Selasa, 15 Oktober 2013

Agent Orange: Herbisida Pembunuh Massal

AmerikaSerikat adalah negara yang paling semangat untuk melucuti senjata kimia yang katanya digunakan Presiden Bashar Al-Assad di Suriah. Menurut informasi yang dilansir dari VOA-Islam.com, Suriah dikatakan memiliki cadangan senjata kimia terbesar di dunia, termasuk gas mustard dan ”agen syaraf”, senyawa sarin. Senjara kimia itu, katanya pernah pula digunakan Saddam Husein untuk menyerang wilayah Kurdi di Halabjah dan menewaskan ratusan orang pada tahun 1986. Juni lalu Amerika mengklaim pihaknya memiliki bukti kuat yang meyakinkan bahwa rezim Bashar al-Assad menggunakan senjata tersebut terhadap kekuatan oposisi. Mungkin pepatah ”semut di seberang lautan bisa terlihat, tapi gajah di pelupuk mata tidak dapat dilihat” ada benarnya. Amerika bisa jadi sudah lupa, bahwa mereka pernah menggunakan senjata kimia dengan kode ”Agent Orange” pada perang Vietnam tahun 1962 hingga 1971. Bangsa Vietnam sampai kapan pun tidak akan pernah lupa, karena dampak sang agen masih tampak hingga generasi saat ini. Penggunaan senyawa kimia tersebut kanker alat reproduksi perempuan, kanker ginjal, kanker testis, leukemia, aborsi spontan, cacat kelahiran, kematian neonatal (bayi), dan stillbirths (berat badan rendah di waktu lahir), kanker di masa kanak-kanak, parameter sperma yang abnormal, gangguan neuropsikiatris kognitif, ataxia, gangguan sistem saraf periferi, gangguan peredaran, gangguan pernapasan, kanker kulit, kanker saluran kencing dan kandung kencing. Kenyataannya, ribuan kelahiran bayi di berbagai daerah di Vietnam mengalami kelainan yang sangat mengerikan dan kelahiran tidak sempurna akibat senyawa ini. ”Agent Orange” mendapatkan namanya dari tong-tong bergaris oranye berukuran 55 galon. Campurannya 1:1, dari dua herbisida fenoksi dalam bentuk ester, 2,4 dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D) dan 2,4,5- trichlorophenoxyacetic acid (2,4,5-T). Kedua herbisida ini dikembangkan pada tahun 1940-an oleh tim-tim independen di Inggris dan Amerika Serikat untuk me ngendalikan tanaman-tanaman berdaun lebar. ”Agen-agen” fenoksi ini bekerja dengan meniru hormon pertumbuhan tanaman, indoleacetic acid (IAA). Bila disemprotkan kepada tanaman-tanaman berdaun lebar, mereka merangsang pertumbuhan yang cepat dan tidak terkendali dan akhirnya merontokkan daun-daunnya. Herbisida ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 1946 dan dipergunakan secara luas dalam pertanian pertengahan 1950-an di ladang-ladang pertanian di Aguadilla, Puerto Rico. Bila disemprotkan pada tanaman-tanaman seperti gandum atau jagung, ia secara selektif akan mematikan hanya tanaman-tanaman yang berdaun lebar di ladang ilalang dan membiarkan tanaman lainnya relatif tidak terpengaruh. Pada saat ”Agent Orange” dijual kepada pemerintah AS untuk digunakan di Vietnam, semua memo intern pabrik-pabriknya meng - ung kapkan, telah diketahui bahwa dioxin, 2,3,7,8-tetrachlorodibenzo-para-dioxin (TCDD), diproduksi sebagai produk sampingan dari pembuatan 2,4,5-T, dan itu terdapat dalam herbisida mana pun yang menggunakannya. Program Toksikologi Nasional Amerika telah menggolongkan TCDD sebagai zat karsinogen atau penyebab kanker bagi manusia. Dan sejak itu 2,4,5-T telah dilarang dipergunakan di Amerika maupun di banyak negara lainnya. Meskipun herbisida 2,4-D tidak mengandung dioxin, dampaknya terhadap kesehatan dan lingkungan hidup belum secara tuntas dipelajari, dan tetap merupakan salah satu jenis herbisida yang paling luas dipergunakan di dunia sekarang. Universitas Columbia di New York pernah memublikasikan hasil analisis ulang terhadap catatan militer selama masa Perang Vietnam berlangsung (1961-1975). Laporan itu membeberkan bahwa, militer Amerika sedikitnya menggunakan tujuh juta liter senyawa kimia bernama ”Agent Orange”. Senyawa kimia tersebut mempunyai kekuatan dua kali lebih berbahaya dari racun karsinogen. Akibat yang dihasilkan, sedikitnya 10 ribu bayi terlahir cacat, dan menjadi beban hidup dari generasi ke generasi. Makanya, ketika Amerika begitu semangat melucuti senjata kimia di Irak, banyak tokoh tokoh di Vietnam yang mengecam tindakan Amerika tersebut. ”Bagaimana mungkin Amerika mengklaim ingin melucuti senjata pemusnah massal Irak de ngan menggelar perang, sedangkan mereka sendiri jelas-jelas menggunakannya dalam Perang Vietnam? Seorang kriminal (dalam kasus ini pemerintahAmerika) tentu tidak mudah me ngakui perbuatannya. Karena itulah, masyarakat dunia akan mengutuk semua tindakannya,” tutur Ketua Palang Merah Vietnam, Nguyen Trong Nhan seperti dilansir dari news.indonesianvoices. com Sementara itu, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Vietnam, Phan Thuy Thanh pun mempertanyakan sikap Amerika saat akan mengintervensi Irak dulu. ”Prioritas Amerika seharusnya bukan melucuti senjata pemusnah massal Irak, tapi justru harus menolong korban senjata kimia ’Agent Orange’ yang mereka ciptakan selama Perang Vietnam,” katanya. Pada tahun 1984, sebenarnya Amerika pernah menyetor dana sebesar 180 juta dolar Amerika untuk para korban. Namun sepuluh tahun kemudian, pemerintah Amerika di Washington D.C. memutuskan menghentikan bantuan kompensasi ini. Padahal, generasi baru korban kejahatan sang ”Agent Orange” terus lahir di Vietnam. Perang memang memiliki dampak yang buruk bagi banyak orang. Perang tanpa zat kimia saja sudah banyak korban berguguran, apalagi dengan senjata kimia. Karena dampaknya tak hanya bagi mereka yang berperang, tapi kecacatan bagi generasi selanjutnya. Jadikan Vietnam sebagai pelajaran untuk tak lagi menggunakan zat kimia sebagai senjata pemusnah massal. (Feby Syarifah)***

Senin, 14 Oktober 2013

Zat-zat Kimia Andalan Perang

Bukan rahasia lagi, kalau senjata kimia merupakan senjata ampuh mematikan yang mampu membunuh banyak manusia dalam waktu sekejap saja. Misalnya perang Italia terhadap Etiopia, Jepang terhadap Cina, Jerman terhadap Rusia, Irak terhadap suku Kurdistan, semuanya menggunakan senjata kimia. Bahkan, Rusia dan Amerika menggunakan 100.000 ton racun herbisida dioksin untuk perang di Asia Tenggara seperti di Laos, Kamboja, dan Vietnam. Di Afganistan, ditemukan pula senjata kimia berupa gas mustard. Di Kamboja dan Laos ditemukan racun saraf riot control dan mycotoxin atau racun dari jamur. Nah, berikut adalah contoh zat-zat kimia yang bisa atau pernah dimanfaatkan oleh beberapa negara dalam menghabisi musuh-musuh mereka. Pertama ada VX, racun berbahaya dalam bentuk cair dan uap ini dapat menyerang sistem saraf pusat. Bahan kimia ini dianggap 100 kali lebih beracun melalui sentuhan terhadap kulit daripada saraf, dan dua kali lebih berbahaya melalui pernapasan. "VX dapat menyebabkan kematian beberapa menit setelah terkena. Bahan kimia itu mematikan dengan menyerang otot yang dikendalikan dalam keadaan aktif sehingga otot lelah dan tidak dapat bernapas lagi," ujar peneliti Center for Information and Development Studies, M Rudi Wahyono. Pakar Kimia Dasar Institut Teknologi Bandung, Lia Juliawati mengatakan, senyawa kimia yang paling toksik sebagai senjata kimia yaitu VX. Zat ini 10 kali lebih toksik atau beracun daripada zat kimia sarin yang juga menyerang sistem saraf. Senyawa berwujud cair yang memiliki viskositas yang tinggi ini, mudah menguap, tak berbau, dan dapat bertahan lama. "Senyawa ini merupakan inhibitor enzim asetilkolinesterase. Dalam bentuk cairan, senyawa ini akanterabsorpsi melalui mata atau kulit. Prosesnyamembutuhkan waktu 1 hingga 2 jam sehingga menghasilkan efek kematian. Bila wujudnya gas, akan lebih mematikan dan bekerja sangat cepat apabila terhirup. Senyawa ini akan membloking fungsi enzim asetilkolinesterase sehingga syaraf terisolasi dan menjadi tak terkontrol," paparnya. Zat kimia kedua yang tak kalah berbahayanya adalah sulfur mustards; gelembung dan unsur perantara alkali. Bahan kimia ini tak berwarna dalam keadaan murni, tetapi secara umum berwarna kuning hingga cokelat dan sedikit berbau mustard atau bawang putih. "Sulfur mustards menyebabkan luka pada kulit, mata, dan saluran pernapasan. Tidak ada penawar racun atas keracunan sulfur mustard, satu-satunya cara efektif yaitu dengan mengurangi kontaminasi semua daerah yang terkena. Sepuluh miligram bahan kimia itu dapat menewaskan korbannya," kata mantan asisten Biokimia di UGM itu. Zat kimia ketiga yakni, Sarin. Komponen yang sangat beracun baik dalam bentuk cair atau pun gas ini menyerang sistem syaraf pusat dan dapat menimbulkan kematian beberapa menit setelah terkena. Bahan ini memasuki tubuh melalui pernapasan, pencernaan, mata, dan kulit. Ada juga chlorine. Zat kimia keempat ini berbentuk senyawa gas kuning kehijauan dengan bau tajam yang lebih berat dari udara. Bahan ini bereaksi dengan berbagai bahan organik, menimbulkan api dan ledakan keras. Menimbulkan efek korosif pada mata dan kulit. Penyebaran melalui udara menyebabkan kesulitan bernafas dan edema paru-paru. Tingkat terkena yang tinggi dapat menyebabkan kematian. Bahan kimia kelima yang juga pernah digunakan semasa perang adalah hydrogen cyanide. Zat kimia ini sangat mudah terbakar, tidak berwarna dalam bentuk gas ataupun cair. "Dalam keadaan terbakar, ia menyebarkan racun dan dapat memicu ledakan. Zat ini juga dapat menimbulkan iritasi mata, kulit dan saluran pernafasan. Bahan ini dapat menyerang sistem syaraf pusat sehingga sirkulasi tidak berfungsi," ujar Rudi. (Feby Syarifah)

Senjata Kimia: Mudahnya Memproduksi Pembunuh Massal

Beberapa waktu terakhir layar televisi kita banyak menayangkan berita mengenai perang saudara di salah satu negara Islam di Timur Tengah, Suriah. Yang lebih meresahkan, mereka disebut-sebut menggunakan senjata kimia yang mampu membunuh banyak orang hanya dalam waktu singkat. Karena hal itulah, Amerika Serikat dan sekutunya mendesak Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mengintervensi konflik tersebut dan menginvestigasi kebenaran adanya senjata kimia. Menurut peneliti Center for Information and Development Studies, M Rudi Wahyono, kecaman atas penggunaan senjata kimia sebenarnya sudah mencuat sejak abad ke-17. Deklarasi Brussel, yang isinya melarang penggunaan peluru beracun disepakati pada tahun 1874. Selanjutnya pada 17 Juni 1925, ditanda tangani Protokol Jenewa yang melarang penggunaan bahan kimia beracun bagi organ pernapasan. Sayangnya dalam protokol ini tidak tercakup pelarangan pengembangan, produksi, dan penyimpanan senjata kimia. "Langkah konkret baru terlihat hampir tiga perempat abad kemudian, yaitu dengan disepakatinya Perumusan Konvensi Pelarangan Pengembangan, Produksi, Penimbunan, Penggunaan, dan Pemusnahan Senjata Kimia atau disebut sebagai Konvensi Senjata Kimia (KSK). Konvensi itu disepakati pada 3 September 1992 dalam suatu forum Konferensi Pelucutan Senjata PBB di Jenewa," ujarnya minggu lalu. Momentum tersebut, menurut Rudi, di samping secara yuridis menandai dimulainya pelarangan secara total penggunaan salah satu jenis senjata pemusnah massal, juga merupakan tonggak bersejarah dalam bidang pelucutan senjata. Pada tanggal 29 April 2002, Organisasi Pelarangan Senjata Kimia atau The Organization for the Prohibition of Chemical Weapons (OPCW) telah berhasil menghancurkan jutaan senjata kimia serta ribuan ton bahan kimia beracun dan mematikan, baik yang digunakan dalam peperangan ataupun untuk tujuan terorisme. Dalam seribu hari pertamanya sejak KSK diberlakukan, yakni tanggal 28 April 1997, lebih dari 600 inspeksi di 35 negara pihak telah dilaksanakan oleh 203 inspektur OPCW. Senjata kimia Menurut Rudi, bahan kimia bisa digunakan sebagai senjata, bila hasil olah bahan kimia, baik itu berwujud senyawa kimia cair, gas, maupun padat bertujuan dan mengakibatkan musuh menjadi korban kontaminasi baik langsung ataupun tidak langsung. Sementara itu, menurut Pemerhati Pertahanan dan Alutsista TNI, Jagarin Pane, zat kimia bisa disebut sebagai senjata kimia diawali dengan nawaitunya alias niatnya. Sama dengan narkoba, kalau untuk keperluan dunia kedokteran dalam dosis yang terukur untuk pengobatan dan penyembuhan, ya tidak ada masalah. "Akan tetapi, jika sudah disalahgunakan, akan menyentuh wilayah hukum, makanya disebut penyalahgunaan narkoba. Contohnya, air aki atau asam sulfat atau H2SO4 jelas salah satu penggunaannya untuk battery power penggerak, tapi jika disiramkan ke wajah menjadi salah besar karena tidak sesuai peruntukannya," tuturnya. Dalam sejarahnya, menurut Jagarin, Perang Dunia I menjadi saksi sejarah perang modern betapa kejamnya penggunaan senjata kimia. Jerman menggunakan gas klorin di Belgia yang menewaskan 15.000 tentara lawan kemudian pihak Inggris dan sekutunya melakukan pembalasan de - ngan menggunakan gas sulfur mustard. Inilah cikal bakal lahirnya Protokol Jenewa tahun 1925. "Perang Vietnam tahun 1961 sampai dengan 1975 merupakan salah satu perang tanpa etika karena penggunaan senjata kimia. AS membombardir Vietnam dengan menggunakan senjata kimia, salah satunya dikenal dengan nama Agent Orange. Setidaknya 20 juta galon senjata kimia, termasuk agent orange, disebar dari udara di bumi Vietnam. Versi Pemerintah Vietnam menyebutkan, 400.000 orang Vietnam tewas atau cacat berat, 500.000 bayi lahir cacat, dan 2 juta warga Vietnam terkena kanker dan penyakit lain sebagai dampak lanjutan penggunaan senjata kimia itu," kata Jagarin menjelaskan. Regulasi universal tentang kepemilikan senjata kimia sama ketatnya dengan kepemilikan senjata nuklir. Protokol Jenewa tahun 1925 jelas menyatakan melarang penggunaan senjata kimia. "Hanya karena proses membuat senjata kimia itu lebih mudah dibandingkan dengan senjata nuklir, kontrol untuk kepemilikan senjata kimia lebih sulit terdeteksi. Semua negara di dunia ini punya potensi untuk membuat senjata kimia yang dikenal dengan senjata pemusnah massal," tutur Jagarin lagi. Setiap negara memang bebas membuat dan mengembangkan industri kimianya. Bebas tapi juga mestinya bertanggung jawab. "Kita punya industri kimia berskala besar, Petrokimia Gresik, Pupuk Iskandar Muda, Pupuk Sriwijaya, Pupuk Kujang, dan sebagainya. Itu semua kan industri kimia untuk keperluan perdagangan dan pertanian. Nah, untuk memastikan bahwa industri kimia itu adalah untuk tujuan damai dan tidak disalahgunakan, harus ada regulasi yang mengatur berupa Undang-Undang," ucap Jagarin menegaskan. Sebagaimana dicantumkan dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 1998, antara lain menyatakan bahwa Indonesia tidak memiliki dan tidak ingin mengembangkan senjata kimia. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia, khususnya Departemen Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia sebagai institusi yang bertanggung jawab dalam sistem persenjataan tidak merencanakan mengembangkan dan memanfaatkan sistem senjata kimia tersebut untuk peperangan. (Feby Syarifah)***

Yudhoyono Unhappy With Criticism of Food Policy

President Susilo Bambang Yudhoyono has accused critics of his government’s food policies of having political motives instead of expressing genuine concern about ongoing shortages of staple foods. He said in Jakarta on Tuesday that he would intervene if the politicization of the crisis got out of hand. “Some of the critics do actually care about the economy and understand the present economic conditions, but some have ulterior motives that are not always economic,” he said. “You can understand next year there will be a general election,” he added, suggesting that his opponents were more interested in jockeying for position rather than expressing any real interest in current national affairs. Yudhoyono said he had instructed his cabinet not to pay too much attention to the negative comments and just carry on with their duties. The government has come under fire over the scarcity of several food commodities and skyrocketing prices following the weakening of the rupiah against the US dollar, because of its heavy reliance in importing food. “If political statements get out of hand then I will intervene,” the president said. “I will explain to the people what the real problem and situation is. On food, we do have a small food surplus and we export that, but it is not enough.” Yudhoyono went on to explain that the country had been facing shortages of some food commodities, compelling the government to import produce to compensate for the shortfall. He added that the high prices were caused by the current global economic climate, but stressed that the government was still addressing the problem. Analysts and critics have accused the government of being helpless in dealing with importers that function as cartels, throttling supplied of much-needed produce such as soybeans in order to drive up prices and exploit the ongoing shortage. Critics say that part of the problem is the absence of legislation that would allow the government to take meaningful action against the perpetrators. “Indonesia does not have a law against anti-trust activities,” Rudi Wahyono, a researcher with the Center of Information and Development Studies (CIDES), said during a roundtable discussion on agribusiness in Jakarta on Tuesday. “Therefore, cartels cannot be legally prosecuted, and this allows unscrupulous businesspeople to collude to keep food prices high.” Rudi said the government had only focused on meeting demand through imports and had so far failed to make any progress on boosting domestic food production, arguing that imports, no matter how costly, did not free the country from the risk of widespread food shortages. Data from the Global Food Security Index 2012, released by the Economic Intelligent Unit, showed Indonesia scored below 50, on a scale of 0 to 100, in its food security index, putting it below neighboring countries such as Malaysia, Thailand, Vietnam and the Philippines. Three factors highlighted in the study were malnutrition, children’s weight and mortality rate. Rudi said malnutrition in Indonesia indicated the country had entered a “red zone” because the government was too busy thinking about how to meet food demand and overlooking the importance of becoming self-sufficient. He said that ideally, the government should prioritize independence through food self-sufficiency programs and prepare strategies to prevent the current food crisis from worsening. “First, self-sufficiency can be achieved by issuing policies prioritizing small farmers. This can be done through technological innovation and the development of institutions. That way, farmers can grow in line with modernization,” he said. “We need to establish state institutions and bodies to maintain food and price resilience. Finally, by launching social protection and nutrition drives, we can calculate the public’s needs for iodine, vitamins and minerals.” The former of Agriculture Director General who become CIDES resource person Iskandar Andi Nuhung said the government’s helplessness in dealing with importers who controlled the food trade had made Indonesia a key target of importers. He claimed these parties were trying to make Indonesia the world’s largest importer of food. “This makes sense because Indonesia, with its large population is potentially a very lucrative market for food importers,” Iskandar said. “Allowing the importers a free run to import what they want is not in the country’s interests.” He added that history had shown that food crises had a close correlation with a country’s sovereignty, saying it was ironic to see the government take the wrong approach by sanctioning increased imports at the expense of local small traders and businesspeople. Iskandar called on the government to strengthen development of the agricultural sector by increasing the money allocated to the sector. He also suggested the government needed to get a grip on food policies. Since the implementation of regional autonomy in 1999, Iskandar said there had been areas of policy overlap between central and regional governments, leading to confusion. “Many regional leaders don’t have very much interest in ensuring food supplies,” Iskandar said. Rudi said local leaders were more interested in handling non-agriculture sectors that allowed them to generate quick money to pay for the political expenses they incurred during election campaigns. “What makes it worse is the Agriculture Ministry has been defeated by importers in terms of lobbying. As a result, the government is unable to develop the agriculture sector, which is its responsibility. The importers have even made the ministry their toy by making the country a net importer instead of a producer,” he said. Rudi cited the case of the US government, which he said had given its full support to its farmers.“The government of the United States gives its full support to its farmers. The US even gives subsidies for agricultural development,” he said. A Balinese farmer thrashes rice paddy during a harvest in Denpasar, Bali in this June 05, 2013 file photo. (EPA Photo/Made Nagi)

Minggu, 13 Oktober 2013

Experts blame Jakarta's pollution of sea on lax management

P.C. Naommy and Theresia Sufa, Jakarta/Bogor Environmentalists fear further devastating consequences of lax waste management on marine and coastal areas nationwide, in the wake of the deaths of thousands of fish in Jakarta Bay earlier this year. "The technology is there, but it isn't applied. Many industries would simply choose to take the easy way by dumping their waste into the sea to save money," said Ario Damar, a researcher from the Bogor Institute of Agricultural (IPB) on the sidelines of a environmental workshop at the Agency for the Assessment and Application of Technology (BPPT) on Monday. Researchers consider the dead fish phenomenon of last May a warning from nature and not just ""a natural occurrence"", as previously claimed by Governor Sutiyoso. Research results from the Indonesian Institute of Science (LIPI) blamed the red-tide phenomenon -- an increase in the population of algae that result in oxygen depletion -- for the deaths of fish and clams. According to researchers from the IPB, the increase of the algae could be caused by the increase of phosphates and nitrogen -- nutrients needed by the algae -- which are suspected to be coming from household waste, such as detergent and feces. Another researcher from the IndoRepro-Indonesia Recycling and Sanitation Program, M. Rudi Wahyono, said that the extreme algae proliferation could also be caused by industrial toxic waste. ""The city administration seems to be defensive when it come to the pollution caused by industries. They should take strong measures against those companies,"" said Rudi. Ario from the IPB added that the heavy metals could act as a time bomb, such as events prior to the tragedy in Minamata, Japan. ""The company started to dump methyl mercury in the sea in 1946, but the disease, which was caused by mercury toxicosis, started to flare up about 10 years after,"" he said. Data from the World Bank in 2003 had put Indonesia, among other countries in Asia, as the country with the poorest waste management and sanitation system. According to the World Bank, the economic loss due to damage to the ecosystem has reached US$4.6 billion per year, or 2 percent of the total Gross Domestic Product (GDP). Separately, Bogor LIPI expert Ahmad Jauhar Arief, revealed on Monday that the uncontrolled dumping of industrial waste from textile factories in South Bandung had killed thousands of fish in Saguling dam. ""Moreover, excessive fish farming in the area has also polluted the water,"" he said. The dam is the source of a hydro-powered electricity plant that powers part of Java island and Bali. Table of Heavy Metals found in Ancol and Dadap areas in Jakarta Bay in mg/l Heavy Metal Ancol Dadap Standard level Lead(Pb) 0.120 0.093 0.008 Cadmium(Cd) 0.068 0.054 0.001 Copper(Co) 0.068 0.059 0.008 Mercury(Hg) 0.005 0.006 0.001 Source : The Center for Marine and Coastal Natural Resources Study at IPB

Jumat, 11 Oktober 2013

Alutsista :Pembelian Kapal Selam Baru

13 Desember 2010, Jakarta -- Rencana pembelian kapal selam oleh pemerintah disikapi positif DPR. Indonesia sudah waktunya membeli kapal selam karena dua kapal selam yang dimiliki sedang diperbaiki di Korea Selatan. Pembelian kapal selam akan memperkuat TNI, khususnya TNI AL, dalam mempertahankan wilayah Indonesia. “Pemerintah memang baru pada tahap merencanakan, tapi belum ada pemberitahuan secara resmi ke DPR,” kata Wakil Ketua Komisi I DPR Tubagus Hasanuddin saat dihubungi di Jakarta, Minggu (12/12). Meski begitu, politisi PDIP ini berharap pemerintah berpikir ulang untuk mengadakan kerja sama dengan Korea Selatan, apalagi bersepakat membangun kapal selam bersama. Dia khawatir kerja sama ini akan banyak dipertanyakan negara lain, terutama Korea Utara yang saat ini sedang bersitegang dengan Korea Selatan. “Rencana kerja sama dengan Korea Selatan harus dipikir ulang. Saya khawatir kerja sama ini akan menyeret kita ke ranah konflik,” katanya. Untuk persoalan kemampuan membeli, Hasanuddin yakin pemerintah bisa membeli minimal satu kapal selam dalam waktu dekat ini. Pasalnya, dana yang disiapkan pemerintah untuk pertahanan tinggi, meningkat dua kali lipat lebih atau 56 triliun rupiah dari dana pada periode lima tahun sebelumnya. “Saya pikir bisa. Tapi harus ditekankan, jangan sampai bekerja sama untuk melakukan kerja sama pembuatan dengan Korea Selatan. Namun, untuk perbaikan atau pembelian, hal itu bisa dilakukan,” jelasnya. Direktur Studi Energi, Lingkungan, dan Maritim Center for Information and Develepment Studies (Cides) M Rudi Wahyono justru melihat kerja sama pengembangan kapal selam dengan Korea Selatan ada lah yang paling memungkinkan. Menurutnya, Indonesia dan Korea Selatan berjalan bersama dalam masalah pertahanan. Korea Selatan bahkan pernah membeli kapal patroli di laut, udara, dan darat dari Indonesia. “Indonesia sangat memungkinkan melakukan imbal beli dengan Korea Selatan. Untuk transfer teknologi juga paling memungkinkan dengan negara itu,” katanya. Rudi berharap Indonesia meninjau kerja sama dengan Perancis dalam pengadaan kapal selam. Merujuk pada kasus Malaysia, Prancis ternyata gagal memberikan kapal selam yang bagus, bahkan kerja sama kedua negara itu tidak jalan. Harga kapal selam memang cukup mahal. Dia berharap pemerintah tetap mengusaha kan untuk mengadakannya karena kapal selam amat penting untuk menjaga wilayah maritim Indonesia. (Koran Jakarta)

Kamis, 10 Oktober 2013

Menakar Kekuatan (Senjata) Kimia Indonesia

"Perkembangan penelitian kimia di Indonesia, khususnya di perguruan tinggi ada yang diarahkan pada senyawa-senyawa yang berguna untuk kesehatan, penyakit tropis, gizi dan obat-obatan, ketahanan dan keamanan pangan, energi baru dan terbarukan, keragaman hayati, teknologi pertahanan, serta teknologi informasi dan komunikasi," demikian pernyataan M.Rudi Wahyono sewaktu diwawancara oleh harian PR Bandung. Terkait pemakaian zat kimia sebagai senjata, dikatakan oleh peneliti Cides itu, bahwa senjata kimia adalah senjata yang memanfaatkan sifat racun senyawa kimia untuk membunuh, melukai, atau melumpuhkan musuh. Penggunaan senjata kimia berbeda dengan senjata konvensional dan senjata nuklir karena efek merusak senjata kimia terutama bukan disebabkan daya ledaknya. Contoh yang sangat mudah penggunaan agen kimia dalam perang adalah penggunaan Herbisida (pembasmi gulma) pada perang di Vietnam yang dikenal sebagai 'agent orange'. Senjata kimia ini telah membunuh ribuan manusia, ternak dan bahkan tumbuhan di Asia Tenggara waktu itu. Selain itu,penggunaan organisme hidup (seperti antraks) juga bukan dianggap senjata kimia, melainkan senjata biologis. Bila ditambah nuklir maka terjadi gabungan senjata Nubika-Nuklir-Biologi dan Kimia yang sangat berbahaya dan ditakuti. Menurut Konvensi Senjata Kimia (Chemical Weapons Convention), yang dianggap sebagai senjata kimia adalah penggunaan produk toksik yang dihasilkan oleh organisme hidup (misalnya botulinum, risin, atau saksitoksin). Menurut konvensi ini pula, segala zat kimia beracun, tanpa memedulikan asalnya, dianggap sebagai senjata kimia, kecuali jika digunakan untuk tujuan yang tidak dilarang (suatu definisi hukum yang penting, yang dikenal sebagai Kriteria Penggunaan Umum, General Purpose Criteron). Peneliti dan pengamat dari CIDES M Rudi Wahyono juga menegaskan, Indonesia bukanlah negara senjata kimia, tidak memiliki dan tidak ingin mengembangkan senjata kimia. Oleh karena itu, titik berat implementasi Konvensi Senjata Kimia (KSK) dapat dipastikan terfokuskan "Dalam kaitannya dengan KSK, industri kimia Indonesia tidak atau belum memproduksi bahan-bahan kimia yang termasuk dalam schedule 1, 2, dan 3. Namun, dari hasil pendataan tahun 1998, sejumlah bahan kimia schedule 3 diimpor sebagai bahan baku yang dikonsumsi oleh beberapa industri kimia dan farmasi. Demikian halnya satu bahan kimia schedule 2 diimpor dan digunakan oleh industri farmasi," ujarnya. Untuk membantu pemerintah dalam memenuhi kepatuhannya terhadap ketentuan konvensi, diperlukan suatu badan otoritas nasional. Badan ini secara aktif dan terus-menerus menjadi titik penghubung baik dengan The Organization for the Prohibition of Chemical Weapon (OPCW) maupun dengan berbagai fasilitas terkait yang ada di Indonesia, serta mengadakan hubungan kerja dengan negara-negara pihak lainnya. Perlu digaris bawahi, negara-negara yang menandatangani konvensi anti senjata kimia akan melarang pengembangannya. Namun konvensi ini tidak berlaku bagi perusahaan swasta. "Oleh karena itu, pemerintah diharapkan memonitor secara ketat impor, konsumsi, dan produksi bahan-bahan kimia terkait dengan konvensi, agar tidak disalahgunakan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk memproduksi senjata kimia yang selanjutnya dapat saja digunakan untuk meneror atau memerangi masyarakat awam yang tidak bersalah," tutur Rudi lagi. Kuatkah pertahanan Indonesia tanpa nuklir atau senjata kimia? Pemerhati pertahanan dan alutsista TNI, Jagarin Pane mengatakan, sebagai bagian dari upaya pertahanan NKRI, maka fokus utamanya adalah memenuhi kebutuhan alutsista konvensional tanpa harus memaksa diri untuk memiliki senjata kimia atau senjata nuklir. "Sejatinya negara gentleman adalah negara yang mampu menata pertahanan diri dengan persenjataan konvensional semata tanpa harus memenuhi nafsu bunuh maksimalnya dalam menangani perselisihan antarnegara dengan menggunakan senjata kimia apalagi nuklir," ucapnya tegas. Jagarin menambahkan, yang perlu dicatat dalam proses kematian dengan senjata konvensional adalah langsung mati atau luka tembak karena daya ledak, selesai. Tak seperti senjata kimia yang proses kematiannya bukan karena daya ledaknya, tetapi proses "sengatannya" ke tubuh manusia yang sangat dramatis. "Ada yang mati pelan-pelan, cacat seumur hidup, dan dampaknya sampai ke generasi berikutnya. Makanya, negara yang menggunakan senjata kimia bisa disebut sebagai negara pengecut, tak berperikemanusiaan dan tak bermoral," ucap Jagarin lagi. Terkait dengan ketersediaan alutsista Indonesia yang saat ini sedang giat-giatnya memodernisasi tentaranya, ia menyatakan bahwa semua matra, baik Angkatan Darat, Angkatan Laut maupun Angkatan Udara perlu diperkuat. Indonesia sudah punya satu skuadron Sukhoi di Makassar. Dalam Minimum Essential Force (MEF) tahap 2 nanti masih sangat dibutuhkan minimal penambahan satu skuadron lagi yang penempatannya berdekatan dengan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I untuk menjaga ibukota. Angkatan Laut menurut Jagarin juga masih perlu penguatan dengan kehadiran fregat, korvet, dan destroyer. Termasuk kapal selam tentunya sebagai senjata strategis pemukul yang paling disegani. Matra darat masih sangat membutuhkan alutsista kavaleri seperti tank, panser, juga rudal darat ke darat, roket dan artileri. "Kita yakin tahun 2019 nanti apa yang kita inginkan itu dapat tercapai. Tak perlu memaksa diri dengan kepemilikan senjata kimia meski kita sanggup memproduksinya. Dengan alutsista konvensional dan pemenuhan untuk segala matra dicukupi, maka negara ini akan disegani sebagai negara yang gentleman'," ucap Jagarin. (Feby Syarifah), Sumber Koran: Pikiran Rakyat (10 Oktober 2013/Kamis, Hal. 20)

She's Like The Wind - Patrick Swayze

DIJAJAH KARTEL PANGAN :Indonesia Didesain Jadi Negara Importir

Rabu, 2 Oktober 2013 JAKARTA (Suara Karya): Ada kekuatan-kekuatan tertentu yang sengaja mendesain Indonesia agar menjadi negara importir bahan pangan terbesar di dunia. Kondisi ini diperparah dengan tidak adanya keberpihakan pemerintah pada pengembangan pertanian. Selama pemerintah pusat masih menggunakan penyelesaian masalah pertanian dengan cara-cara politis, selama itu pula masalah pertanian tidak akan selesai. Penegasan ini disampaikan pengamat pertanian Is-kandar Andi Nuhung, Direktur CIDES Muh Rudi Wahyono dan Direktur Habibie Center Heru Adi Kuncoro pada diskusi di Jakarta, Selasa (1/10). Menurut Andi Nuhung, ketahanan pangan harus setara dengan ketahanan negara. Seperti masalah ekonomi, keuangan, dan pertahanan, yang harus dikuasai dan dikendalikan pemerintah pusat, bukan diserahkan kepada pemerintah daerah. "Banyak daerah yang menganggap bahwa penyediaan pangan tidak memiliki kontribusi pada jabatan seorang gubernur atau bupati yang hanya lima tahun. Akibatnya, daerah tidak peduli dengan masalah ini," tuturnya. Para gubernur atau bupati, lanjutnya, akan berpikir ulang jika harus bersentuhan dengan masalah penyediaan pangan. Mereka lebih mengutamakan apakah jabatannya pada periode kedua bisa dipegang lagi atau tidak. "Permasalahan ini yang membuat makin parahnya masalah ketersediaan pangan. Makanya, perlu ditarik ke pemerintah pusat. Namun, kondisi ini akan sama saja jika pemerintah pusat tidak memiliki keberpihakan pada pertanian itu sendiri," ungkap dia. Rudi Wahyono menambahkan, karena tidak adanya keberpihakan pemerintah pusat pada pertanian, petani semakin miskin akibat dari tingginya biaya produksi. "Yang lebih parah lagi, Kementan kalah lobi dengan para kartel. Akibatnya pemerintah tidak bisa mengembangkan pertanian yang menjadi tanggung jawabnya. Kementan malah dipermainkan importir dan menjadi negara importir, bukan negara produsen," ungkap dia. Seharusnya, pemerintah mendukung pertanian. "Padahal, pemerintah AS saja memberikan dukungan penuh bagi pertanian mereka. Bahkan AS juga memberikan subsidi kepada pengembangan pertanian," kata Rudi Wahyono. Sementara, Heru Adi Kuncoro menegaskan, kita terlalu terlena dengan berbagai pujian negara asing. Kita tidak sadar kalau mereka memasukkan ide dan doktrin yang tidak sesuai dengan rencana pembangunan pangan bangsa. "Kenyataannya, mereka menjadikan kita sebagai pasar produk pertanian mereka. Bahkan, mereka mematikan pertanian kita dan menjadikan kita sebagai negara importir yang menguntungkan mereka," katanya. Menurutnya, intervensi dari negara asing terhadap kebijakan pertanian kita bisa diatasi selama ada kepastian dari pemerintah. Jika itu ada, tambahnya, skenario membentuk Indonesia menjadi negara importir terbesar di dunia akan bisa diatasi. (Joko Sriyono)

Selasa, 08 Oktober 2013

Ketahanan Pangan Indonesia Berada di Zona Merah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah dipandang tidak berdaya menghadapi kartel pangan. Parahnya lagi, tidak ada peraturan yang bisa menindak tegas pelaku kartel walaupun keberadaannya sudah berkali-kali dibuktikan. Padahal kartel harus ditindak secara hukum, sedangkan perangkatnya tidak ada. "Di Indonesia tidak ada undang-undang anti trust. Jadi kartel secara hukum tidak bisa dipindanakan," ujar peneliti CIDES Indonesia, Rudi Wahyono pada Program Bincang Agribisnis di Jakarta, Selasa (1/10). Pemerintah selama ini hanya fokus mencari cara memenuhi konsumsi. Alhasil, cara-cara yang digunakan pun cenderung konsumtif, yaitu melalui jalan impor. Sejauh ini, belum ada hasil yang signifikan dalam hal produksi pangan di negara ini. Mirisnya lagi, cara yang ditempuh guna memenuhi kebutuhan pangan tak lantas membuat negara ini bebas resiko kelaparan serius. Berdasarkan data Global Food Security Index 2012, yang dirilis Economic Intelligent Unit, indeks keamanan pangan Indonesia berada di bawah 50 (0-100). Posisi Indonesia jauh lebih buruk dari negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, Vietnam dan Filipina. Tiga faktor yang disoroti dalam penelitian ini yaitu angka kekurangan gizi, berat badan anak dan tingkat kematian anak di suatu negara. Indikasi keberadaan masyarakat kurang gizi menurut Rudy menandakan ketahanan pangan Indonesia memasuki zona merah. Hal ini dipandang sebagai akibat pemerintah yang melalaikan kemandirian pangan ketika sibuk memikirkan pemenuhan kebutuhan. Padahal kebijakan yang ideal haruslah berpihak pada kemandirian domestik. Pemerintah perlu berbenah dan melakukan strategi jitu agar kondisi ini tak semakin buruk lagi. Pertama, bisa dengan mengedepankan kebijakan yang memberi prioritas pada petani kecil. Caranya melalui inovasi teknologi dan pengembangan institusi. Dengan demikian, petani bisa ikut berkembang seiring dengan modernisasi. Lalu, perlu ada lembaga negara yang difungsikan untuk menjaga ketahanan pangan dan harga. Terakhir, dengan menggalakkan perlindungan sosial dan aksi nutrisi. Yaitu, dengan menghitung cerman kecukupan iodium, vitamin dan mineral yang perlu dikonsumsi masyarakat.

Pemerintah 'di-Pecundangi' Importir Pangan

Sindonews.com - Pemerintah Indonesia tak kuasa melawan kekuatan para importir yang selama ini menguasai perdagangan pangan dunia. Akibatnya, bahan pangan sangat mudah masuk ke Indonesia. Penegasan ini disampaikan pengamat pertanian Iskandar Andi Nuhung, Direktur Center for Information and Development Studies (Cides) Muh Rudi Wahyono dan Direktur Habibie Centre Heru Adi Kuncoro pada diskusi Masa Depan Kualitas SDM Indonesia Disandera Kartel Pangan di The Habibie Centre Jakarta, Selasa (1/10/2013). Mereka berusaha menjadikan Indonesia sebagai negara importir bahan pangan terbesar di dunia. “Ini bisa dimaklumi mengingat Indonesia merupakan pasar yang menggiurkan bagi para importir pangan,” kata Iskandar. Kondisi ini, kata Andi, sangat berbahaya. Karena dengan demikian Indonesia tidak bisa berdaulat secara pangan. “Kalau pangan kita sudah tidak berdaulat, maka ketahanan pangan kita akan terancam,” kata dia. Menurut Andi, kedaulatan pangan harus tetap dijaga. Sebab apabila terancam akan membahayakan kedaulatan negara. “Sejarah telah mengajarkan kita bahwa apabila pangan kita terancam berkorelasi erat dengan kedaulatan negara,” katanya. Ironisnya, Andi menambahkan, selama ini pendekatan yang dilakukan pemerintah dalam menyelesaikan persoalan pangan dilakukan secara parsial. Salah satunya melalui kebijakan impor. Solusi yang paling tepat untuk mengatasi persoalan pangan, kata dia, adalah dengan memperkuat pembangunan di sektor pertanian. Salah satunya adalah dengan menambah alokasi anggaran untuk sektor pertanian. Selain itu, untuk semua urusan yang terkait dengan persoalan pangan harus ditarik kembali ke pemerintah pusat. Sebab, sejak diberlakukannya otonomi daerah pada 1999, urusan pangan juga ditangani pemerintah daerah. “Ironisnya banyak kepala daerah yang tidak konsen terhadap pangan,” kata Andi Nuhung juga mantan Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (P2HP) Kementerian Pertanian ini. Direktur Cides Rudi Wahyono menambahkan, banyak kepala daerah tidak berpihak kepada pertanian. Mereka lebih tertarik mengurusi non pertanian yang dinilai cepat mengembalikan dana politik yang dikeluarkan selama masa kampanye. “Yang lebih parah lagi, Kementan kalah lobi dengan para importir. Akibatnya pemerintah tidak bisa mengembangkan pertanian yang menjadi tanggung jawabnya. Kementan malah dipermainkan importir sehingga menjadi negara importir, bukan negara produsen," katanya. Seharusnya, Pemerintah Indonesia lebih mendukung pertanian. "Padahal, pemerintah AS saja memberikan dukungan penuh bagi pertanian mereka. Bahkan AS juga memberikan subsidi kepada pengembangan pertaniannya," tambahnya. Direktur Habibie Centre Heru Adi Kuncoro menegaskan, bangsa Indonesia terlena dengan berbagai pujian negara asing. “Kita tidak sadar kalau mereka memasukkan ide dan doktrin yang tidak sesuai dengan rencana pembangunan pangan bangsa,” katanya. "Kenyataannya, mereka menjadikan kita sebagai pasar produk pertanian mereka. Bahkan, mereka mematikan pertanian kita dan menjadikan kita sebagai negara importir yang menguntungkan mereka," tutupnya.

Jumat, 26 Juli 2013

Polusi Asap Lintas Negara Kian Serius

Jakarta, GATRAnews - Pencemaran udara yang terjadi di kawasan Asia Tenggara hingga daratan Australia yang disebabkan oleh kebakaran hebat di kawasan hutan Indonesia, hampir terjadi setiap tahun. Kebakaran hutan di Riau menjadi fokus pembahasan beberapa waktu yang lalu. Pencemaran ini berdampak pada kerugian yang harus diterima oleh negara lain, baik yang terjadi sebagai bentuk akibat secara langsung atau tidak langsung. Permasalah ini menjadi salah satu pembahasan diskusi Polusi Lintas Batas dan Reputasi Indonesia, yang digelar di Gramedia Matraman, Jakarta, belum lama ini. Hadir sebagai para pembicara dalam diskusi tersebut, yakni Presiden Cides UNJ Akmal Junmiadi, peneliti lingkungan M Rudi Wahyono, dosen hukum Universitas Pancasila Deni Bram, dan Direktur Komunikasi dan hubungan Eksternal Dompet Dhuafa Nana Mintarti. Diskusi ini menyoroti sikap pemerintah Indonesia yang dinilai tidak segera mengambil sikap terkait terjadinya kebakaran hutan yang terjadi hampir setiap tahun. Hal ini sudah masuk kategori transboundary pollution alias pencemaran lintas batas negara. Melalui siaran pers yang diterima GATRAnews, Rabu (17/7), tercatat rekor kebakaran hutan di dunia selalu dipecahkan di Indonesia. Kebakaran hutan yang cukup besar pernah terjadi di Kalimantan Timur pada 1982-1983, yang menghanguskan 3,5 juta hektar hutan. Ini merupakan rekor terbesar kebakaran hutan dunia, setelah kebakaran hutan di Brasil yg mencapai 2 juta hektar pada tahun 1963. Pada awal terjadinya kebakaran hutan hebat di Indonesia pada pertengahan tahun 1997, diperkirakan kerugian materiil yang dialami oleh Indonesia, Malaysia, Dan Singapura, mencapai Rp 5.96 trilyun. Pada saat itu 70,1% dari nilai PDB sektor kehutanan tahun 1997, dan sebagai puncaknya kebakaran hutan yang terjadi, Indonesia pun dinobatkan sebagai Pencemar Udara terbesar di dunia yang melalap 11,7 juta hektar hutan. Data dari Direktoral Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam menunjukkan bahwa kebakaran hutan yang terjadi tiap tahun sejak 1998 hingga 2002 tercatat sekitar 3000 hektar dan 515 ribu hektar. Beberapa ahli ekoklimatologi bahkan menganggap fenomena polusi dari Indonesia itu sebagai pemicu perubahan iklim global, yang akan menimbulkan bencana seluruh umat manusia dalam jangka panjang. Dampak langsung asap kebakaran hutan dan lahan juga telah menurunkan kualitas udara di berbagai kota di beberapa negara. Di Pekanbaru, Kuala Lumpur, Kuching, Singapura, asap tersebut menurunkan kualitas udara melalui level sangat berbahaya standar Air Pollution Index (API), yakni mencapai level di atas angka 300-700 atau tiga sampai tujuh kali batas normal. Kondisi ini sangat membahayakan semua mahluk hidup terutama manusia. Diperkirakan, tak kurang 20 juta manusia di kawasan Semenanjung Malaka dan Sijori menanggung derita akibat asap tersebut. Pada tahun 2002 ASEAN telah mengesahkan sebuah perjanjian yang mengatur pengelolahan asap tersebut. The ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution mengawasi dan mencegah polusi asap melalui berbagai bentuk kerjasama yang telah disepakati. Permasalahan kabut asap ini menjadi masalah internasional karena kasus ini menimbulkan pencemaran di negara-negara tetangga (transboundary pollution) sehingga mereka mengajukan protes terhadap indonesia atas terjadinya masalah ini. Pencegahan pencemaran lingkungan atau polusi lintas batas negara adalah tanggung jawab pemerintah dan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan di indonesia. Sebenarnya instrumen hukum nasional indonesia sudah sangat ketat memuat tentang pencegahan kerusakan lingkungan, perlindungan lingkungan dan hutan, namun apalah artinya sebuah hukum jika tidak diterapkan. Kondisi ini bisa menjadi indikator pemahaman nilai etika dan indikator ketaatan kita pada hukum baik hukum nasional di dlm negeri maupun hukum internasional. (EL)

Kamis, 18 Juli 2013

Polusi Udara & Kesehatan Rakyat

Adanya peningkatan polusi udara yang didominasi ozon permukaan (O3) dan partikel halus (PM2.5) menjadi perhatian serius kalangan ilmuwan JAKARTA – Adanya peningkatan polusi udara yang didominasi ozon permukaan (O3) dan partikel halus (PM2.5) menjadi perhatian serius kalangan ilmuwan. Pasalnya, campuran tersebut jika terus meningkat akan berdampak buruk kepada kesehatan masyarakat Indonesia. Akibat kabut asap yang berlangsung sepekan lebih ini, Dinas Kesehatan Provinsi Riau telah menerima ratusan laporan gangguan kesehatan. Data Dinkes Provinsi Riau menyebut ada 6.321 orang terkena Infeksi Saluran Pernafasan Akut, ISPA, 674 orang menderita radang paru, 527 orang kena asma, 669 orang menderiya infeksi kulit, dan 369 orang iritasi mata. “Akibat campuran polusi udara, masyarakat rawan terserang penyakit paru-paru dan saluran pernapasan, “ ujar peneliti lingkungan hidup, Muh. Rudi Wahyono kepada kontributor Berita99, Sukria Wijaya dalam diskusi “Polusi Lintas Batas dan Dampak Sosial Ekonomi Pada Masyarakat” di Gramedia Matraman, Jakarta, Rabu (17/7). Rudi menjelaskan, kondisi ini disebabkan mesin kapitalisme sudah menjangkiti dan menguasai Indonesia. Situasi diperburuk sikap pemerintah yang tidak berdaya menghadapi kelompok asing yang merampok kekayaan alam Indonesia tanpa memperhatikan dampak jangka panjangnya. “Pemerintah tak berdaya melihat asing merampok kekayaan alam Indonesia. Ini jelas memprihatinkan, “ tutupnya.

Minggu, 07 Juli 2013

Gunakan Cara Mulia Untuk Meraih Cita cita

Jakarta, 20 Rajab 1434/ 30 Mei 2013 (MINA) - Direktur Eksekutif Pusat Informasi dan kajian pembangunan (CIDES), Muh.Rudi Wahyono mengatakan, para pemuda dan mahasiswa harus menggunakan cara-cara mulia dalam meraih cita-cita. ”Para pemuda dan mahasiswa harus menempuh cara-cara mulia dan berwibawa untuk meraih cita-cita. Sejatinya kepemimpinan itu pasti akan kita raih, tinggal dengan cara apa kita mendapatkannya,” kata Rudi di Jakarta, Kamis (30/5). Peneliti dan Dosen itu juga mengatakan, hingga saat ini lembaganya terus melakukan upaya memberikan pemahaman yang benar bagi mahasiswa dan para intelektual muda untuk memahami hakekat dari sebuah cita-cita dan kepemimpinan. “Lembaga kami terus melakukan upaya-upaya melalui diskusi dan seminar tentang pentingnya memahami sebuah kepemimpinan dan meraih cita-cita sesuai dengan ajaran agama Islam dan kemanusiaan,” ujarnya. Dia mengungkapkan, para mahasiswa saat ini adalah calon-calon pemimpin yang akan menggantikan pemimpin sekarang. Oleh karenanya, mereka perlu dibekali ilmu kepemimpinan dan bagaimana cara untuk mendapatkan cita-cita yang mereka inginkan sebagai pemimpin sesuai dengan aturan yang benar menurut syariat Islam. “Pemuda atau mahasiswa saat ini adalah calon pemimpin masa depan. Mereka akan memegang estafet kepemimpinan dari para pendahulunya. Jika mereka tidak memahami hakekat kepemimpinan dan tidak tahu cara yang benar dalam mendapatkannya niscaya akan terpuruklah masyarakat kita,” ungkapnya. Pemuda saat ini adalah harapan masa depan. Baik dan buruknya masyarakat kita di masa depan bisa kita lihat dari bagaimana ilmu dan peran pemuda dan mahasiswa sekarang dalam mempersiapkan dirinya menjadi seorang pemimpin. CIDES adalah sebuah wadah pengembangan mahasiswa dan para intelektual dari berbagai universitas di Indonesia. Saat ini sekitar sepuluh universitas di Indonesia yang sudah tergabung dalam organisasi CIDES-Campus tersebut. Lembaga kepemipinan itu aktif menyelenggarakan seminar dan diskusi tentang persoalan-persoalan kemahasiswaan, terutama menyoroti kepemimpinan dan kebijakan pemimpin di Indonesia. Mereka juga aktif dalam memberikan saran dan masukan kepada pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, terutama dalam didang pendidikan dan pengembangan ilmu dan teknologi. (L/P04/P02) Mi’raj news Agency (MINA)

Sabtu, 06 Juli 2013

Parpol Tak Serius Tangani Kaderisasi

Jurnas.com | PARTAI politik harus mampu menyiapkan kader yang berkualitas sebagai calon pemimpin yang memiliki wawasan luas tentang politik, demokrasi, kepemimpinan untuk memajukan partai. Namun, berbagai partai politik saat ini belum melaksanakan kaderisasi atau pembekalan bagi anggotanya dengan berbagai pengetahuan dan keterampilan. Direktur Center for Information and Development Studies (CIDES) Indonesia M.Rudi Wahyono mengatakan kurikulum kaderisasi tidak disusun secara baik sehingga kurang mampu membekali kader dengan berbagai pengetahuan dan keterampilan. “Diabaikannya agenda kaderisasi ini membuat parpol miskin kader yang memiliki kualitas, loyalitas, dan militansi,” kata Rudi Wahyono dalam pemaparan CIDES terkait pemilihan legislatif di Jakarta, Selasa (11/06). Menurutnya kader berkualitas hanya akan hadir jika parpol serius menangani kaderisasi. Kaderisasi memainkan peran eksistensial karena hal ini penting menyiapkan bekal pemimpin yang mampu mendinamisasi dan memajukan partai. Tidak adanya agenda kaderisasi ini membuat parpol miskin kader yang memiliki kualitas dan militansi. Hal ini karena mereka tidak dibekali sejarah, ideologi, dan visi partai. Sehingga pengabaian terhadap agenda kaderisasi merupakan akar persoala yang membuat parpol gagal melahirkan pemimpin berkualitas dan berintegritas sebagai komponen pokok dalam memajukan demokrasi.

Selasa, 02 April 2013

E-Voting Akan Hemat Biaya

Senin, 1 April 2013 JAKARTA (Suara Karya): Penerapan sistem pemilu secara elektronik atau e-voting dapat diterapkan dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Sebab, tidak hanya menghemat waktu tetapi juga mampu meminimalisir anggaran yang harus dikeluarkan negara tiap penyelenggaraan pemilu. Demikian disampaikan pakar teknologi Center for Information and Development Studies (CIDES) M Rudi Wahyono dalam diskusi yang diselenggarakan CIDES bertemakan E-Voting, Solusi Alternatif Konsep Pemilu Hemat Biaya, Seberapa Efektifkah? di The Habibie Center, Jakarta, Sabtu (30/3). Menurut dia, melihat perkembangan teknologi digital maupun internet saat ini maka akan sangat memungkinkan terjadinya pelaksanaan pemilu secara transparansi dan terjamin akuntabilitasnya. Karena itulah, e-voting dapat menjadi salah satu konsep riil yang relevan dilakukan bagi pelaksanaan pesta demokrasi di Indonesia. "Tentu hal ini juga harus didukung pendataan elektronik melalui format kartu tanda penduduk (KTP) digital untuk menghindari terjadinya pemilih ganda," katanya. Dia menilai, pertimbangan lainnya yang memungkinkan sistem e-voting itu dapat diterapkan di Indonesia, yakni kondisi geografis di Indonesia. Dengan demikian, proses penghitungan suara nantinya juga dapat dilakukan secara real time online. "Ini dapat menghemat biaya karena pemilihan dapat dilakukan melalui internet, jangkauan global dengan pengeluaran logistik juga akan sangat sedikit. Tidak ada biaya pengiriman, tidak ada keterlambatan saat pengiriman materi dan menerimanya kembali," katanya. Rudi menambahkan, sistem e-voting juga dapat mencegah kecurangan di tempat pemungutan suara. Sebab, campur tangan manusia menjadi dikurangi dalam e-voting. Selain itu, terhadap pemilih yang memiliki keterbatasan atau difabel juga tetap dapat memilih melalui alternatif yang disediakan sistem e-voting."Pemilu konvensional yang masih diterapkan Indonesia saat ini sangat mahal. Apalagi, kualitas hasil dari pemilu itu juga belum dapat sebanding dengan biaya yang dikeluarkan itu," katanya. Dia mengungkapkan, salah satu penyebab sulitnya sistem e-voting ini untuk diterapkan pada Pemilu 2014 karena masih terkendala masalah regulasi. Dalam kesempatan yang sama, Kepala Program E-Voting BPPT Andrari Grahitandaru mengatakan, ada beberapa persoalan yang menyebabkan pemilu melalui sistem e-voting itu belum dapat dilaksanakan pada pemilu mendatang. Sebab, meskipun Mahkamah Konstitusi (MK) memperbolehkan penggunaannya namun harus memenuhi lima syarat kumulatif. Yakni, penyelenggara, masyarakat, teknologi, pembiayaan, legalitas, serta faktor 'lain-lain'. "Faktor 'lain-lain' itu memang tidak disebutkan MK. Tetapi berdasarkan pengalaman, itu merupakan faktor politik maupun calon peserta pemilu," ujarnya. (Tri Handayani)

E-voting Lebih Hemat Biaya dan Efektif

JAKARTA, KOMPAS - Pemilihan umum secara elektronik dinilai lebih menghemat biaya dan efektif daripada secara konvensional. Sistem elektronik dapat menghemat sejumlah biaya, di antaranya biaya cetak surat suara dan biaya logistik. Selain itu, penghitungan dan tabulasi suara juga lebih cepat, mencegah terjadinya kecurangan, baik di tempat pemungutan suara maupun saat pengiriman, serta meningkatkan aksesibilitas. Hal itu dikemukakan Sekretaris Eksekutif Center for Information and Development Studies (CIDES) M.Rudi Wahyono dalam acara forum kajian strategis CIDES dan The Habibie Center, ”E-voting, Solusi Alternatif Konsep Pemilu Hemat Biaya, Seberapa Efektifkah?”, Sabtu (30/3), di Jakarta. Hadir dalam acara itu peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Indria Samego; Kepala Program Rekomendasi Sistem Pemilihan Umum Elektronik Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Andrari Grahitandaru; serta anggota Komisi Pemilihan Umum DKI Jakarta, Sumarno. Menurut Rudi, jika pemilu dilakukan secara elektronik (e-voting), Komisi Pemilihan Umum dapat mereduksi beberapa komponen biaya yang sering menimbulkan biaya tinggi dalam pemilu, seperti biaya pencetakan surat suara, kotak suara, tinta, pita, pengiriman logistik pemilu, dan honor panitia pemungutan suara. Dengan e-voting, pemilu dilakukan secara komputerisasi sehingga tidak perlu mendistribusikan banyak logistik pemilu. Selain itu, jumlah panitia yang terlibat dalam pemilu juga tidak sebanyak ketika pemilu dilakukan dengan cara konvensional sehingga honor bagi petugas pemilu lebih rendah. Contoh keefektifan e-voting dalam mereduksi biaya terbukti pada pemilu di India tahun 2004. Dengan jumlah pemilih 387,4 juta orang, biaya pemilu yang dibutuhkan hanya 286 juta dollar AS. Sementara di Indonesia pada Pemilu 2009, dengan jumlah pemilih 174 juta orang, biaya pemilu mencapai 932 juta dollar AS. Karena itu, Rudi optimistis, jika diterapkan di Indonesia, e-voting akan mampu mereduksi biaya pemilu karena kondisi India tidak jauh berbeda dengan Indonesia. Sementara itu, menurut Andrari, selain menghemat biaya, sistem e-voting juga memungkinkan terjadinya pemilu secara transparan dan akuntabilitasnya terjamin. Dengan e-voting, validitas data terjamin, perbedaan hasil perhitungan manual antara panitia pemilu dan para saksi yang sering terjadi pada pemilu konvensional dapat diatasi. Selain itu, setiap tahapan dalam proses pemilu juga dapat dilakukan audit. Andrari menambahkan, e-voting akan meningkatkan aksesibilitas karena memudahkan penyandang cacat dalam memilih. ”Tinggal menyentuh layar komputer saja,” ujarnya. Menanggapi hal itu, anggota KPU, Ida Budhiati, saat dihubungi secara terpisah, menuturkan, Mahkamah Konstitusi sebenarnya sudah menyetujui adanya sistem e-voting dalam pemilu. Namun, karena belum dimasukkan ke dalam Undang-Undang Pemilu, KPU tidak bisa menerapkannya saat ini. (K13)

E-voting, Alternatif Pemilu Hemat, Efektifkah?

PESTA demokrasi, baik dalam pemilihan umum dan pemilihan umum kepala daerah harus mengacu transparansi dan akuntabilitas sehingga hasil yang didapat memberikan kepercayaan bagi semua pihak. Salah satu problem utama dari pelaksanaan pesta demokrasi adalah membangun sistem jaringan yang memungkinkan pelaksanaan pemilihan itu sendiri berjalan transparan. Terkait hal ini ,perkembangan tekonologi digital dan internet sangat memungkinkan terjadinya pelaksanaan pemilihan secara transparan dan akuntabilitasnya terjamin. Evoting adalah salah satu konsep riil yang relevan dilakukan bagi pelaksanaan pesta demokrasi di Indonesia. Hal ini juga harus didukung pendataan elektronik melalui format KTP digital yang mereduksi terjadinya pemilih ganda. Kondisi geografis Indonesia juga sangat berkepentingan untuk penerapan e-voting agar penghitungan suara dapat dilakukan real time online. Tantangan untuk meningkatkan integritas, akurasi, dan keamanan dari sistem pemilihan suatu negara membutuhkan system pemilihan yang paling aman, handal dan bisa diaudit. Implementasi sebuah system pemilihan yang baru, harus memenuhi kriteria-kriteria antara lain tingkat akurasi 100%, keamanan data yang tinggi, auditibilitas yang tinggi, kualitas terbaik, kehandalan, penyesuaian dengan hukum yang ada, mengakomodir bermacam pemilih dan mudah digunakan. Sistem pemilihan secara elektronik (e-voting) ini mencakup seluruh kriteria tersebut. Pada Sabtu, 30 Maret 2013 lalu, bertempat di Gedung The Habibie Centre, Kemang, Cides UIN menyelenggarakan diskusi bertema-kan E-voting, solusi alternatif konsep pemilu hemat biaya, seberapa efektif kah? Hadi sebagai pembicara yang kompeten di bidangnya, Indria Samego (pengamat politik), Andrari Grahitandaru (Pusat Informasi BPPT), dan Gerry Suryo Sukmono (Presiden Cides UIN), dan Sumarno (Peneliti The Habibie Centre) serta dihadiri oleh puluhan mahasiswa dan media. Sebelum merancang perangkat ini, BPPT telah mengkaji berbagai pengalaman kegagalan e-voting yang pernah terjadi di beberapa negara seperti di Irlandia atau India yang perangkatnya tak dilengkapi oleh sistem verifikasi. Contoh kegagalan lainnya adalah ketika dilakukan eksperimen pertama "online voting" di AS pada Oktober 2010, dimana para pejabat di Washington, DC, mendirikan sebuah sistem berbasis internet untuk pemilih luar negeri yang akan memberikan suara mereka. "Para hacker tidak hanya mampu menembus sistem, tetapi juga sedang memantau apa yang terjadi di dalam sistem itu sendiri. Para siswa bisa melihat tandatangan elektronik dari hacker yang berbasis di China dan Iran," papar M Rudi Wahyono, Sekretaris eksekutif dan Direktur Bidang Lingkungan,Energi dan Kelautan Cides. Karena itu, tambahnya, Indonesia sebaiknya belum menggunakan sistem online dalam menerapkan e-voting karena selain keamanannya tak bisa dijamin, infrastruktur internet belum merata, ditambah lagi banyak masyarakat yang gagap teknologi. E-voting juga hanya akan diterapkan bagi daerah yang memang benar-benar telah siap, baik dari sisi teknologi, pembiayaan, perangkat lunak, serta kesiapan masyarakat. Estonia, suatu negara di Eropa yang penduduknya sedikit sudah berhasil menyelenggarakan e-voting dengan system internet (online) secara bertahap pada 2005, 2007, dan 2009. Lalu kemudian pada 2011 menerapkan pemilu melalui ponsel. "Pada 2009, MK menyatakan e-Voting diperbolehkan asalkan memenuhi lima syarat kumulatif, yaitu penyelenggara, masyarakat, teknologi, pembiayaan, legalitas, 'dan lain-lain'," ungkap Kepala Program E-Voting BPPT. Andrari menambahkan, syarat 'dan lain-lain' yang ditetapkan MK untuk pelaksanaan E-Voting adalah syarat politis. Menurutnya, para calon pemimpin daerah banyak yang resah karena proses E-Voting transparan dan cepat. Ini mengakibatkan mereka tidak bisa mengintervensi suara. Meski E-Voting sudah pasti tak akan diterapkan pada Pemilu 2014 mendatang, namun BPPT masih berharap KPU, Bawaslu, dan DKPP diharapkan bisa menyambut baik rencana tersebut. Karena selama ini, reaksi KPU hanya secara lisan membatasi sebatas ujicoba di Pilkada. Indria Samego menyatakan, proses pemilu memang mahal namun harus dilanjutkan. "Kita harus lakukan E-Voting, bisa diadopsi 2 atau 3 kali pemilu mendatang. Tapi harus asimetrik, tidak bisa kita samakan orang yang berada di Puncak Jaya Papua dengan yang ada di Kebumen Jawa Tengah," menurut Indria. Peneliti dari The Habibie Center, Sumarno, memberi catatan terkait gagasan E-Voting. Menurutnya, E-Voting masih rentan gangguan intervensi teknologi. Belum lagi masalah sumber daya manusia yang tak siap dengan teknologi. Banyaknya permasalahan dalam pemilu, di antaranya kerapnya terjadi kesalahan dalam proses pendaftaran pemilih, proses pengumpulan kartu suara yang berjalan lambat, proses penghitungan suara yang dilakukan di setiap daerah juga berjalan lambat karena proses tersebut harus menunggu semua kartu suara terkumpul terlebih dahulu. Keterlambatan yang terjadi pada proses pengumpulan, akan berimbas kepada proses penghitungan suara, serta terjadinya "jual beli” kertas suara. "Berbagai permasalahan tersebut telah menurunkan kualitas dari penyelengaraan pemilu dan secara umum menurukan kualitas demokrasi. Untuk mengatasi permasalahan di atas salah satu solusi yang dapat diterapkan adalah dengan menyelenggarakan Pemilu secara online atau yang lebih dikenal dengan istilah electronic voting atau e-voting," pungkas Gerry, Presiden Cides UIN.

Sabtu, 02 Maret 2013

WOC-Momentum Pembenahan Maritim Indonesia

Tahun 2009 lalu dicanangkan oleh pemeritah kita sebagai ‘Marine Tourism Year’ melalui even akbarnya World Ocean Conference di Manado Sulawesi pada pertengahan Mei. Dalam forum akbar itu Indonesia didukung oleh UNEP-United Nations Environment Program beserta negara-negara kawasan Indo-Pacific Segitiga Terumbu Karang meliputi Indonesia, Malaysia (Sabah), Philipina, Timor Leste, Papua New Guinea & Kep.Solomon menawarkan ide Coralreef Triangle Initiatives (CTI) yang akan dituangkan dalam ‘Manado Ocean Declaration’. Kawasan segitiga termbu karang tsb dihuni sekitar 120 juta penduduk yang hidupnya secara langsung atau tidak ditopang oleh kelestarian terumbu karang diwilayah itu. CTI berisi seruan pada dunia upaya mitigasi global warming melalui pengelolaan dan konservasi sumberdaya kelautan berupa terumbu karang dan sumber daya perikanan secara lestari. Melalui WOC ini pula Indonesia berupaya untuk menarik kunjungan wisata bahari melalui pelestarian maskot WOC yakni Latemeria manadoensis -ikan naga purba-, terumbu karang dan sumberdaya hayatilaut lai dmi ketahanan pangan dimasa mendatang.

Forum WOC sebenarnya juga merupakan momentum yang pas untuk membenahi sederet keruwetan pengelolaan kemaritiman di negeri ini. Tak bisa dipungkiri bahwa sektor kemaritiman dalam negeri masih menyisakan banyak masalah rumit dan kompleks.
Mulai dari banyaknya musibah (kapal tenggelam, tabrakan, kebakaran), pencemaran laut (tumpahan minyak, limbah/tailing dan sampah), illegal fishing, penyelundupan (kayu, komoditi dagang dan narkoba), perompakan sampai child worker abuse dan PHK.
Yang lebih mengerikan adalah dari sisi geografis teritorial Indonesia terhampar pada ’ring of disaster’, berupa pertemuan dua lempeng benua serta sabuk gunung api yang potensial menjadi sumber bencana gempa (tektonik, vulkanik) dan tsunami. Pendek kata, apabila kita tidak hati-hati dan cermat dalam mengelola dan mempersiapkan pembenahan dunia maritime tsb maka semua potensi kemaritiman diatas bisa berubah dari ‘maritime eco-tourism’ manjadi ‘maritime eco-tragedy’. Mengubah ‘wisata bahari’ menjadi ‘wisata bencana’ akibat kehancuran asset pembangunan karena mis-management atau bencana alam seperti sering terjadi di tanah air kita akhir-akhir ini.

Berbagai tantangan dan peluang itu seharusnya membuat kita “kembali kelaut’ -berfokus pada ‘ocean development policy- karena ‘land base development policy’ terbukti belum mampu membawa kesejahteraan bangsa kita sampai saat ini.

Maritime Awareness

Akhir 2008 lalu di Singapura perwakilan coas guard dunia mengadakan MDA-Maritime Domain Awareness Meeting ke 5. Dalam meeting MDA itu para peserta coast guard dari negara-negara di Uni Eropa, Amerika Utara, Afrika, Asia Selatan dan Asia Tenggara diperingatkan untuk meningkatkan kewaspadaan akan terjadinya peningkatan aksi maritime domain terorisme. Menyusul terjadi serangkaian perompakan di Afrika dan Asia selatan (sekitar perairan Somalia) diikuti aksi teror di Mumbai, India bulan berikutnya. Benang merah dalam MDA meeting ke 5 itu adalah maritime terrorism seperti di kawasan perairan Somalia itu bisa muncul dimanapun dan kapanpun apabila tidak dideteksi sedini mungkin.

Gentingnya isu maritime terrorism dan pengaruhnnya dalam dunia bisnis dan keamanan laut internasional mendorong dikeluarkannya sejumlah rekomendasi dari MDA 5 diantaranya :
pertama, peningkatan kerjasama regional dan internasional dalam bidang keamanan maritim
kedua, penguatan armada keamanan dan keselamatan laut nasional serta
ketiga, menutup semua akses maritime domain terrorism dengan melengkapi wilayah rawan, perbatasan dan pulau-pulau terluar/terpencil dengan berbagai sensor keamanan laut.

Substansi MDA sebenarnya bukan tertumpu pada peralatan maritime security dan surveillance saja namun yang lebih penting adalah terbangunnya pertukaran informasi, jaringan dan kegiatan antara para pelaku dunia maritim tentang situasi dan kondisi keamanan dan keselamantan di laut dan pantai. Setiap peristiwa yang mengancam keamanan maritim dapat segera direspon dengan cepat oleh setiap pelaku kemaritiman, antara lain pemerintah, perusahaan pelayaran, perusahaan ekspedisi, aparat keamanan serta pengelola pelabuhan. Secara konsep MDA pertama kali digagas oleh US Navy. Namun bukan berarti MDA tidak dapat diaplikasikan di negara lain, termasuk di Indonesia. Melalui sederet penyesuaian tentunya MDA ini akan dapat diadopsi mengingat kondisi awal setiap negara berbeda-beda.

Dalam konteks Indonesia untuk menerapkan MDA, dibutuhkan banyak pembenahan pada stakeholder kemaritiman. Kepedulian (awareness) adalah kunci utama terhadap domain maritim. Sayangnya, beberapa stakeholder terkait marine safety dan security justru kurang senang dengan kehadiran Coast Guard di Indonesia, pokok masalnya tak lepas perebutan kewenangan di laut. Kewenangan di Indonesia berarti sumber pendapatan (baik resmi maupun tidak resmi). Ketika terjadi “persaingan” antar-instansi keamanan dan keselamatan maritim, di Indonesia bagaimana mungkin kepedulian terhadap domain maritime akan tercipta ?

Tantangan lain dalam implementasi MDA budaya birokrasi di Negara kita yang masih jauh dari prinsip efektivitas dan efisien. Sebagai contoh adalah penerapan International Ship and Port Security Code (ISPS Code). Menurut US Coast Guard hanya 16 pelabuhan di Indonesia yang memenuhi standar ISPS Code. Pihak-pihak terkait dengan penerapan ISPS Code di pelabuhan-pelabuhan Indonesia masih terkesan masa bodoh denga kondisi itu. Sampai sekarangpun tidak ada satu pihakpun yang berani mendeklarasikan diri sebagai pihak bertanggung jawab terhadap penerapan ketentuan internasional itu.

IMSS

Rekomendasi ketiga MDA meeting ke 5 adalah, menutup semua akses maritime domain terrorism dengan melengkapi wilayah rawan, perbatasan dan pulau-pulau terluar/terpencil dengan berbagai sensor keamanan laut. Dengan kondisi itu maka Indonesia memerlukan dukungan sistem keamanan dan keselamatan maritim terintegrasi.

Beberapa tahun terakhir pemerintah tengah getol berupaya mewujudkan Integrated Maritime Surveillance System (IMSS). Cikal bakal, IMSS di Indonesia baru mencakup Selat Malaka dan Selat Makassar itupun melibatkan beberapa negara asing terkait program bantuan dan loan. Sementara itu, perairan lain juga membutuhkan kehadiran IMSS itu namun belum banyak tersentuh karena berbagai kendala. Dengan disetujuinya eksistensi Bakorkamla sebagai Sea and Coast Guard dalam UU Pelayaran yang baru, maka instansi itu nantinya bisa menjadi leading sektor pengoperasian jaringan radar maritim di seluruh Indonesia.

Menghadapi besar dan kompleknya system IMSS yang akan dibangun, maka Indonesia melalui Bakorkamla perlu mengoptimalkan sumberdaya di berbagai stakeholder atau tersebar di berbagai terkait domain kemaritiman lainnya. Demikian pula sebaiknya beberapa lembaga yang memiliki interest dan kapabilitas dibidang kemaritiman harus ikut dilibatkan, seperti Kementerian Lingkungan Hidup, LAPAN, BMKG, Bakosurtanal, Universitas, lembaga riset, Pemda, LSM dan masyarakat. Dukungan utama dalam IMSS adalah penguatan kemampuan maritime surveillance dengan memanfaatkan teknologi informasi dengan membangun kemampuan baru dibidang surveillance serta mengintegrasikan sensor-sensor keamanan dan keselamatan laut (berupa Radar pantai, radar udara, VTMS, AIS, GMDSS dan SAR-SAT) yang tersebar pada instansi-instansi lain seperti Departemen Perhubungan, TNI AL, TNI AU, DKP, Bakorkamla, BMKG, LAPAN, Dept. Kehutanan dll.

Satelit Maritime

IMSS berbasis radar dan airborne (patroli udara) memiliki keterbatasan daya jangkau yang bisa diatasi dengan memanfaatkan teknologi EOS-earth observation satellite atau maritime surveillance. Beberapa satelit untuk tujuan penelitian dan komersiil sudah semakin spesifik dengan banyak pemakaian beberapa panjang gelombang untuk mengatasi berbagai hambatan pengambilan data misalnya infra merah (IR) dan X band. Metode satellite surveillance ini dapat menampilkan data secara tepat, akurat dan terkini. Teknologi satelit penginderaan jauh menghasilkan data citra digital yang dapat memberikan informasi tentang kondisi riil di permukaan bumi. Informasi yang diperoleh tergantung dari jenis gelombang dan resolusi citra satelit. Penggunaan Sensor Aktif atau SAR-synthetic aperture radar, baik dengan wahana satelit (spaceborne) sangat pesat dan dapat dilakukan hampir setiap saat, baik siang maupun malam dan tidak terkendala oleh awan atau cuaca buruk.

Kendala utama maritime surveilance melalui satelit adalah belum adanya satelit milik sendiri dan dikendalikan sendiri oleh bangsa Indonesia. Menurut Triharjanto dkk (2008) sebuah satelit remote sensing sekelas THEOS, Thai Earth Observation Satellite milik Thailand dengan resolusi panchromatic 1 m dan 4 band multispektral resolusi 5-7 m, berikut peluncuran, pembangunan dan operasi ground station selama 5 tahun, bernilai sekitar 115-125 juta USD atau sekitar Rp. 1,5 trilyun. Apabila kita hanya membeli citra satelit komersial dengan resolusi 1 m panchromatic adalah sekitar 65 USD per km persegi. Bila diasumsikan luas wilayah kita 5 juta km persegi diperlukan biaya 365 juta USD atau sekitar Rp 4 trilyun pertahun atau sebesar Rp 20 trilyun selama 5 tahun belum termasuk biaya analisisnya, sungguh biaya yang cukup besar. Namun angka itu masih jauh lebih kecil dibanding dengan nilai ikan (atau sumber daya laut lain) yang tercuri dari perairan kita yang mencapai Rp. 30 trilyun pertahun. Angka kerugian itu akan jauh lebih besar bila dihitung dari kerugian akibat penyelundupan, perompakan,pencemaran dll.

Dalam diskusi : Optimalisasi pemanfaatan satelit observasi bumi untuk peningkatan kesejahteraan bangsa’ yang diselenggarakan oleh SeaCorm dan Kongsberg 7 Januari 2009 lalu, disimpulkan bahwa untuk mengatasi mahalnya biaya satellite marine / earth surveillance, Indonesia seharusnya berfokus pada 2 hal pokok yaitu ground segment dan user segment. Artinya dengan segala keterbatasan finansial dan sumber daya manusia sebaiknya Indonesia berfokus pada optimalisasi stasiun bumi dan pengembangan SDM untuk mengoperasikannya.

Kita tak perlu merasa rendah diri karena hal seperti itu juga banyak dilakukan oleh beberapa negara seperti Norwegia, Jerman, Jepang dan Taiwan. Sementara untuk kebutuhan satellite cukup berlangganan dengan provider satellite komersial yang tersedia seperti Radarsat-1 & 2 (MDA), QuickBird / Orb-View (Digital globe), Ikonos, SPOT, EurImage dll. Melalui suatu koordinasi dan scheduling area yang akan dipantau disesuaikan dengan satellite pass/track metode ini terbukti cukup efisien dan efektif.

Dalam diskusi tsb juga dikemukakan bahwa MEOS-Multimission Earth Observation System adalah system pemantaun yang cocok untuk kondisi Indonesia saat ini. Sistem MEOS ini tidak didukung oleh wahana space segment atau satellite sebagai komponen pendukung utama, tapi lebih fokus pada jaringan ground station. Pendukung utama system MEOS adalah ground segment serta user segment (user atau human resources) yang mengoperasikan sebuah stasiun bumi tersebut. Jadi MEOS ini didukung oleh satelit-satelit komersial dan riset yang telah tersedia. Dengan optimalisasi sistem recieving dan processing data oleh ground station (dengan dukungan ground station network) untuk memaksimalkan penerimaan data satelit karena wilayah Indonesia yang sangat luas. Bila dioptimalkan sebuah ground station mampu mengakses sekitar 10 satelit yang lewat dalam jangkuannya. Sayangnya selama ini gound station kita hanya di pakai untuk satu satelit. Padahal dalam kurun waktu 24 jam, banyak sekali satelit lalu lalang dilangit Indonesia yang bisa diakses dan dimanfaatkan datanya.

Beberapa departemen dan lembaga pemerintah yang memiliki stasiun bumi seperti LAPAN-Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, Departemen Kehutanan, Departemen Kelautan dan Perikanan serta lembaga baru seperti Bakorkamla memiliki graound station untuk tupoksi-tugas pokok dan fungsi mereka masing masing. Misal, Departemen Kehutanan memiliki ground station untuk satelit NOAA untuk memantau hot spot atau kebakaran hutan, sementara Lapan memiliki ground station dengan kemampuan serupa. Departemen Kelautan dan Perikanan memiliki ground station untuk satelit Seawifs, satelit JASON, Envisat MERIS dan Themis untuk monitoring parameter lingkungan kelautan seperti suhu permukaan laut, arus laut dan pergerakan plankton (klorofil-a) di lautan.

Fitur-fitur diatas sebenarnya di tangani oleh sebuah ground station multifungsi yang bisa merangkum semua misi menjadi satu. Ditambah kemampuannya untuk mengakses data satelit Radar seperti Envisat ASAR maka ground station tsb bisa melayani berbagai kepentingan seperti pemetaan banjir dan badai, pemetaan gempa, memantau pencemaran laut, deteksi kapal, memantau berapa luasan hutan atau luasan sawah produktif dll.

Dalam kondisi siaga krisis ground station tsb mampu digunakan untuk kepentingan hankam dengan memanfaatkan data-data satelit untuk kepentingan taktis dan strategis. Beberapa lembaga antariksa raksasa dunia seperti NASA EDOS-Earth Observation Sattellite Data Operating System , ESA ERS (EnviSat), Eumetsat EPS – European Meteorology Polar Satellite, KSAT-Kongsberg Satellite Service telah melengkapi sytem ground station mereka dengan fitur-fitur MEOS Capture HRD FEP -High Rate Demodulator and Front End Processor- yang mampu mengolah data baik satelit optis, satelit radar maupun satelit cuaca.

Pemanfaatan Maritime domain

Jaringan stasiun – stasiun bumi MEOS yang tersebar di seluruh dunia mulai dari stasiun bumi SVALSAT (di Svalbard-Kutub utara), Tromso, sampai stasiun bumi di kutub selatan (TrollSat, O’Higgins dan Mc Murdo) memperoleh gambar-gambar satelit yang berasal dari satelit radar dan optis dan satelit cuaca untuk dipergunakan untuk beragam kepentingan diantaranya untuk monitoring mencairnya es kutub akibat global warming. Juga untuk pemanfaatan kelautan local yang penting lain, diantaranya ;

Pengawasan tumpahan minyak

Sampai saat inipun kita belum mampu mengatasi masalah tumpahan minyak di laut yang disebabkan oleh berbagai sumber seperti kapal tanker, fasilitas explorasi di laut atau sebab lain seperti yang terjadi di pantai Majene dan selat Bali baru-baru ini. Dengan penggunaan satelit-satelit lintas kutub (Polar Orbit) yang dilengkapi teknologi SAR-sytnthetic aperture radar, maka kita dapat mendeteksi tumpahan minyak di permukaan laut dan melacak siapa dan kemana sumbernya bersembunyi. Tatkala minyak membentuk sebuah lapisan tipis di permukaan laut, maka minyak akan menghilangkan gelombang-gelombang kapileri. Disebabkan perbedaan dalam sebaran yang berasal dari areal yang ada riak gelombang dan areal yang tidak ada atau kurang adanya gelombang, satelit radar dapat mendeteksi lapisan tumpahan minyak yang berada di permukaan laut. Informasi tentang lapisan minyak, posisi, ukuran, dan sebagainya, dapat diteruskan kepada pihak yang berwenang.

Rembesan Hidrokarbon di laut

Berdasarkan teknik-teknik yang sama, seperti pemantauan tumpahan minyak, pendeteksian rembesan minyak mentah (hydrocarbon) dari dasar laut mungkin saja terjadi. Hidrokarbon yang berada di bawah permukaan laut mungkin saja mengalami kebocoran pipa atau kapal dari dasar laut, dan keluar membentuk lapisan minyak di permukaan laut. Gelombang-gelombang gas yang dikelilingi oleh minyak dapat muncul ke permukaan melalui ledakan-ledakan dalam air. Lalu akan tercipta lapisan minyak yang kecil dan tipis (film).

Areal wilayah alami tersebut diketahui terjadi dari waktu ke waktu dalam cadangan-cadangan minyak yang potensial, namun frekuensi dan jumlah rembesannya dapat berbeda-beda. Hal ini umumnya tampak menarik bagi perusahaan – perusahaan minyak, yakni melakukan pencarian minyak di ladang-ladang samudera yang baru atau sebagai pendukung terhadap kegiatan eksplorasi lainnya yang ada di wilayah tersebut. Teknik ini pula yang telah dipakai oleh Stat-Oil Norwegia untuk menemukan cadangan minyak di selat Makassar Indonesia.

Produk – produk nilai tambah MEOS bervariasi dari satu satelit ke satelit yang lain. Pantauan MEOS dipergunakan untuk menampilkan citra, modifikasi output dan menggabungkan (overlay) citra satelit tersebut dengan citra AIS/VTS dan meteorologi. Melalui kombinasi data dari kapal patroli laut dan pesawat udara maka pihak otoritas hankam bisa mempergunakan citra SAR untuk mendeteksi lalu-lintas sipil dan militer di wilayah perairan luas dengan biaya cukup murah dan efektif. Informasi yang diperoleh dari citra SAR dapat dipergunakan untuk mengarahkan pesawat udara dan kapal laut untuk melakukan inspeksi lebih jauh terhadap sasaran. Informasi ini sangat membantu tatkala menjalankan operasi penangkapan illegal fishing atau adanya lalu-lintas yang mencurigakan di dalam wilayah laut nasional.

Informasi Meteorologis

Rangkaian MEOS meliputi ‘nowcasting’, seperti tipe/jenis awan, temperatur puncak awan, dan produk-produk klimatologi seperti temperatur permukaan laut dan Indeks Vegetasi Normal (Normalized Vegetation Index). Dengan fitur ini peramalan cuaca akan lebih akurat. Juga bisa dimanfaatkan untuk mengoptimalkan dukungan pada sektor pertanian menyangkut luas lahan serta timing yang tepat untuk masa tanam dan panen. Sementara untuk sektor kehutanan untuk mendeteksi hot-spot dan mendukung pengelolaan hutan secara lestari.

Penutup

Pada akhirnya kita hanya bisa berharap agar momentum perhelatan akbar sekelas World Ocean Conference ini mampu membangkitkan keagairahan kita untuk membenahi semua hambatan dan tantangan dalam mewujudkan keselamatan dan keamanan di laut kita melalui skema baik MDA, penerapan IMSS dan MEOS untuk mewujudkan kesejahteraan bangsa Indonesia. Karena tujuan utama MDA dan pembangunan IMSS dan MEOS adalah memberikan peringatan-peringatan dini (early warning) akan kemungkinan terjadinya kecelakaan, termasuk memberikan dukungan pertolongan (Search and Rescue-SAR), untuk menangani pencemaran minyak, dan menangani logistik lapangan baik untuk lalu lintas kapal laut maupun pesawat udara.

Karena tujuan tertinggi berbagai peralatan tsb adalah mendukung SOLAS-Safety Of Life At Sea untuk berdampingan secara harmonis dengan lingkungannya. Pada akhirnya kondisi terumbu karang atau sumber daya perikanan yang lestari tak akan tercapai tanpa didahului dengan kesejahteraan, keselamatan dan keamanan manusia penghuninya. Dan semua itu tak mungkin kita capai tanpa bekerja-sama dan saling mendukung diantara semua stakeholder terkait dengan domain maritim termasuk adanya dukungan partisipasi masyarakat.

* Direktur Divisi Energi, Kelautan & Lingkungan CIDES, Pemerhati IMDA-Indonesian Maritime Domain Awareness.

Simposium di tepi Danau Geneva

Kalau jenuh dalam ruangan konvensi aku pergi ke tepian danau Geneva, duduk duduk sambil minum segelas Capucino di restoran perahu di tepi danau Geneva. Sesekali aku mengobrol dengan pemilik café di tepi danau Geneva tentang berbagai hal terutama pengamatannya tentang kondisi air permukaan danau.

Penjaga kafe itu menceritakan kalau permukaan danau Geneva agak surut, level airnya turun bahkan mencapai hampir 1 meter dan dia juga merasa bahwa danaunya makin surut dan kotor.

Smog Membekap Jabotabek

Sebagai warga kota besar seperti Jakarta tentunya kita sering terjebak kemacetan lalu lintas. Dalam kondisi seperti itu tentunya anda pernah merasakan gejala - gejala mata pedas, keluar air mata, nafas serasa tercekik, hidung berair serta batuk-batuk terutama sewaktu terjebak macet dibawah terik matahari. Waspadalah karena tanda-tanda itu merupakan gejala atau symptom terpapar polusi ‘kabut ozon’ akibat polusi udara di Jakarta..

Lantas apa itu kabut ozon bagaimana terbentuknya ? Kabut adalah kumpulan tetes-tetes air yang sangat kecil yang melayang-layang di udara. Kabut mirip dengan awan, perbedaannya, awan tidak menyentuh permukaan bumi, sedangkan kabut menyentuh permukaan bumi. Sewaktu berada di lingkungan udara terbuka, berbagai polutan dalam senyawa asap (seperti hydrocarbon, nitrogen dioksida dll) yang dimuntahkan knalpot kendaraan bermotor . cerobong pabrik dan pembakaran sampah akan berbaur dengan oksigen dan uap air membentuk kabut asap, yang mencekik dan pedas serta menyebabkan batuk dan merusak paru-paru.

Berbagai polutan dari mobil, industri atau pabrik, pembakaran sampah, uap bensin serta zat-zat hidrokarbon yang terlarut dalam udara (dikenal sebagai VOC-volatile organic compound seperti benzena & senyawa aromatis lain). dalam kabut asap di dekat permukaan tanah itu bereaksi satu sama lain menghasilkan jenis pencemar baru, yang lebih berbahaya. Reaksi ini dapat terjadi secara otomatis ataupun dengan bantuan katalisatori sinar matahari (reaksi fotokimia). Senyawa pencemar baru hasil reaksi fotokimia itu dikenal sebagai kabut asap fotokimia (photochemical smog) yaitu pencemar sekunder yang terdiri beberapa senyawa seperti Ozon permukaan, formal dehida, dan Peroxy Acyl Nitrate (PAN). Kabut ozon fotokimia itu sering dijumpai di kota metropolitan. Secara kolektif polusi itu lebih dikenal sebagai ozon permukaan, karena zat itulah yang paling dominan dan paling mudah diukur dengan menggunakan ozon analyzer.

Kabut ozon merupakan polutan sekunder sangat berbahaya, karena bersifat oksidan (atau radikal bebas) yang sangat kuat bahkan bisa digunakan untuk mendisinfektasi pasokan air minum. Kabut asap fotokimia akan terbawa angin atau terjebak oleh lingkungan sekitarnya.

Pembentukan kabut ozon seringkali tidak terjadi di tempat asal sumber (kawasan perkotaan / pusat industri), namun sering terbentuk di pinggiran kota. Salah satu dampak penting yang nyata adalah kabut itu menyebabkan kaburnya pandangan sewaktu di jalan raya (atau jalan tol) serta membahayakan mereka yang menghirup atau terpapar olehnya. Manusia, hewan dan tumbuhan akan mengalami gejala merugikan bila terpapar polutan ini walaupun dengan konsentrasi sangat rendah 0,1 ppm (100 ppb) dalam waktu pendek.

Bencana polusi kabut ozon pernah tercatat sejarah yang dikenal dengan ‘The London Smog’. ‘Smog’ (berarti ‘smoke’-asap dan ‘fog’-kabut-) berwarna coklat kemerahan (disebut ‘pea soup’ karena warnanya coklat kemerahan seperti soup kacang hijau).

Bencana ‘The London Smog’ itu terjadi di London pada Desember 1952. Dalam waktu 17 hari bencana itu menewaskan sebanyak 4.000 orang. Fenomena polusi kabut ozon juga terjadi pada kota-kota metropolitan seperti New Delhi, Los Angeles, Zurich, Manila, Bangkok dan Jakarta dengan jumlah korban meninggal atau sakit yang bervariasi.


Polusi ozon permukaan merupakan paramater penting dalam penentuan kualitas udara diseluruh dunia. Di Indonesia, ozon permukaan merupakan satu dari lima parameter yang diukur selain PM-10, Pb, SO2 dan NO2. Dengan demikian ozon permukaan merupakan indikasi hadirnya pollutan sekunder sebagai dampak meningkatnya emisi NO2 dan hydrocarbon (HC) dari berbagai sumber. Kabut ozon permukaan itu terjadi pada lapisan troposfir (permukaan bumi) sehingga berbeda pengertiannya dengan istilah deplesi ozon (bolongnya lapisan ozon) yang terjadi pada lapisan stratosfir (atmosfer atas).

Kondisi Jakarta

Menurut pengamatan kadar ozon permukaan di Jakarta sejak tahun 1999 sampai 2005 menunjukkan peningkatan (lihat grafik dibawah). Hal itu menunjukkan bahwa program-program pengurangan emisi (khususnya NO2 dan hydrokarbon dan VOC) sebagai precursor atau bahan mentah terbentuknya ozon permukaan (dari transportasi dan industri) belum berhasil alias gagal.

Di Jakarta, kabut ozon foto kimia tampak terlihat jelas ketika kita sedang ‘take off’ dengan pesawat terbang dari Bandara Soekarno Hatta-Cengkareng sampai batas awan terendah.

Berdasar penelitian JICA & Pusarpedal (1999) beberapa kawasan yang rawan pencemaran kabut ozon permukaan adalah Jakarta Utara, Pluit, Pulogadung-Jakarta Timur, terkadang kawasan Jl.Thamrin-Jakarta Pusat. Nilai tertinggi polusi ozon permukaan tercatat di kawasan Puspitek Serpong. Studi lain (oleh Karlsruhe Forchung Centrum-Kemetrian Pendidikan & Riset Jerman bekerjasama dengan CIDES, BPPT dan Bapedal pada 1998-1999) melaporkan bahwa penyebaran polusi kabut ozon permukaan tertinggi mencapai kawasan perkebunan teh di Puncak-Bogor disebelah tenggara Jakarta. Disebelah utara mencapai pulau Damar di kepulauan Seribu.

Manurut pengamatan, kebiasaan pergerakan polusi kabut ozon permukaan adalah pada siang sampai senja biasanya tertiup angin kearah barat daya Jakarta (kawasan Serpong) atau mengarah ke selatan dan tenggara (Jakarta selatan sampai Puncak-Bogor) tergantung arah angin. Sedangkan pada malam hari biasanya terbawa angin kearah utara ke kepulauan Seribu (Pulau Damar Kecil & Damar besar). Pola pergerakan kabut ozon permukaan di Jakarta ini masih sangat perlu diteliti dengan lengkap dan cermat.

Tabel 1.Konsentrasi rata-rata setiap jam Ozon (O3) Baku Mutu MenLH No.Kep.02/MENKLH/1998 & baku mutu PP No.41 tahun 1999

pada beberapa stasiun pengamatan

No

Stasiun

Para

meter

Baku mutu

Melebihi Baku Mutu

Jumlah

Sampel

1

Serpong

Ox

100 ppb

80 ppb

96

228

8000

2

Pulogadung

O3

10

18

3710

3

Pluit

O3

5

17

7318

4

Thamrin

O3

0

8

7608

5

KPPL-

Ox

2

12

8002

Sumber: Studi JICA-Pusarpedal,2000

Dari tabel 1 diatas terlihat bahwa perbandingan konsentrasi ozon (O3) atau Ox dengan baku mutu Kep.Men.LH No. Kep.02/MENKLH/1988 dan baku mutu Nasional adalah konsentrasi ozon melebihi kedua baku mutu tsb paling sedikit 1 jam di stasiun Pulogadung, Pluit dan Thamrin. Sementara untuk Ox melebihi baku mutu Kep.02/MenKLH/1988 sebanyak 96 jam dan melebihi baku mutu nasional sebanyak 228 jam dari sejumlah 8000 sampel di stasiun Pusarpedal-Serpong dan konsentrasi Ox melebihi baku mutu 2 jam dan 12 jam di stasiun KPPL-Jakarta Selatan.

Sumber: Diolah dari data BPLHD DKI Jakarta (2006)

Tabel 2. Pollutan utama pembentuk kabut ozon fotokimia

No

Pollutant

Sumber utama

Dampak kesehatan

1

Nitogen Oksida

(N0x)

Emisi kendaraan bermotor, pembakaran bahan bakar fosil, boliler, Power plant, industri bahan peledak, industri pupuk, pembakaran kayu & sampah

Iritasi saluran pernapasan, sakit kepala (pusing-pusing), pulmonary emphysema, edema paru-paru,lacrymatory effect, hilang nafsu makan, korosi gigi

2

Oksidan

(ozon) (03 )

Berasal dari reaksi fotokimia yang berasal dari VOCs & NO2

Menurunkan fungsi paru-paru,

Bereaksi imflamatori pada paru-paru

Meningkatkan gejala ISPA

Meningkatkan biaya kesehatan & biaya rumah sakit,

Meningkatkan kematian, Menurunkan perkembangan paru-paru pada anak.

Sumber:S.S.Dara Environment Chemistry & Pollution Control,S.Chand & Company LTD

Tabel 3. Baku mutu udara ambient untuk NO2 dan Oksidan (Ozon)

di DKI Jakarta berdasar Keputusan Gubernur No. 551/2001

No

Para

Meter

Waktu

Pengukuran

Baku Mutu

Baku Mutu

Pembanding

1

Nitrogen diosida (NO2)

1 jam

24 jam

1 tahun

400 ug/Nm3 (200 ppb)

92,5 ug/Nm3( 5 ppb)

60ug/Nm3(30 ppb)

100ugr/m3(50 ppb)

2

Oksidan (O3)

1 jam

1 tahun

200 ug/m3 (100 ppb)

30ug/m3 (15 ppb)

80 ppb,1 jam, USEPA),

90 ppb,1 jam (Eropa)

Sumber : Peraturan Gubernur DKI 2/2005 & USEPA (2004)

Angka rata-rata maksimum ozon permukaan di stasiun BMG Jakarta. 100 ppb (atau 200 ug/m3) (0,1 ppm) bahkan sekarang dibuat lebih tinggi lagi yaitu 235 ug/m3 atau sekitar 117,5 ppb. Sementara standar Eropa lebih ketat, apabila kandungan ozon permukaan melebihi 180 µg/m³ (90 ppb). Nilai ambang batas untuk lapisan ozon permukaan adalah 100 ppb (0,1 ppm).

Di Eropa dan Amerika Utara (AS dan Kanada) jauh lebih ketat, apabila kandungan ozon permukaan melebihi 180 µg/m³ (90 ppb) selama satu jam maka masyarakat sudah diperingatkan untuk menghidari aktivitas diluar rumah karena kadar tersebut menyebabkan iritasi mata dan infeksi saluran pernapasan. Kandungan ozon permukaan tinggi juga akan merusak tumbuhan.

Sumber : Diolah dari data BPLHD DKI Jakarta (2006)

Berdasar grafik diatas pola polusi ozon di Jakarta meningkat pada musim-musim penghujan yaitu mulai pertengahan Agustus sampai pertengahan November. Salah satu penyebabnya adalah pada rentang waktu itu intensitas sinar matahari tinggi serta kadar uap air (kelembaban) di Jakarta sedang tinggi sehingga pembentukan ozon permukaan lebih intensif.

Dampak Ozon

Secara alamiah konsentrasi gas ozon dalam atmosfer sangat kecil (sebagai trace gas/gas kelumit) dan merupakan hasil dari proses dekomposisi dari organisme mati. Bersama dengan oksida nitrogen dan gas hidrokarbon akan menimbulkan reaksi fotokimia di udara menghasilkan ozon. Karena ozon lebih rendah lagi daya larutannya dibandingkan SO2 maupun NO2, maka hampir semua ozon dapat menembus sampai alveoli. Ozon merupakan senyawa oksidan yang paling kuat dibandingkan NO2 dan bereaksi kuat dengan jaringan tubuh.

Evaluasi tentang dampak ozon dan oksidan lainnya terhadap kesehatan yang dilakukan oleh WHO task group menyatakan pemajanan oksidan fotokimia pada kadar 200-500 µg/m³ dalam waktu singkat dapat merusak fungsi paru-paru anak, meningkat frekuensi serangan ashtma dan iritasi mata, serta menurunkan kinerja para olahragawan.

Kadar NO2 sebesar 0,22 ppm dengan jangka waktu pemajanan 8 bulan terus menerus, dapat menyebabkan rontoknya daun berbagai jenis tanaman bernilai ekonomis seperti tanaman perkebunan (teh, kopi), sayuran dan tanaman sawah (Jagung, padi dan palawija).

Ozon (O3) mengakibatkan gangguan proses asimilasi pada tumbuhan. Pengaruh NO yang utama terhadap lingkungan adalah dalam pembentukan smog. NO dan NO2 dapat memudarkan warna dari serat-serat rayon dan menyebabkan warna bahan putih menjadi kekuning-kuningan.

Kadar NO2 sebesar 25 ppm yang pada umumnya dihasilkan dari emisi industri kimia, dapat menyebabkan kerusakan pada banyak jenis tanaman.

Kerusakan daun sebanyak 5 % dari luasnya dapat terjadi pada pemajanan dengan kadar 4-8 ppm untuk 1 jam pemajanan. Pada konsentrasi tinggi (0,3 ppm atau 300 ppb) kabut asap fotokimia akan menyebabkan iritasi mata, pada konsentrasi sedang menyebabkan kerusakan tanaman yang ditandai dengan pemucatan warna daun (karena khlorofil mengalami lisis) serta pada konsentrasi rendah mengurangi jarak pandang (visibility reduction).

Dampak ozon pada tumbuhan tergantung dari jenis tanaman, umur tanaman dan lamanya pemajanan, kerusakan terjadi dapat bervariasi.

Tabel. 4. Pengaruh berbagai pencemar oksida pada lingkungan

Material / lingkungan

Akibat

Bahan pencemar

Faktor lain

Zat warna (cat)

Pucat, hilang warna, pengelupasan

NO2, bahan oksida, SO2

Kelembaban, sinar matahari, mikro-

organisme

Karet

Pecah-pecah/retak, melunak, pelapukan

Ozon dan oksida nitrogen

Sinar matahari

Tanaman

Tepi daun menghitam, menguning, daun rontok

SO2 dan NO2

Sinar matahari, kelembaban, suhu

Ternak

Produktivitas turun, stress, keracunan, necrosis, kematian

Arsenik, timbal, flour, SO2, NO2.

Kelembaban, suhu, sinar matahari

Sumber: Diolah dari Emil T.Chanlett: Environment Protection’ Mc Graw Hill-Kogakusha-Tokyo LTD,1973 & S.Dara : Environment Chemistry & Pollution Control,New Delhi : 1998.

Upaya Pencegahan

Faktor utama untuk mengurangi dan mencegah pencemaran ozon adalah dengan mengurangi pemakaian bahan bakar fosil (BBM dan Batubara). Karena Indonesia termasuk Jakarta memiliki iklim tropis penguapan VOC dalam bensin (biasa disebut “uap bensin”) perlu mendapatkan perhatian khusus mengingat VOC sangat berpotensi sebagai senyawa awal (precursor) terbentuknya ozon terutama di kawasan yang memiliki populasi kendaraan yang padat.

Penanganan yang bisa dilakukan untuk pengendalian kebocoran VOC ke udara adalah dengan pemakaian dispenser dilengkapi fasilitas pompa vacuum penyedot VOC untuk dikembalikan kepada tangki penampungan BBM, serta pemakaian canister yang terhubung dengan tangki bensin pada kendaraan yang dilengkapi dengan carbon aktif. Demikian juga pengisian bahan bakar (refueling) sebaiknya dilakukan pada pagi hari atau malam hari untuk menghindari penguapan VOC karena pengaruh panas matahari.

Upaya lain adalah mempertegas penerapan standar emisi dan kualitas kendaraan baik untuk kendaraan 2 tak maupun 4 tak. Demikian juga, untuk dapat mengakomodasi tuntutan emisi yang lebih bersih dibutuhkan bahan bakar yang lebih bersih. Pemerintah, dalam hal ini harus memberlakukan spesifikasi BBM yang baru, yang telah melewati berbagai proses diskusi dengan para ahli, pihak otomotif serta berbagai stakeholder lainnya.

Dalam spesifikasi tsb, untuk bahan bakar bensin harus ditambahkan aturan tentang kandungan benzene, aromatic, belerang, tekanan uap (Volatile Organic Compounds: VOC), olefin dan oxygen. Benzene di yakini bersifat carcinogen; aromatic diyakini sebagai sumber ozon dan memungkinkan berubah senyawa menjadi benzene dalam reaksi pembakarannya dan meningkatkan emisi benzene; belerang sangat berpengaruh negatif terhadap kinerja catalytic converter; tekanan uap (VOC) menentukan penguapan bahan bakar saat penyimpanan ataupun saat pemindahan bahan bakar dari tangki ke tangki (refueling process) lainnya, sedangkan olefin merupakan sumber ozone; sementara oxygen yang terkandung dalam bahan bakar akan mempengaruhi kandungan energi serta berpengaruh pada kompatibilitas komponen mesin yang dipakai.

Komponen yang paling utama dalam mengurangi atau mitigasi polusi adalah pemakai kendaraan bermotor itu sendiri, efisiensi pemakaian BBM harus lebih ketat dan tegas mengingat keterkaitannya dengan beban polusi dan beban subsidi. Tak kalah penting adalah penegakan berbagai aturan yang terkait degan transportasi karena semua hal diatas tak ada artinya tanpa penegakan hukum dan kesadaran masyarakat dan pemerintahnya.

Tol Baru & Polusi

Hadirnya rencana pembangunan 6 ruas jalan tol baru di Jakarta menimbulkan kekhawatiran baru akan meningkatnya probabilitas paparan polusi udara terutama kabut ozon permukaan.

Ruas-ruas jalan tol yang dibangun tinggi diatas tanah akan menghalangi aliran angin atau berfungsi seperti perbukitan. Dengan adanya ruas tol yang tinggi tsb kabut asap fotokimia atau ozon permukaan tsb akan terjebak atau minimal tertahan di sekitar ruas jalan tol tsb. Dengan kata lain pembangunan ruas tol baru akan menciptakan ‘smog trap atau haze trap’ yang membuat warga Jakarta akan semakin terpapar oleh berbagai polutan yang terkandung dalam polusi udara.

*Direktur Kajian Energi,Kelautan dan Lingkungan CIDES

(Alumni Exchange Program Institute fur Meteorologie & Klimaforchungs Karlsruhe Forchungszentrum-Germany 1999

& Alumni LIFE Academy-Swedia 1999-2000)