Jumat, 26 Februari 2010

Montreux from Space


Berbagai provider satelit dalam pameran Envisat menampilkan kebolehannya memotret kota Montreux dari langit diantaranya adalah SPOT 5 satelit optical multispectral milik Perancis..

Kamis, 25 Februari 2010

Danau Geneva


Kalau jenuh dalam ruangan konvensi aku pergi ke tepian danau Geneva, duduk duduk sambil minum capucino di restoran perahu di tepi danau Geneva. Sesekali aku mengobrol dengan pemilik café di tepi danau Geneva tentang berbagai hal terutama pengamatannya tentang kondisi air permukaan danau. Penjaga kafe ini bercerita kalau danau Geneva permukaan airnya semakin surut bahkan mencapai 1 meter dan semakin kotor. Dari pengamatanku memang kondisi penguapan danau ini berubah drastis dan mengindikasikan kondisi panas yang melebihi kondisi normal.

Symposium Envisat di Montreux


Begitu tiba di stasiun Montreux saya segera bergegas mencari lokasi ‘Montreux Music and Convention Centre’ tempat berlangsungnya symposium di jalan Grand rue- yang berjarak sekitar 1,5 km dari stasiun Montreux. Sebelum berangkat ke Swiss saya sudah mengumpulkan banyak informasi tentang kota ini dari Google baik berupa peta dan berbagai informasi lain.
Bersama dengan kami ternyata banyak juga peserta yang baru tiba, segera kami berjalan kaki menuju lokasi symposium. Di kanan kiri jalan berjajar restorant, hotel atau toko yang memajang berbagai produk dari mulai fashion, elektronika dan arloji.
Gedung Montreux Convention Center tak sulit dicari, karena Symposium itu diadakan di Convention Center Montreux yang terletak di tepi danau Geneva. Sesampai di depan convention centre suasana sudah mulai ramai. Acara symposium ini merupakan event internasional terbesar di Montreux yang diselenggarakan oleh Swiss Space Agency bekerjasama dengan ESA-European Space Agency. Banyaknya peserta asing membuat acara itu dijaga cukup ketat oleh security panitia symposium dan satuan polisi setempat. Hal itu adalah pemandangan wajar setelah peristiwa New York 911 bahkan di Swiss Negara yang terkenal aman dan damai. Segera saya melakukan registrasi ke panitia. Rupanya peserta dari Asia tak banyak yang diundang. Hanya beberapa Negara Asia yang mengirim utusan diantaranya Jepang, China, Indonesia dan Vietnam.
Setiap selesei atau break acara symposium, saya mengunjungi salah satu stand pameran atau mengobrol dengan penjaga stand pameran atau berdiskusi dengan peserta symposium dari negara-negara lain. Dalam forum Envisat ini saya mendapatkan banyak relasi dari berbagai institusi pengindraan jauh, provider satelit dan berbagai lembaga penelitian berkaitan dengan observasi bumi. Salah satu yang intensif adalah dari Kongsberg Satelilite Service-KSAT yang menyediakan layanan pemantauan kapal dan pemantauan pencemaran minyak dengan memanfaatkan satellite radar Envisat. Stand lain diantaranya Thelys-Italia, Digital globe, Spot image, DLR dan berbagai universitas yang memiliki riset resmote sensing dan GIS
Dalam forum symposium Envisat ini dipajang miniatur berbagai macam satelit Envisat ENVISAT untuk berbagai misi diantaranya misi maritime surveillance satellite system membutuhkan satelit yang mampu merekam secara near real time (NRT) Envisat.
Envisat merupakan satelit milik ESA-European Space Agency dengan misi observasi atmosfer, kelautan, daratan dan lapisan es. Data satelit Envisat dipakai untuk mendukung riset kebumian dan berperan dalam monitoring perubahan lingkungan dan iklim global.

Hari kedua Symposium, aku kembali lagi ke arena symposium dan bertemu salah satu professor dari badan antariksa Jepang (JAXA-Japan Aerospace Agency). Kami saling memperkenalkan diri dan menceritakan proyek penelitian masing masing. Dari professor ini aku dapat beberapa masukan dan kontak tentang badan antariksa dan satelit ALOS-Advance Land Obeservation Satellite , satelit radar milik Jepang
Dalam ruang komisi di Symposium Envisat itu aku juga ikut beberapa presentasi tambahan tentang pemanfaatan satelit untuk penelitian plankton di sekitar Laut China Selatan. Kebetulan aku pernah melakukan penelitian yang serupa pada tahun 2003 bekerja sama dengan START Washington dan SARCS Regional Committee di Taiwan.
Dalam Symposium Envisat ini juga ada pameran sehingga banyak stand pameran yang ditampilkan mulai dari berbagai provider satelit spot, quickbird, envisat dll. Salah satu stand yang sesuai dengan misi lembaga kami adalah stand KSAT yang menampilkan layanan deteksi pencemaran minyak dan deteksi kapal melalui satellite. Kami banyak bertanya dan dilayani dengan sangat ramah oleh Tone Schonberg. Saya coba meminta contoh layanan satellite track di atas wilayah Indonesia.

Selasa, 23 Februari 2010

Siang di Montreux



Suasana siang di kota kecil Montreux

Pagi di Montreux Swiss



Suasana jalan Grand rue Montreux di depan arena Symposium..!

Kereta di Glion Swiss



Danau Geneva dari dalam kereta gunung Glion Rocherz de naye..!

Pagi di Glion Swiss



Suasana pagi di stasiun kereta Glion..dari jauh terlihat pemandangan danau Geneva dan gunung Alpen..!

Sunset di Glion Swiss



Sunset dari belakang teras hotel...menghadap danau Geneva...!

Glion-Rochers de Naye Swiss



Hari pertama Envisat Symposium aku datang langsung dari Geneva dengan membawa semua barang 1 buah tas ‘trolly’, tas computer, satu ransel dan dapat satu lagi tambahan sebuah ransel dari panitia symposium.
Saat coffee break symposium hari pertama aku menyusuri jalan Grand de Rue mencoba cari hotel disekitar kota Montreoux. Sialnya, hampir semua hotel di kota Montreux sudah ‘fully book’’ terisi oleh delegasi symposium dari seluruh dunia. Kemudian aku bertanya ke pada ‘Ms.Enrica catelli’ dari dinas pariwisata dan touris Montreux yang membuka stand pameran pada arena symposium.

Dia menyarankan aku mencari hotel di kawasan pegunungan di dekat Montreoux yaitu di kawasan Glion atau Rochers de Naye. Setelah kucari di buku hotel guidance’ kutemukan beberapa hotel yang sesuai dengan budgetku
…Kemudian kutelpon..
‘Bonjour…’
‘Halo saya peserta symposium dari Indonesia.’.
‘Apakah masih tersedia kamar di hotel ini..untuk satu orang single
‘Ok sir..! satu kamar untuk single dengan tariff USD 88 perhari atau sekitar 140 Swiss Franc..masih tersedia..’
‘Apakah anda memiliki kartu kredit’ ..
‘Ya ..ada’ ..kemudian mereka meminta nomor kartuku..
‘Ok.. sir !, Kami akan check dulu…kartu anda’ ‘Silakan telpon kami 30 menit lagi’ ‘Mercy-mercy !’.
Akhirnya kudapatkan hotel ‘des Alpes’ di Glion De Naye yang berjarak sekitar 9 km dari kota Montreux. Kota Glion tempatku menginap berada di atas gunung dengan ketinggian sekitar 2042 meter diatas muka laut.
Glion-Rochez de naye adalah kota kecil diatas pegunungan Alpen yang memiliki banyak hotel-hotel kecil. Pemandangan kota Montreux dengan danau Geneva-nya dan gunung Alpen sangat indah dilihat dari kota kecil ini.
Pikirku, kota ini lebih cocok dipakai berlibur untuk ‘honey moon’ dibanding untuk petualang riset seperti yang sedang kujalani. Sebelum pulang ke hotel aku berbelanja makanan di minimarket untuk persediaan selama menginap di Glion de Naye. Kerna belum tau transport yang murah (kereta) maka terpaksa aku harus keluar biaya ekstra untuk menyewa taksi..sebuah minivan ‘Mercedes Viano’..dengan tariff hampir 40 Swiss franc.

Di Glion aku bertemu beberapa turis dari Jepang, namun mereka agak tertutup dan menjaga jarak dengan sesama tourist dari Asia. Satu hal yang mengasyikkan selama tinggal di Glion adalah perjalanan menuju dan pulang dari Rochez de naye dengan kereta sangat mengasyikkan karena dilayani kereta khusus dengan ‘rel bergerigi’ karena kondisi jalan yang menanjak tajam, melewati hutan dan beberapa terowongan pendek dan bukit bukit di atas kota Montreux.
Dalam beberapa kali perjalanan antara Montreux- Glion aku bertemu beberapa turis ABG Amerika yang kelihatannya sedang berlibur sambil belajar bahasa Perancis di kota itu.

Rabu, 17 Februari 2010

Nginap Gratis di Swiss


Esoknya pagi pagi kami segera berangkat menuju kota Montreux dengan kereta. Jarak Geneva ke Montreux kira kira 4 jam perjalanan, waktu yang cukup untuk merampungkan bahan bahan presentasiku di Symposium tsb. Suasana dalam kereta dari Geneva waktu itu cukup sepi, penumpangnya sangat jarang tak seperti kondisi penumpang kereta di negeriku yang selalu berjubel bahkan tak jarang ada yang bertengger diatap kereta.

Dalam perjalanan menuju Montreux itu, aku duduk sendirian terpisah dengan teman lain dari Indonesia. Kemudian dari stasiun pertama berhenti sebelah timur Geneva naiklah penumpang seorang ibu. Kemudian dia duduk di kursi di depanku. Melihatku kelihatan sibuk bekerja dengan laptop, dia terseyum ramah. Mungkin dia melihatku sebagai orang ’Asia aneh’ yang jarang ditemui di Geneva
Lalu kuhentikan kerjaku dan menyapanya!
‘Bonjour madam’, Hallo- selamat pagi’ sapaku.
‘Eeeeh, hallo, Selamat pagi juga’. Ibu itu tersenyum, melihatku kelihatan asing dan sepertinya baru datang dari perjalanan jauh. Kerna disebelahku banyak perbekalan satu tas komputer, ransel dan sebuah tas trolley cukup besar.

’Kamu dari mana’ tanyanya.
‘Saya dari Indonesia !’
‘Apakah anda tahu dimana posisi Indonesia’ ,tanyaku kepadanya.
Dia diam kelihatan berpikir sebentar. Tak jarang saya harus mengubah beberapa istilah dalam percakapan itu dengan bahasa yang gampang di mengerti baik itu dalam bahasa Jerman atau Perancis.
‘Negeri kami disebelah selatan Singapore kira kira 12 jam terbang dari Zurich’, jelasku. ’Ach so’,..dia baru paham..
‘Saya dari Lucerne ..sebelum..Montreux ,
‘Iya..saya tahu sedikit tentang Asia tenggara, saya punya anak perempuan yang sekarang ini bekerja di Philipina..
‘Apakah ini pertama kalinya kamu ke Swiss’ .
‘Ya’, jawabku …. Tapi sebelumnya tahun 1999-an saya pernah bersekolah di Karlsruhe dekat Basel-Swiss’’, jelasku.
.’Oo…,bagus..kalau begitu’,
‘Apakah kamu sudah berkeluarga’,tanyanya.
’Iya, sudah, Saya menikah dan punya 2 putri kecil.yang lucu’, jawabku menjelaskan.
‘Ada keperluan apa kamu ke Montreux’,
‘Kami sedang menghadiri undangan dari Badan Antariksa Swiss dan ESA untuk Symposium pemanfaatan satellite untuk pemantauan kualitas lingkungan seperti kebakaran hutan atau pencemaran di laut’’ jelasku.

‘Oooo begitu, pantas .sejak beberapa minggu lalu saya melihat kesibukan dinas pariwisata ..mempersiapkan ..acara besar di pusat pameran di Montreoux’ , jelasnya.
‘Dimana kamu bermalam’
‘Belum tahu, nanti kami cari segera sesampainya di Montreux’
Dia tersenyum kemudian berkata lagi:
‘Begini, apabila kamu percaya akan Yesus,
maka kamu boleh menginap di rumahku...gratis..tanpa membayar
atau kamu akan banyak mendapat bantuan mendapatkan tempat bermalam disana,’ katanya menawarkan.

Aku tercenung sejenak mendengar ucapannya terakhir.
Segera aku menjawab ’Terimakasih. Sebenarnya dalam kepercayaan kami, kami juga percaya akan Yesus sebagai rosul dan utusan sebagimana Muhammad, Musa, Yusup, Adam dll dan Allah-lah Tuhan kami,’ saya menjelaskan padanya
Ibu itu langsung terdiam, dan tidak mengajak aku bercakap lagi sampai di Lucern ibu itu turun dan mohon pamit.
‘Selamat jalan ya, Salam buat teman-teman dan keluargamu ‘, katanya berpamitan.
‘Baik…! akan saya sampaikan kepada mereka terimakasih-Mercy, bye !

Selasa, 16 Februari 2010

Berkelahi di Geneva


Setelah check in di hotel Warwick dekat stasiun kereta Geneva, dan menaruh semua barang barang di kamar ! Kami segera keluar sebentar melihat suasana malam sambil mencari makan malam di sekitar stasiun kereta Geneva.
Tak jauh dari stasiun kereta Geneva, ada beberapa orang duduk duduk sambil merokok, kami mendekati mereka bermaksud bertanya. Suhu malam itu terasa sangat dingin bagi kami pendatang dari ’tropis’ ini. Suhu sekitar 12 derajad celsius membuatku agak menggigil. Kawanku segera mengeluarkan cigaretee
‘Smoking Sir,’ seorang negro menawarkan api kepada rekanku, namun tangan satunya bergerilya berusaha meraih dompet dari balik jaket kawanku.
‘Eeeeeiiiiit…you’re pickpoket’ .
Dengan reflek cepat kawanku menyikut dada penjambret itu dengan keras, ’Dueeeegg’, pria negro itu jatuh hingga terjengkang.
Sejurus kemudian pria di dekatnya mengeluarkan pisau lipat Swiss, namun belum sempat beraksi , dengan sigap dan sangat cepat kawanku segera menendang perutnya : ‘deeesss’ dia terjatuh sambil meringis memegangi perutnya..
‘Somebody… call the police’ aku berteriak berusaha menarik perhatian orang-orang di dekat kawasan itu.Namun tak ada tanggapan..ternyata orang orang di sekeliling itu mungkin termasuk komplotan ’penjembret Geneva’. Mereka segera kabur dan bubar, 2 diantaranya meringis kesakitan sambil memegangi perutnya dan dadanya.
Rupanya malam itu mereka telah salah sasaran dan kena batunya karena korbannya adalah ‘orang asing’ anggota ‘coast guard Indonesia’- yang biasanya anggota marinir TNI AL atau polisi senior jago bela diri.
Kota Geneva memang terkenal sebagai kota internasional multikultural sejak lama. Semua bangsa dan warna kulit ada di kota ini. Tapi banyaknya para imigran yang multiras mendatangkan masalah tersendiri bagi suatu negara. Tidak di Eropa, Amerika atau Asia, banyak imigran Afrika yang sering menimbulkan masalah di negeri orang baik itu terkait narkotika, pemalsuan uang dan tindak kriminal antar negara lainnya.
Akhirnya kami membatalkan cari makan malam diluar, karena sudah sangat larut dan semakin dingin. Kami menghindari kemungkinan komplotan ’penjambret Geneva’ itu mengeroyok kami dengan jumlah yang lebih besar.
Kami balik ke hotel dan makan roti ‘ bekal’ dan mie gelas plus telur asin yang dibawain istri saya. Kebiasaanku yang selalu saya bawa bekal kalau pergi keluar negeri ! Ternyata bekal itu menyelamatkan kami dari kelaparan di Geneva malam itu.

Undangan dari Swiss


Pagi itu di meja kerjaku ada kiriman sebuah amplop ukuran A4 dari Perancis. Setelah kubuka isinya ternyata majalah SPOT Magazine berisi ulasan berbagai sarana observasi bumi dengan satelit. Mataku tertumbuk pada salah satu poster iklan dari ESA-European Space Agency tentang Envisat Symposium dan pameran satelit di Montreux, Switzerland April 2007.
Siang hari ketika aku dipanggil atasanku untuk suatu proyek kerjasama dengan Negara lain, saya beri laporan perihal symposium tentang observasi bumi, pemanfaatan satelit radar untuk deteksi kapal dan pencemaran lingkungan.
‘Ah, acara symposium internasional seperti itu sih biasa…!
Baru luar biasa, kalau kau bisa mendapatkan undangan presentasi
dalam forum tsb’, tantang atasanku’. ‘Siap pak, akan saya coba’.

Aku bergegas kembali ke meja kerjaku dan segera mengirim e-mail kepada panitia Envisat Symposium dan menceritakan perihal penelitian yang pernah kulakukan beserta misi dan visi lembaga kami kepada mereka. Tak sampai seminggu panitia symposium telah membalas dengan memberikan 2 undangan untuk hadir dan presentasi poster dalam acara tsb.
Setelah semua urusan ijin, visa dll beres kami segera berangkat menuju Montreux dengan pesawat Emirates via Dubai dan Zurich. Dari Zurich kami naik kereka menuju Geneva, sampai Geneva hari sudah malam sekitar jam 21.30 waktu setempat. Tak ada lagi kereta menuju ke Montreux. Segera kami mencari tempat menginap di sekitar stasiun kereta Geneva.

Senin, 15 Februari 2010

Satelit MODIS


MODIS -Moderate resolution Imaging Spectroradiometer-, adalah satelit untuk monitoring lingkungan global, seperti monitoring potensi dan dampak bencana alam, dan pengamatan cuaca di wilayah perairan. MODIS adalah salah satu instrument utama yang dibawa Earth Observing System (EOS) Terra satellite, yang merupakan bagian dari program antariksa Amerika Serikat, National Aeronautics and Space Administration (NASA). Program EOS merupakan program jangka panjang untuk mengamati, meneliti dan menganalisa lahan, lautan, atmosfir bumi dan interaksi diantara faktor-faktor ini. MODIS mengorbit bumi secara polar (arah utara-selatan) pada ketinggian 705 km dan melewati garis khatulistiwa pada jam 10:30 waktu lokal. Lebar cakupan lahan pada permukaan bumi setiap putarannya sekitar 2330 km. MODIS dapat mengamati tempat yang sama di permukaan bumi setiap hari, untuk kawasan di atas lintang 30, dan setiap 2 hari, untuk kawasan di bawah lintang 30, termasuk Indonesia.

COSMOSkymed


COSMO-Skymed (Italia)
COSMO-SkyMed-(Constellation of small Satellites for the Mediterranean basin Observation adalah satelit observasi bumi yang dimiliki oleh Kementrian Pertahanan dan Riset Italia yang dioperasikan oleh lembaga antariksanya (ASI) untuk keperluan militer dan sipil. Satelit ini terdiri atas empat buah satelit ukuran medium yang dilengkapi dengan sensor SAR-synthetic aperture radar (SAR). Satelit ini mengorbit daerah target dalam segala cuaca beberapa kali dalam sehari. Citra yang ditampilkan satelit ini digunakan untuk kepentingan keamanan dan pertahanan Italia, atau membantu negara lain diantaranya untuk analis bahaya kegempaan, memantau kerusakan lingkungan dan pemetaan pertanian.

Lomba Satelit


Bencana polusi minyak di kawasan Timor Gap ternyata memicu berbagai provider satelit untuk menawarkan jasa observasi dan monitoring pergerakan tumpahan minyak. Bencana ini seakan menjadi ajang adu keakuratan dan kecepatan pencitraan pencemaran minyak di laut lepas tsb.

Beberapa satelit radar dan satelit sensor optical multi-spectral belomba mencitrakan pencemaran tumpahan minyak yang tergolong mahadasyat itu. Lokasi lapangan minyak Montara yang sangat jauh memerlukan wahana khusus untuk memantaunya, kondisi itu diperankan dengan baik oleh beberapa satelit observasi bumi seperti beberapa satelit radar COSMO-SkyMed (Italy), TerraSAR-X (Germany) and ENVISAT (European Space Agency).
Wahana radar via satelit ini telah membuktikan kemampuannya dalam mendeteksi tumpahan minyak dipermukaan laut tanpa terhalang oleh kehadiran awan. Sekaligus memberikan laporan kharakterisktik temporal dan spasial termasuk prediksi pola pergerakannya. Pada saat langit cerah citra tumpahan minyak juga berhasil diabadikan oleh satelit resolusi sedang dan rendah MODIS Terra dan Aqua milik USA.

Satelit yang dilengkapi sensor SAR-Synthetic aperture radar akan memancarkan sinyal microves yang dipantulkan oleh obyek sebagai ‘backscattered’ dengan intensitas yang berbeda beda tergantung obyeknya. Tatkala minyak membentuk sebuah lapisan tipis di permukaan laut, maka minyak akan menghalangi pantulan gelombang-gelombang microvave tsb sehingga akan tampak citra lebih gelap pada layar monitor. Perbedaan sebaran dari areal yang memantulkan gelombang microvaves, satelit radar dapat mendeteksi lapisan tumpahan minyak, posisi, ukurannya.

Apabila citra tumpahan minyak dikombinasikan dengan citra arah angin dan arus laut maka pola pergerakan lapisan minyak tsb dapat diteruskan kepada pihak yang berwenang. Pemakaian satelit-satelit lintas kutub (Polar Orbit) dengan teknologi ASAR-Advance sytnthetic aperture radar, sebenarnya dapat mendeteksi tumpahan minyak di permukaan laut. Setelah dikombinasikan dengan sensor seperti AIS-Automatic Identification System yang terpasang obyek dilaut seperti kapal atau rig eksplorasi minyak dilepas pantai, kita dapat melacak siapa dan kemana sumbernya bersembunyi.

Berdasarkan teknik yang sama seperti pemantauan tumpahan minyak, pendeteksian rembesan minyak mentah (hydrocarbon) dari dasar laut mungkin saja terjadi. Hidrokarbon yang berada di bawah permukaan laut bisa saja mengalami kebocoran pipa atau kapal dari dasar laut, dan keluar membentuk lapisan minyak di permukaan laut. Gelombang-gelombang gas yang dikelilingi oleh minyak dapat muncul ke permukaan melalui ledakan-ledakan gelembung dalam air. Lalu akan memunculkan lapisan minyak yang kecil dan tipis (film).

Areal wilayah alami tersebut diketahui terjadi dari waktu ke waktu dalam cadangan-cadangan minyak yang potensial, frekuensi dan jumlah rembesannya juga berbeda-beda. Hal ini umumnya hanya menarik bagi perusahaan – perusahaan minyak, yakni melakukan pencarian minyak di ladang-ladang samudera yang baru atau sebagai pendukung terhadap kegiatan eksplorasi lainnya yang ada di wilayah tersebut. Teknik ini pula yang telah dipakai oleh PTTEP untuk menemukan cadangan minyak di celah Timor diantara kawasan blok segitiga Indonesia, Timor Leste dan Australia.

Beberapa negara mulai berlomba meluncurkan satelit-satelit pemantau untuk keperluan pertahanan dan riset disamping memantau berbagai aktivitas lingkungan di bumi seperti pencemaran di laut. Beberapa satelit tsb diantaranya: Envisat, Terra SAR-X, Spot, Radarsat, Modis dan Cosmo-Skymed.

Polusi Timor Gap


Bencana polusi minyak di kawasan Timor Gap ternyata memicu perlombaan provider satelit untuk menawarkan jasanya dalam keakuratan dan kecepatan pencitraan pencemaran di laut lepas tsb. Sebagian provider satelit mengkategorikan bencana di Timor Gap itu sebagai ‘picture of the month’ dan mungkin segera menjadi ‘picture of the year’ sebagai ‘deadly beautiful picture’ -gambar cantik yang mematikan’ dari langit.

Suatu bancana ekologis besar tengah berlangsung di jurisdiksi tiga negara bertetangga yaitu Australia, Timor Leste dan Indonesia. Peristiwa itu dimulai pada 21 Agustus 2009, sebuah rig minyak bernama ‘The West Atlas’ milik Seadrill - yang dikontrak oleh PTTEP Australasia (perusahaan multinasional milik mantan PM Thailand Thaksin Sinawatra) dan berada di 690 kilometer dari Kota Darwin, Australia mengalami kecelakaan. Dalam proyek eksplorasi minyak lepas pantai terbesar kedua di Australia bernama Blok Montara gagal dalam melakukan –snubbing- penutupan lubang pengeboran sehingga minyak dari dasar laut sedalam kurang lebih 2,6 kilometer itu meluber menyembur keluar dan mengotori Laut Timor. Diprediksi sejak 21 agustus 2009 sebanyak lebih dari 2,000 barrel minyak perhari meluber keluar air laut dan menggenangi kawasan seluas 6,000 kilometer persegi. Kemudian pada 29 September 2009 tumpahan itu mulai mendekati wilayah Indonesia dengan posisi sejauh sekitar 50 mil dari batas wilayah perairan laut antara Indonesia-Australia dan terus bergerak mengikuti arus laut.

Rabu, 10 Februari 2010

Jalan Tol dan Polusi


Rabu, 06 September 2006

Tol Dalam Kota Menambah Polusi

Kadar ozon di Jakarta sejak 1999 sampai 2005 menunjukkan peningkatan.


JAKARTA -- Rencana pembangunan enam ruas jalan tol di dalam kota dikhawatirkan akan meningkatkan polusi udara,terutama kabut ozon permukaan. Pasalnya, menurut Direktur Indorepro Rudi Wahyono, ruas-ruas jalan tol yang dibangun tinggi di atas tanah akan menghalangi aliran angin atau berfungsi seperti perbukitan.

''Dengan adanya ruas tol yang tinggi tersebut kabut asap fotokimia atau ozon permukaan akan terjebak atau minimal tertahan di sekitar ruas jalan tol. Dengan kata lain, pembangunan ruas tol baru akan menciptakan smog trap atau haze trap yang membuat warga Jakarta akan semakin terpapar oleh berbagai polutan yang terkandung dalam polusi udara,'' ujar Rudi, disela-sela diskusi tematik Strategi Penurunan Polusi Udara di Perkotaan, di Jakarta, Selasa (5/9).

Menurut pengamatannya, kadar ozon permukaan di Jakarta sejak tahun 1999 sampai 2005 menunjukkan peningkatan. Itu menunjukkan program pengurangan emisi sebagai precursor atau bahan mentah terbentuknya ozon permukaan (dari transportasi dan industri) yang dilakukan pemerintah, belum berhasil alias gagal.

Di Jakarta, kabut ozon foto kimia tampak terlihat jelas ketika seseorang sedang 'take off' dengan pesawat terbang dari Bandara Soekarno Hatta-Cengkareng sampai batas awan terendah. Kondisi bahwa udara Jakarta sudah mulai terpapar kabut ozon, dapat diketahui bila warga mengalami gejala- gejala mata pedas, keluar air mata, nafas serasa tercekik, hidung berair serta batuk-batuk terutama sewaktu terjebak macet dibawah terik matahari.

''Waspadalah karena tanda-tanda itu merupakan gejala polusi 'kabut ozon' akibat polusi udara di Jakarta. Ini sangat berbahaya dan harus dihentikan,'' tutur Rudy yang juga kepala Divisi Energi, Kelautan dan Lingkungan Center for Information and Development Studies (CIDES).

Kabut ozon itu berasal dari berbagai polutan kendaraan, industri atau pabrik, pembakaran sampah, uap bensin serta zat-zat hidrokarbon yang terlarut dalam udara). Dalam kabut asap di dekat permukaan tanah itu bereaksi satu sama lain menghasilkan jenis pencemar baru yang lebih berbahaya. Reaksi ini dapat terjadi secara otomatis ataupun dengan bantuan katalisatori sinar matahari.

Senyawa pencemar baru hasil reaksi fotokimia itu dikenal sebagai kabut asap fotokimia. Kabut ozon fotokimia itu sering dijumpai di Kota Metropolitan. Secara kolektif polusi itu lebih dikenal sebagai ozon permukaan, karena zat itulah yang paling dominan dan paling mudah diukur dengan menggunakan ozon analyzer.

Ketua Kelompok Kerja Transportasi Kaukus Lingkungan, Tubagus Haryo Karbiyanto, mengungkapkan, potensi pertambahan polutan akan terus terjadi. ''Sebanyak 70 persen polusi udara berasal dari kendaraan bermotor,'' ujarnya. Dia juga melihat langkah pemerintah menurunkan polusi belum optimal. Contohnya, belum adanya regulasi tegas dari pemerintah pusat maupun daerah untuk membatasi kepemilikan kendaraan.

Di sisi lain, kendaraan publik yang tersedia sudah tidak layak. ''Banyak kendaraan publik, semisal bus atau angkot yang tidak lolos uji emisi. Solusinya tidak hanya pergantian armada. Tapi juga pelayanan dan keamanan, supaya warga tidak beralih ke kendaraan pribadi,'' paparnya. Rudi menambahkan, faktor utama untuk mengurangi dan mencegah pencemaran ozon adalah dengan mengurangi pemakaian bahan bakar fosil (BBM dan batubara).

Berdasar penelitian JICA dan Pusarpedal (1999) beberapa kawasan yang rawan pencemaran kabut ozon permukaan adalah Pluit, Jakarta Utara, Pulogadung, Jakarta Timur, terkadang kawasan Jl Thamrin-Jakarta Pusat. Nilai tertinggi polusi ozon permukaan tercatat di kawasan Puspitek Serpong.zak

Fakta Angka

70 persen
Polusi udara yang berasal dari kendaraan bermotor

Pengolah Emisi CO2


Jakarta, 6 Mei 2009 Pabrik pemurnian emisi CO2 pertama dan
terbesar di Indonesia secara resmi dimulai produksinya, Rabu (6/4). Peresmian pabrik dilakukan di Hotel Grand Hyatt, Jakarta, yang
dilanjutkan dengan Seminar Nasional "Implementasi Pengurangan Emisi Karbondioksida Sebagai Upaya
Mitigasi Global Warming".

Pabrik bernama PT RMI Krakatau Karbonindo yang berlokasi di Cilegon ini, berhasil melakukan `capturing'
dan `refinering' emisi CO2 dari limbah buang PT Krakatau Steel. Teknologi yang digunakan berasal dari
Union Engineering-Denmark. "Pendirian pabrik ini merupakan realisasi seminar United Nations
Framework for Climate Change Conference (UNFCCC) di Bali tahun 2007 dan Kyoto Protocol," ujar Dirut PT
RMI Krakatau Karbonindo, Rohmad Hadiwijoyo.

Rohmad yang juga Direktur Eksekutif CIDES ini menjelaskan, sejak beberapa tahun lalu CIDES melalui
perusahaan binaannya, PT RMI Krakatau Karbonindo, berinisiatif melakukan penerapan teknologi carbon
capture. Langkah tersebut dilakukan sebagai upaya nyata mitigasi global warming. "Sejak beroperasi
pertengahan April 2009, PT RMI Krakatau Karbonindo berhasil melakukan pemurnian emisi CO2 sebesar 3
ton/jam atau 72 ton/hari. Kapasitas produksi dapat ditingkatkan lagi hingga 18 ton/jam, disesuaikan
dengan bahan baku yang tersedia dan perkembangan konsumsi CO2 murni di Indonesia," papar Rohmad.

Industri pemurnian CO2 tidak saja memberi kontribusi pada penyelamatan lingkungan, namun dari segi
ekonomi memiliki daya jual yang sangat tinggi. Produk akhir pabrik berupa CO2 murni standard food grade
ini sangat diperlukan oleh berbagai jenis industri. Dalam industri makanan dan minuman, misalnya. CO2
murni digunakan untuk pembuatan minuman berkarbonasi, pengawetan makanan serta perikanan dengan dry
ice, pemutihan gula, pembuatan rokok dan masih banyak lagi. CO2 murni ini juga bisa digunakan dalam
industri manufacture pengelasan, pemutihan kertas, fumigasi pada sektor pertanian ataupun serta
secondary oil recovery.

Saat ini kebutuhan CO2 murni di Indonesia mencapai 250 ton perhari. Hanya saja, C02 murni yang dihasilkan
masih menggunakan bahan baku dari minyak bumi, sehingga harga jual CO2 murni menjadi mahal. "Berbeda
dengan CO2 murni yang dihasilkan PT Krakatau Karbonindo. Selain, bahan baku diambil dari limbah emisi
CO2 yang bila tidak diolah akan mengakibatkan pencemaran, harga yang ditawarkan pun menjadi jauh lebih
murah," kata kandidat Doktor Lingkungan Universitas Diponegoro, Semarang ini.

Terbukti, banyak perusahaan yang berminat membeli produk CO2 murni produksi PT RMI Krakatau Karbonindo.
Saat ini PT RMI Krakatau Karbonindo telah menandatangi kontrak pemasaran dengan PT Iwatani Industries
Jepang, Perusahaan minuman berkarbonasi, serta PT Molindo Inti Gas. "Beberapa perusahaan lain juga
telah memesan CO2 murni kepada kami. Namun, karena produksi sudah habis terjual, maka kami tidak belum
bisa memenuhi pesanan mereka," tambah Rohmad. Diharapkan dengan pembangunan pabrik kedua dan ketiga
yang segera dilakukan mulai tahun depan, tingginya kebutuhan CO2 murni di Indonesia bisa segera terpenuhi.

Untuk lebih mendukung upaya pengolahan limbah CO2, PT RMI Krakatau Karbonindo juga melakukan
penandatanganan nota memorandum of understanding (MoU) assesment dan pengembangan potensi Clean
Development Mechanism (CDM) di Indonesia dengan Eco-Securities. Clean development mechanism
bertujuan mengurangi emisi gas rumah kaca untuk memperlambat pemanasan global.

Berdasarkan data Eco-Securities, baru beberapa proyek dari sejumlah industri nasional yang terdaftar
dan dalam proses sertifikasi (Certified of Emission Reduction/CER) dari Executive Board Lembaga CDM di
Uni Eropa. Industri yang melakukan sertifikasi akan mendapatkan keuntungan berupa kompensasi sebesar
5 -10 dolar AS dari pengurangan CO2 setiap tonnya. "Sesuai Kyoto Protocol bahwa setiap upaya negara
berkembang untuk mereduksi gas rumah kaca akan mendapat kompensasi dana dari negara maju yang membeli
sertifikat CER," imbuh Dirut RMI Group ini.

Keberhasilan PT RMI Krakatau Karbonindo sebagai pioneer pemurnian gas CO2 merupakan contoh sukses bagi
industri nasional ditengah kelesuan ekonomi dunia saat ini. Melihat keberhasilan itu Copenhagen
Climate Council mengundang Rohmad Hadiwijoyo sebagai peserta kehormatan dalam World Business Summit
on Climate Change : Shaping the Sustainable Economy di Kopenhagen 24-26 Mei 2009 serta dinominasikan
menjadi best pratices mitigasi Global Warming dari Indonesia dalam forum COP UNFCCC-Convention of
Parties United Nations Framework for Climate Change Conference di Kopenhagen Denmark December 2009.

Sekilas PT RMI
PT Resources Jaya Teknik Management Indonesia (PT RMI) merupakan salah satu industri perminyakan yang
berdiri pada tahun 1970. PT RMI merupakan perusahaan dengan bisnis utama di industri perminyakan,
seperti jasa konstruksi, pemeliharaan fasilitas produksi minyak dan gas, pengeboran panas bumi, serta
energi ramah lingkungan. Saat ini RMI memiliki beberapa anak perusahaan, yaitu:
• PT Daya Alam Tehnik Inti (DATI) dan PT Roda Drilling Nusantara (RDN) yang bergerak dalam bidang pengeboran.
• PT Parwa Nusantara Technology dengan bisnis utamanya informasi tehnologi dan perhotelan.
• PT RMI Krakatau Karbonindo yang bergerak dalam bidang pemurnian Karbondioksida (CO2).
Pada industri perminyakan dan pengolahan tenaga panas bumi (geothermal), PT RMI telah sukses menangani
lebih dari 100 proyek. Sebagian besar proyek tersebut berlangsung di tempat yang sulit dijangkau dan
terpencil. Jalur logistik yang ada pun sukar ditempuh. Pegunungan tinggi, rawa dan kondisi iklim yang
ekstrim merupakan hal yang lazim dihadapi. Selama kurun waktu 1973-2000, PT RMI telah mempekerjakan
4.000 hingga 14.000 tenaga kerja Indonesia dan mengoperasikan lebih dari 100 macam peralatan kontruksi
dalam proyek-proyeknya. Beberapa proyek di industri perminyakan dan geothermal yang sukses ditangani
PT RMI diantaranya proyek dari Caltex, Pertamina, Karaha Bodas Company, Amoseas Indonesia Inc,
Petromer Trend Corporation, Atlantic Richfield Indonesia Inc, Chevron (Texmaco), Unocal, Exxon
Mobile, Arco Conoco, Gulf, Philips serta Total and Petromer Trend.
Sejumlah proyek lain yang dikerjakan diantaranya, servis enginering dan perawatan untuk PT Petrokimia
Nusantara Interindo Polyethene plant di Cilegon, servis perawatan lahan untuk lahan minyak Santa Fe
Energy Reaources Jabug, pengawasan operasi anjungan lepas pantai Kodeco di selat madura dan perawatan
alat berat di empat lokasi tambang utama PT Trakindo Utama di seluruh Indonesia. Visi dan misi PT RMI saat
ini adalah mewujudkan industri ramah lingkungan melalui renewable energy dan clean energy. Renewable
energy diwujudkan dengan pengeboran panas bumi untuk pembangkit listrik, di Lumut Bale (Sumatera
Selatan), Kemojang (Jawa Barat), Lahendong (Sulawesi Utara) serta Tampomas (Jawa Barat). Sementara,
clean energy diwujudkan dengan pengoperasian pabrik pengolahan emisi CO2 di Cilegon, Jawa Barat.

Rabu, 03 Februari 2010

KM Bukit Raya



KM BUKIT RAYA

Proyek riset South China Sea Carbon Cycle menuntut pengambilan sampel di sekitar laut China Selatan yang berada di wilayah perairan Indonesia. Karena Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan- PKSPL IPB tidak memiliki ‘kapal riset’ maka sampling plankton dilakukan dengan kapal umum. Terpaksa kami ‘hunting’ di kantor PELNI mencari kapal besar yang memiliki route yang mendekati atau mengelilingi tepian Laut China Selatan. Akhirnya kami menemukan sebuah kapal besar KM Bukit Raya yang memiliki route dari Jakarta (Tanjung Priok) sampai Surabaya (Tanjung Perak) melewati pulau Bangka (Belinyu), Pelabuhan Kijang di Pulau Bintan kemudian Pulau Terempa, Pulau Matak dan pelabuhan Natuna di palau Natuna Besar. Dilanjutkan kepulauan Tujuh yaitu pulau Seresan, pulau Subi dan pulau Midai sampai pantai barat Kalimantan dan berhenti di pelabuhan Pontianak. Kemudian dari Pontianak akan kembali ke Jawa menuju Surabaya (pelabuhan Tanjung Perak).
Akhitnya team peneliti bersepakat membagi tugas pengambilan sampel di perairan sekitar Laut China Selatan dimulai dari titik sampling di pelabuhan Kijang pulau Bintan sampai titik akhir di pelabuhan Pontianak di Kalimantan Barat.
Apabila dihitung seluruh perjalanan di KM Bukit Raya dari Jakarta menuju Surabaya ditempuh selama sekitar 8 hari perjalanan dengan menempuh hampir 5,000 mile jauhnya. Sebagai coordinator peneliti aku harus memastikan route dengan mengikuti seluruh route tsb dari Jakarta sampai Surabaya. Di kapal KM Bukit Raya ‘Team Peneliti Laut China Selatan’ berbaur dengan masyarakat dengan beragam latar belakang mulai dari seorang marinir yang berangkat bertugas menjaga perbatasan, pejabat daerah, pedagang, dokter daerah terpencil, mahasiswa dan beberapa orang yang tak jelas bakgroundnya.
Untuk menjaga ‘keselamatan sampel’ kami terpaksa menyewa sebuah kamar di KM Bukit Raya sebagai ‘laboratorium sementara’ dengan biaya sewa mencapai 8 juta rupiah untuk menghindari ’kontaminasi’ dari tangan tangan usil penumpang kapal.
Sampel plankton diambil dari laut dengan ember plastik yang diikatkan dengan tali plastik sangat panjang mencapai 50 meter. Setiap jarak tertentu sekitar sejam perjalanan kapal. Kami melempar ember kelaut untuk ’menimba’ plankton Laut China Selatan. Masih terbayang bagaimana rasanya kami harus keluar malam malam dari kamal ’kelas 2’ KM Bukit Raya pada waktu tertentu menuju buritan atau sisi badan kapal.Cuaca dingin dan gelap malam disertai terpaan angin laut yang ganas membuat hati sedikit miris. Bagiamana bila kami tercebur kelaut Pasti deh kami langsung hilang..tak berbekas ditelan Laut China Selatan.
Untunglah kami selelu mengambil sampel plankton setidaknya berduaan. Menimba air laut seember dalam kondisi kapal melaju dengan kecepatan sekitar 12 knots ..sangat terasa beratnya!..Wuih..telapak tangan kami. (Saya, pak R.F.Kaswadji,Ph.D., Ir.Roni fitrianto dan Ir.Iman)sampai lecet lecet dan rasanya perih sekali. Aktivitas sampling ini harus diulang setiap jam perjalanan kapal sampai kira kira kami sudah mendapatkan jumlah sampel yang cukup.

Selasa, 02 Februari 2010

Laut China Selatan



Laut Cina Selatan-South China Sea ialah laut tepi-marginal, bagian dari Samudra Pasifik, mencakup daerah dari Singapura ke Selat Taiwan sekitar 3.500.000 km². Merupakan badan laut terbesar setelah kelima samudera. Kepulauan Laut Cina Selatan membentuk sebuah kepulauan yang berjumlah ratusan. Laut ini biasa disebut sebagai Laut Selatan saja di daratan Cina. Sejumlah negara, khususnya Filipina menyebutnya Laut Luzón, keberatan dengan nama "Laut Cina Selatan", sebab seolah-olah kawasan itu dikuasai RRC (Wikipedia).

Tahun 2002 s.d 2004 saya bergabung dengan PKSPL- Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor sebagai ‘visiting fellow’ -peneliti tamu- untuk mengerjakan proyek South China Sea Carbon Cycle Project yang didanai oleh START Washington melalui kantor regionalnya (SARCS-South Asia Regional Committee for START) di Taiwan.

Proyek penelitian Laut China Selatan ini bertujuan mengetahui dampak variasi perubahan angin muson timur (kemarau) dan angin muson barat (penghujan) terhadap kemelimpahan plankton di Laut China Selatan serta mengetahui pola-pola perubahan distribusinya sebagai dampak perubahan musim tersebut. Logikanya variasi distribusi plankton akan berpengaruh terhadap rantai makanan (food chain) yang mengikutinya seperti jenis-jenis dan kemelimpahan ikan-ikan di Laut China Selatan. Juga dalam penelitian ini diukur perubahan kondisi lingkungan berupa kandungan mineral, DOM-Disolve Organic Matter dan parameter lingkungan seperti suhu dan cahaya. Hasil penelitian variasi kadar khlorofil dan plankton di lapangan kemudian diperbandingkan dengan penghitungan kadar khlorofil melalui citra satelit Seawifs, satelit Envisat-MERIS dan perhitungan secara modelling.
Saya berharap banyak dari proyek penelitian ini bisa membawaku kembali ke ilmuku semula sebagai seorang peneliti yang memiliki latar belakang ilmu biologi setidaknya biologi keluatan atau ’taksonomi protista’ plankton seperti pernah kupelajari di bangku kuliah di Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta.