menganalisa lahan, lautan, atmosfir bumi dan interaksi diantara faktor-faktor ini. MODIS mengorbit bumi secara polar (arah utara-selatan) pada ketinggian 705 km dan melewati garis khatulistiwa pada jam 10:30 waktu lokal. Lebar cakupan lahan pada permukaan bumi setiap putarannya sekitar 2330 km. MODIS dapat mengamati tempat yang sama di permukaan bumi setiap hari, untuk kawasan di atas lintang 30, dan setiap 2 hari, untuk kawasan di bawah lintang 30, termasuk Indonesia.

Kamis, 01 Mei 2014

Polusi dari Letusan Gunung Api..

Dari sisi geografis teritorial Indonesia terhampar pada ’ring of disaster’, berupa pertemuan dua lempeng benua Euroasia dan lempeng Indo-Australia, serta sabuk gunung api ‘Circum Pacific’ dan ‘Circum Mediterrania’ yang potensial menjadi sumber bencana tektonik dan vulkanik serta tsunami. Pendek kata, apabila kita tidak siaga bencana serta mengelola dan mempersiapkan pengelolaan sumber daya maka semua potensi alam diatas bisa berubah dari ‘eco-tourism’ manjadi ‘eco-tragedy’. Mengubah ‘wisata alami’ menjadi ‘wisata bencana’ akibat kehancuran asset pembangunan karena mis-management atau bencana alam. --- Tak sampai Seminggu, letusan Gunung Sinabung di Sumatera Utara segera disusul Gunung Kelud di Jawa Timur, Kamis (13/2/2014) malam. Letusan gunung api ‘type kubah lava pyroklastik’ itu mencapai ketinggian 17 kilometer menyemburkan jutaan meter kubik material berbahaya menyebabkan penutupan sejumlah bandara dan membatalkan ribuan penerbangan. Letusan Kelud menyebarkan sejumlah material menimbulkan polusi udara serta merusak ribuan rumah dan sarana infrastruktur lain. Tiga unsur utama dalam letusan gunung yi: nitrogen, sulfur dan mineral. Apabila gunung api meletus secara berturut-turut akan mengemisikan NOx,SOx dan ROx (partikulat) yang langsung berdampak menurunkan kualitas udara sangat parah. Adanya emisi partikulat dan aerosol mengandung SOx, NOx dan debu (partikulat) (fly ash dan bottom ash) tergolong limbah B3 bahan beracun dan berbahaya dalam bentuk. debu/partikel, sulfur dioksida, nitrogen oksida , dan hujan asam. Dampak lanjutannya yaitu jatuhan partikel (fall out) akan menurunkan kualitas air, menurunkan tingkat kesehatan masyarakat serta menyebabkan matinya ribuan organisme air seperti ikan, berudu, katak dll. Pasca letusan gunung menimbulkan aneka dampak lingkungan dan kesehatan meluas. Material berupa : Debu/partikel Asap, abu terbang (fly ash), debu dan lain-lain adalah emisi gunung berbentuk aerosol padat dan cair di udara dengan ukuran yang berbeda. Partikel dalam bentuk suspensi mempunyai ukuran 0,0002 – 500 mikron dan partikel dengan ukuran ini akan bertahan pada bentuknya sekitar beberapa detik sampai satu bulan, nilai pencemaran ini dihitung sebagai TSP (Total Suspended Particulate, jumlah partikel tertahan). Keberadaan partikel di udara dipengaruhi oleh kecepatan partikel yang ditentukan oleh ukuran, densitas serta aliran udara akrena hembusan angin. Partikel di udara ini akan mengotori berbagai benda, menghalangi pandangan/sinar serta membawa gas-gas beracun ke paru-paru. Sulfur dioksida (SO2) Gas Sulfur Oksida (SOx) terdiri 2 jenis gas tidak berwarna yaitu gas Sulfur Dioksida (SO2) dan Sulfur Trioksida (SO3). SO3 merupakan gas sangat reaktif. Letusan gunung identik dengan proses proses pembakaran mengeluarkan gas SO2dan SO3 dan sebagian besar gas yang terbentuk adalah SO2. Pembentukan gas SO3 akan tergantung pada temperatur jumlahnya berkisar antara 1 – 10 persen dari total SOx. Nitrogen Dioksida Letusan gunung juga menyebarkan polusi NO2. Nitrogen dioksida (NO2) meningkatkan kerentanan terhadap infeksi, mengganggu paru-paru, menyebabkan oedema, bronchitis dan pneumonia, dan menyebabkan serangan asma. Hujan Asam Dampak letusan gunung api lanjutan adalah hujan asam. Endapan hujan asam di Indonesia dimonitor oleh Pusat Pengelolaan Lingkungan (EMC), Kementerian Lingkungan Hidup, sejak 1998, melalui pengambilan contoh secara terus menerus dari endapan basah dan kering. Tingkat pH rata-rata dalam curah hujan untuk tahun 1998 adalah 4,8 untuk 10 kota di Indonesia, yang menyatakan suatu peningkatan keasaman dari tingkat-tingkat tahun 1996 sebesar 5,5. Hujan yang mempunyai pH lebih rendah dari 5,6 dianggap “hujan asam”. Saat ini 10 kota mempunyai tingkat pH lebih rendah dari 5,5, tingkat yang paling asam ditemukan di DKI Jakarta, diikuti oleh Surabaya dan Bandung. Hujan asam merupakan hasil dari ion nitrat dan sulfat yang membentuk asam sulfur dan asam nitrat dalam air hujan. Sumber dari nitrat dan sulfat adalah emisi bahan pencemar udara. Konsentrasi Nitrat (NO3) dalam air hujan antara tahun 1996 dan 1998 adalah tertinggi di Bandung (3,0 mg/L), DKI Jakarta (2,3 mg/L), dan Surabaya(1,2 mg/L). Konsentrasi rata-rata sulfat (SO4) dalam air hujan selama periode tersebut adalah juga tertinggi di Bandung (3,5 mg/L).
Hujan asam menyebabkan tanah menjadi asam sampai tercapai suatu tingkat yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman dan hasil tanaman. Kerusakan langsung terhadap tanaman disebabkan oleh endapan hujan asam, nitrat dan sulfat pada daun-daun tanaman. Pengaruh lain dari bagian hujan asam akibat polusi udara dari gunung meletus termasuk berkurangnya pH di sumur penduduk, danau dan sungai sehingga menyebabkan matinya berbagai organism air. Sehingga menyebabkan kerugian ekonomi sektor pertanian dan perikanan sangat besar.

Selasa, 08 April 2014

Daya Saing Indonesia Menjelang MEA 2015

JAKARTA (Suara Karya); Setahun menjelang berlakunya kesepakatan pasar tunggal Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) mulai tahun depan, daya saing Indonesia masih lemah. Ini terkait ketersediaan infrastruktur, administrasi, komunikasi, serta kualitas sumber daya manusia (SDM). Menurut Direktur Central of Information and Development Studies (Cides) M Rudi Wahyono, kesiapan infrastruktur dasar, efisiefisi ekonomi, dan inovasi SDM harus ditingkatkan agar Indonesia tidak tersungkur di era MEA. Melalui MEA, persaingan ekonomi di ASEAN menjadi terbuka. Lebih lanjut, persaingan itu akan diperluas hingga meliputi Tiongkok dan Jepang lewat Asian Free Trade Area. "Pasar bebas ASEAN diberlakukan mulai tahun 2015 sebagai prakondisi pasar bebas APEC mulai tahun 2020. Dengan itu, pertarungan ekonomi di kawasan APEC menjadi dahsyat," kata Rudi di Jakarta, Minggu. Menurut dia, hingga kini SDM Indonesia 40 persen setara lulusan SD, 24 persen setara SLTP, 26 persen setara SLTA, 4 persen akademi/diploma, serta 6 persen sarjana. Konsekuensi liberalisasi dan integrasi ekonomi ke dalam satu pasar tunggal MEA adalah serbuan tenaga kerja berkeahlian dari luar. Tenaga kerja asing akan berebut peluang dengan tenaga kerja lokal di sektor informal, formal, ataupun profesional. Perusahaan-perusahaan yang memindahkan atau memperluas basis ke Indonesia biasanya cenderung menggunakan tenaga kerja berkualifikasi lebih baik dengan tingkat upah relatif sama. Menurut Rudi, pramusaji, roomboy, caddy golf, penjaga stan pameran, pemandu wisata, instruktur ekowisata, hingga sopir taksi kelak harus bersaing dengan pekerja dari Tiongkok, Bangladesh, Filipina, bahkan dari Eropa. Demikian juga dengan tenaga profesional di bidang hukum, 'kesehatan, pendidikan, keuangan, bahkan perdukunan dan paranormal. Pendidikan, pelatihan, penguasaan bahasa asing, dan juga penampilan fisik turut dipersaingkan dan dipersandingkan dalam era liberalisasi ini. "Di berbagai lembaga pendidikan menengah dan perguruan tinggi, seperti di Thailand, Filipina, dan Australia, program pendidikan bahasa dan budaya Indonesia telah dibuka dengan gratis dan banyak peminatnya. Itulah sekelumit cara mereka mempersiapkan diri untuk merebut pasar Indonesia,” ujar Rudi. Karena itu, menurut Rudi pula, komunitas bisnis melalui berbagai asosiasi harus diberdayakan dan aktif memantau peluang maupun kendala eksternal.Mereka juga harus memberikan masukan kepada pemcrintah. Di sisi lain, kementerian atau lembaga negara maupun pemerintah daerah harus terintegrasi secara komprehensif, sinergis alias tak terkotak-kotak dalam ego sektoral. Rudi menambahkan, infrastruktur di Indonesia masih tertinggal dibanding di negara ASEAN lain. Total ruas jalan tol di Indonesia baru 750 kilometer, sementara Malaysia telah memiliki 3.500 kilometer. "Demikian juga pelabuhan, di negara kepulauan dan maritim ini justru buruk. Sebagai negara dengan pantai terpanjang di dunia, kita baru memiliki 18 pelabuhan samudra. Sementara Thailand, sebagai perbandingan, sudah memiliki pelabuhan besar untuk setiap 50 kilometer panjang pantainya," tutur Rudi.